Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

10 November 2010

MA’AD/HARI KEBANGKITAN VIII (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 55

Hubungan Imbal balik antara Iman dan Amal

Telah kita ketahui bahwa ada dua faktor utama sepanjang usaha meraih kebahagiaan dan kesengsaraan abadi, yaitu iman dan kufur. Hanya iman yang kokoh dan istiqamahlah yang menjamin kebahagiaan abadi, walaupun perbuatan dosa itu mengakibatkan sebagian siksa. Dari sisi lain, kekufuran yang terus menerus mengakibatkan kesengsaraan abadi. Dengan kekufuran, tidak ada amal kebaikan apapun yang berpengaruh pada pencapaian kebahagiaan abadi.
Juga telah kita ketahui bahwa iman dan kufur itu bisa bertambah, bisa juga berkurang. Dan sangat mungkin bertumpuknya dosa itu menyebabkan hilangnya iman dari pelakunya. Demikian pula, amal-amal kebaikan dapat menyebabkan lemahnya akar-akar kekufuran, bahkan mungkin dapat membuka jalan untuk meraih iman.
Dari sini muncul pertanyaan penting mengenai hubungan antara iman dengan amal. Pada pelajaran ini, kami berusaha untuk menjawabnya.


Hubungan Iman dengan Amal
Perlu kami ulang bahwa iman adalah kondisi jiwa yang timbul atas dasar pengetahuan dan kecenderungan. Iman ini menuntut sang mukmin agar bertekad dan berkehendak secara global untuk komitmen pada konsekuensi-konsekuensinya, juga menuntut agar melakukan perbuatan yang sesuai dengan imannya. Oleh karena itu, seseorang yang mengetahui hakikat sesuatu, namun bermaksud untuk tidak mengamalkan konsekuensi dari pengetahuan itu, sebenarnya ia belum beriman kepada sesuatu itu. Begitu pula orang yang ragu untuk mengamalkannya. Allah SWT berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman.” Katakanlah kepada mereka, “Kalian belum beriman, akan tetapi katakanlah bahwa kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.'" (QS. Al-Hujurat: 14)
Iman yang hakiki itu bertingkat-tingkat. Hanya, tidak setiap tingkat akan selalu mendesak pemiliknya untuk melakukan konsekuensi praktisnya. Karena iman yang lemah, sebagian dorongan hawa-nafsu dan nafsu ammarah-nya menggiring dirinya kepada maksiat, meski tidak sampai membuatnya senantiasa berbuat maksiat dan melanggar seluruh konsekuensi iman tersebut. Tentunya, semakin kuat dan sempurna iman seseorang, semakin besar pengaruhnya untuk melakukan amal perbuatan yang sesuai dengan keimanannya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya, iman itu menuntut suatu perilaku yang menjadi kon-sekuensinya. Dan, kadar pengaruh iman itu tergantung kepada kuat-lemahnya iman tersebut. Juga, tekad dan kehendak seseorang itu dapat menentukan dirinya untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan yang dituntut oleh imannya.
Hubungan Amal dengan Iman
Ada kalanya, usaha bebas itu baik dan sesuai dengan keimanan, ada kalanya tidak baik dan bertentangan dengan arah keimanan. Usaha baik akan berpengaruh positif dalam memperkokoh iman dan menerangi hati. Sedangkan usaha buruk akan menyebabkan lemahnya iman dan gelapnya hati. Oleh karena itu, usaha-usaha baik seorang mukmin, sebagaimana muncul atas dasar keimanannya, pada gilirannya akan bertambah dan meningkat karena kuat dan mapannya keimanan tersebut, akan membuka jalan, serta akan mendorongnya untuk melakukan usaha-usaha baik lainnya. Allah SWT berfirman, “Kepada-Nyalah kalimat-kalimat mulia itu naik, sedang amal saleh itu mengangkatnya”. (QS. Fathir: 10)
Juga di tempat lain, Al-Qur’an menekankan bahwa orang-orang yang saleh itu senantiasa bertambah iman, cahaya dan hidayah di dalam jiwa-jiwa mereka. Dari sisi lain, seseorang yang membiarkan hasratnya bertentangan dengan tuntutan imannya dan mendorongnya untuk melakukan cara-cara yang buruk, sementara kekuatan imannya tidak dapat membentung dorongan buruk tersebut, bisa jadi imannya menjadi semakin lemah, sedangkan peluang untuk melakukan dan mengulangi perbuatan buruk semakin terbuka baginya.
Apabila kondisi semacam itu berlangsung terus pada diri seseorang, akan menyebabkannya melakukan dosa-dosa besar dan mengulanginya, sehingga secara berangsur dosa-dosa itu akan menyeretnya kepada kekerdilan dan kehinaan yang lebih dalam lagi, sampai akar imannya terancam usang dan berubah menjadi kekufuran dan kemunafikan.
Pada ayat berikut ini Al-Qur’an menceritakan orang-orang yang perjalanannya itu membelot ke dalam kemunafikan:
“Maka Allah menurunkan kemunafikan pada hati mereka sampai saatnya mereka menemui Allah, karena mereka itu telah mengingkari apa yang telah mereka ikrarkan kepada Allah dan karena mereka itu selalu berdusta.” (QS. At-Taubah: 77)
“Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu adalah siksa yang lebih buruk, karena mereka itu telah mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya.” (QS. Ar-Rum: 10)
Kesimpulan
Dengan memperhatikan adanya hubungan imbal-balik antara iman dan amal, serta pengaruhnya dalam meraih kebahagiaan seseorang, kita dapat mengumpamakan kehidupan yang bahagia dengan sebuah pohon yang akar-akarnya adalah iman kepada Allah Yang Esa, kepada rasul, risalah dan syariatnya, kepada Hari Kebangkitan, pahala dan siksa Ilahi. Adapun pokoknya adalah kehendak dan tekad yang kuat untuk mengamalkan segala konsekuensi yang tumbuh dari akar-akar iman tersebut. Sedang dahan-ranting dan dunnya adalah amal-amal saleh tumbuh dari akar-akar yang sama melalui pokok tersebut. Maka, buah perkalian akar, pokok, dahan dan daun demikian ini adalah kebahagiaan yang abadi. Pohon yang tidak mempunyai akar tidak akan menumbuhkan dahan dan daun, serta tidak akan menghasilkan buah yang diharapkan.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa keberadaan akar itu tidak selalunya melazimkan adanya dahan dan dedaunan yang sesuai, atau menghasilkan buah yang diharapkan. Mungkin saja dahan dan daun-daun sebuah pohon itu tidak tumbuh lantaran faktor-faktor lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhannya, sehingga ia tercemari oleh berbagai macam hama.
Bahkan, sangat mungkin faktor-faktor itu membuat pohon tersebut menjadi kering lalu mati. Tentu, tidak satu buah pun yang bisa diharapkan darinya. Begitu pula, apabila dahan, cabang dan pokok, atau bahkan akar pohon itu dipupuk secara tidak benar, malah mengakibatkan berubahnya pohon tersebut menjadi jenis lain. Inilah perumpamaan berubahnya iman menjadi kekufuran.
Alhasil, dapat dikatakan bahwa iman kepada hal-hal tersebut di atas itu merupakan faktor utama yang menentukan kebahagiaan hakiki seseorang. Hanya saja, sempur-nanya pengaruh positif faktor ini amat tergantung kepada bahan-bahan pupuk dan konsumsi semestinya; yakni melakukan amal-amal saleh, dan merawatnya sehingga terlindung dari berbagai penyakit dan bahan-bahan pupuk yang membahayakan, dengan cara menjauhi maksiat. Demikian pula, meninggalkan kewajiban dan dan melakukan larangan dapat melemahkan akar keimanan, bahkan bisa membuatnya kering. Atau, percaya akan akidah-akidah yang sesat dan mazhab-mazhab yang menyimpang dapat mengubah esensi keimanan seorang mukmin.[]
Jawablah beberapa pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan pengaruh iman terhadap amal-usaha yang baik!
2. Terangkan pengaruh amal-usaha yang baik atau yang buruk terhadap kadar kuat-lemahnya iman!
3. Jelaskan macam-macam hubungan imbal balik antara iman dan amal, serta hubungan keduanya dengan kebahagiaan manusia!
 
PELAJARAN 56
Beberapa Catatan Penting
Mukaddimah
Terdapat sekelompok orang yang tidak memiliki penge-tahuan yang cukup mengenai peradaban besar Islam, dan menilai perbuatan manusia secara lahiriyah dan dari lapisan luarnya, tanpa peduli terhadap peran penting tujuan dan niat pelakunya. Secara istilah dinyatakan bahwa, mereka tidak meyakini baiknya pelaku (husn fa'ili) selain baiknya perilaku (husn fi'li) pada sebuah perbuatan. Atau, mereka meyakini bahwa standar nilai suatu perbuatan itu terletak pada pengaruhnya dalam menciptakan ketentraman hidup orang lain di dunia.
Orang-orang demikian itu telah melakukan penyimpangan dalam menangani berbagai ajaran-ajaran Islam, atau mereka tdak mampu memahami dan menafsirkannya secara baik. Termasuk di antara penyimpangan itu kesalahan mereka dalam menafsirkan peran iman dan hubungannya dengan amal-amal saleh, pengaruh-pengaruh negatifnya terhadap kekufuran dan syirik, serta dalam menafsirkan keutamaan sebagian amal-amal kecil yang temporal atas amal-amal yang besar dan berjangka panjang.
Misalnya, mereka memandang bahwa penemu-penemu besar yang telah menyediakan berbagai sarana kenyamanan hidup untuk umat manusia, atau tokok-tokoh pembaruan dan para pejuang kemerdekaan yang telah mengangkat kebebasan bangsa mereka, tentu akan mendapatkan kedudukan yang tinggi dan mulia di akhirat, walaupun tidak beriman kepada Allah dan Hari Kiamat. Pada intinya, pandangan ini menyimpulkan bahwa keimanan yang cukup untuk kebahagiaan hakiki ialah keimanan keimanan pada nilai-nilai kemanusiaan dan puncak pembelaan atas para pekerja dan kaum buruh di dunia ini. Bahkan, mereka menganggap konsep Allah sebagai sebuah nilai moral semata-mata!
Walaupun pelajaran-pelajaran yang lalu telah memperlihatkan titik-titik kelemahan dan kekeliruan pada pandangan-pandangan semacam ini, namun mengingat penyebaran dan pengaruh-pengaruh negatifnya di masa-masa sekarang ini atau pun bagi generasi yang akan datang, kami melihat hal itu sangat mendesak untuk dikaji sedikit lebih rinci.
Tentunya, pengkajian komprehensif ini memerlukan kesempatan yang lebih luas. Untuk itu, di sini kami hanya memaparkan beberapa permasalahan dan catatan penting yang berkaitan dengan dimensi-dimensi teologisnya dan sesuai dengan metodologi buku ini.
Kesempurnaan Hakiki Manusia
Dalam pembandingan pohon apel dengan pohon pada kodratnya memang tidak berbuah, jelas bahwa pohon apel itu lebih bernilai dan lebih berarti ketimbang pohon kedua. Kejelasan ini tampak tidak hanya karena manusia telah mendapatkan banyak manfaat dari buah tersebut, akan tetapi karena pohon apel itu sendiri memiliki wujud yang lebih sempurna, dan memiliki pengaruh wujud yang lebih banyak. Namun, tatkala pohon apel itu tercemari dan menyimpang dari garis kesempurnaan dan perkembangannya, ia akan kehilangan nilainya, dan barangkali ia menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan bagi pohon-pohon yang lain.
Perihal pohon apel dan pohon-pohon lain di atas ini dapat mendekatkan perbandingan posisi manusia dan seluruh makhluk hidup. Ketika manusia sampai kepada kesempurnaan yang semestinya dan nampak pengaruh-pengaruh wujudnya yang sesuai dengan fitrahnya, ia akan lebih bernilai di atas seluruh makhluk hidup lainnya. Akan tetapi, jika ia terkena berbagai penyakit dan penyelewengan, boleh jadi ia malah lebih hina dan lebih berbahaya ketimbang seluruh makhluk hidup. Al-Qur'an telah menjelaskan bahwa sebagian manusia lebih busuk daripada seluruh hewan yang ada dan lebih hina ketimbang binatang ternak.
Ini dari satu sisi. Dan dari sisi lain, orang-orang yang peduli pada pohon apel pada masa-masa berbuahnya saja, menyangka bahwa masa-masa itu tidak lain adalah puncak kesempurnaannya. Juga demikian, orang-orang yang hanya melihat kesempurnaan menengah manusia, tidak akan memahami dan mencapai puncak kesempurnaan hakiki dirinya, karena mereka tidak mengetahui nilai hakikat manusia yang sesungguhnya.
Maka itu, kesempuraan hakiki manusia hanya akan dicapai oleh seseorang yang mengenalnya. Hanya masalahnya, kesempurnaan hakiki itu tidak semacam kesempurnaan fisikal, karena sebagaimana telah dijelaskan tadi, bahwa hakikat manusia terkait erat dengan ruhnya, dan bahwa proses kesempurnaan seseorang sebenarnya merupakan penyempurnaan ruh itu sendiri yang dijalani melalui kesungguhan dan amal-usaha bebasnya, apakah itu amal batin hati ataukah amal lahiriyah badan. Dan kita tidak dapat mengenal atau mengukur kesempurnaan ini melalui pengalaman-pengalaman indra atau alat-alat ukur kuantitas. Tentunya, kita pun tidak akan bisa mengusahakan kesempurnaan hakiki di dalam laboratorium atau memalui alat-alat empirik dan saintik. Jadi, jika manusia sendiri belum sampai pada kesempurnaan ini dan belum merasakannya dalam bentuk pengetahuan hudhuri dan syuhudi qalbi (penyaksian hati), ia harus mengetahuinya melalui dalil akal, atau melalui wahyu dan keterangan kitab-kitab samawi.
Adapun dari sudut pandang Al-Qur'an dan hadis-hadis Ahlul Bait yang maksum, tidak diragukan lagi bahwa puncak kesempurnaan manusia adalah satu derajat dari sekian derajat wujudnya yang dinamakan sebagai Qurb Ilahi (kedekatan diri di sisi Tuhan). Dampak baik dan kesan mulia derajat ini akan tampak pada nikmat-nikmat yang abadi dan keridhaan Ilahi yang akan dijumpai di alam akhirat. Dan jalan utamanya adalah ibadah kepada dan takwa Allah di dalam segenap urusan hidup individu dan sosial.
Adapun menurut perspektif akal, kesempurnaan hakiki manusia dapat dibuktikan oleh dalil-dalil akal yang rimut, teliti, dan butuh pada sejumlah premis filosofis. Di sini kami akan berusaha untuk menjelaskannya secara sederhana:
Penafsiran Rasional
Sesungguhnya manusia diciptakan atas dasar kecintaan dan kecenderungannya kepada kesempurnaan yang tak terbatas. Maka, ia memandang ilmu dan kekuasaan sebagai manifestasi kesempurnaan ini, dan pencapaiannya akan mendatangkan kenikmatan yang tak terbatas dan kebahagiaan yang abadi. Seseorang akan dengan mudah menjumpai kesempurnaan ini jika ia dapat berhubungan dengan sumber ilmu, kekuasaan, dan kesempurnaan yang mutlak dan tak terbatas, yaitu Allah SWT. Hubungan inilah yang disebut sebagai "al-qurb" (kedekatan di sisi Allah).[1]
Oleh karena itu, kesempurnaan hakiki manusia yang merupakan tujuan dari penciptaanya dapat diusahakan melalui hubungan dan kedekatannya kepada Allah SWT. Adapun manusia yang tidak memiliki sekalipun tingkat terendahnya, yakni tingkat iman yang paling lemah, tak ubahnya dengan pohon yang tidak menghasilkan buah apapun. Sehingga jika pohon ini kehilangan potensinya untuk berbuah lantaran tercemari atau terjangkit penyakit, akan terperosok jatuh lebih hina lagi pohon-pohon yang pada dasarnya memang tidak berbuah.
Dengan demikian, pentingnya pengaruh iman terhadap kesempurnaan dan kebahagiaan manusia dari sisi bahwa keistimewaan utama jiwa manusia adalah hubungan berkesadaran dan ikhtiari dengan Allah SWT. Tanpa hubungan ini, ia tidak akan menyentuh kesempurnaan hakiki dan kesan-kesan serta berkah-berkahnya. Dengan kata lain, tanpa qurb Ilahi, hakikat seseorang tidak akan pernah mengejawantah secara aktual (bil fi'il). Apabila ia mengabaikan anugerah Ilahi yang bernilai tinggi ini dengan ikhtiar buruknya, sungguh ia telah menjerumuskan dirinya ke dalam kezaliman yang paling besar, karenanya ia berhak mendapatkan siksa yang abadi. Al-Qur'an mengatakan, "Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk di sisi Allah adalah orang-orang yang kafir, karena meraka adalah orang-orang yang tidak beriman." (QS. Al-Anfal: 55)
Alhasil, setiap iman dan kufur akan menentukan arah dan tujuan utama dari perjalanan hidup manusia; adakalanya bergerak ke arah kesempurnaan dan kebahagiaan, atau ke arah ke arah kehancuran dan kesengsaraan. Tentu saja, yang paling akhir dari iman dan kufur memiliki peran utama dan menentukan nasib seseorang.
Peran Motif dan Niat
Berangkat dari penjelasan rasional di atas, jelas bahwa nilai sesungguhnya bagi perbuatan dan usaha bebas manusia berkaitan erat dengan sejauh mana pengaruh perbuatan itu terhadap pencapaian kesempurnaan hakiki, yakni qurb Ilahi (kedekatan di sisi Allah SWT). Boleh jadi suatu perbuatan itu dinilai baik dan mulia karena pengaruhnya sedemikian rupa—walaupun melalui sejumlah perantara—dalam upaya memenuhi lahan yang sesuai untuk kesempurnaan orang lain. Akan tetapi, pengaruh perbuatan ini terhadap kebahagiaan abadi pelakunya hanya bergantung kepada pengaruhnya terhadap proses penyempurnaan ruhnya sendiri.
Dari sisi lain, hubungan perbuatan-perbuatan ragawi dengan ruh pelakunya bisa terjadi melalui kehendak, karena perbuatan-perbuatan itu terjadi dengan perantara. Dan kehendak untuk berbuat ini muncul dari motif; kecondongan, hasrat dan cinta kepada tujuan dan hasil dari sebuah perbuatan. Pada dasarnya, motif-motif ini menciptakan gerak di kedalaman jiwanya menuju tujuan yang diinginkan dan mengkristal menjadi sebuah kehendak untuk berbuat. Oleh karena itu, nilai suatu perbuatan yang didasari oleh kehendak ditentukan oleh niat dan motif si pelaku.
Jadi, baiknya sebuah perbuatan (husn fi'li) itu tidak akan berpengaruh posistif tanpa baiknya pelaku (husn fa'ili) dalam upaya menyempurnakan ruh dan mencapai kebahagiaan abadi. Oleh sebab itu, perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas dasar motif-motif bendawi dan duniawi tidak memiliki pengaruh dalam proses pencapaian kebahagiaan abadi. Umpamanya, bakti dan kepedulian sosial yang paling besar sekalipun, jika dilakukan atas dasar riya', tidak akan memberikan pengaruh positif apapun bagi pelakunya, atau malah akan mendatangkan kerugian dan kemerosotan ruhnya.
Atas dasar inilah maka Al-Qur'an menekankan bahwa pengaruh perbuatan-perbuatan yang baik dalam memperoleh kebahagiaan yang abadi tergantung kepada iman dan niat taqarrub (untuk mencapai keridhaan Ilahi) semata.
Kesimpulannya adalah pertama, amal yang baik itu tidak sekedar berbuat baik kepada orang lain.
Kedua, di samping sebagai ibadah individual, perbuatan baik dan kepedulian antarsesama manusia itu turut ber-pengaruh dalam pencapaian puncak kesempurnaan dan kebahagiaan abadi bagi pelakunya bila dilakukan atas dasar niat dan motif yang Ilahi.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah sesuatu yang merupakan nilai hakiki bagi setiap maujud?
2. Bagaimana kita dapat mengenal puncak kesempurnaan hakiki bagi manusia?
3. Buktikan bahwa puncak kesempurnaan manusia hanya dapat dicapai melalui hubungan khas, yaitu kedekatan diri di sisi Allah SWT!
4. Buktikan bahwa pengaruh dari perbuatan-perbuatan baik dalam mencapai kebahagiaan abadi manusia bergantung kepada niat dan motif yang Ilahi!

[1] Penjelasan selengkapnya bisa dirujuk ke "Khud Syenosyi baroye Khud Sozi", M.T.Misbah Yazdi.

 

 

PELAJARAN 57

Pengguguran dan Penambalan

Di antara isu-isu seputar hubungan iman dan amal saleh dengan kebahagiaan akhirat, begitu juga hubungan kufur dan maksiat dengan kesengsaraan abadi, yaitu sebagai berikut: Apakah hubungan antara setiap saat dari masa-masa iman dan kufur dengan dampak-dampak ukhrawinya? Begitu juga hubungan antara setiap amal baik atau buruk dengan pahala dan siksanya? Apakah hubungan ini pasti, tetap, dan tidak dapat berubah, ataukah memang dapat berubah?
Sebagai contoh, Apakah dampak maksiat itu dapat ditambal dengan amal saleh? Begitu juga sebaliknya, apakah mungkin pengaruh amal saleh itu dapat hilang lantaran berbuat maksiat? Lalu, apakah dapat dikatakan bahwa orang-orang yang menghabiskan sebagian usianya dalam kekufuran dan maksiat dan sebagian lainnya dalam keimanan dan ketaatan, akan mendapatkan siksa pada satu masa dan mendapatkan pahala pada masa yang lain? Ataukah seluruh amal perbuatannya akan ditimbang, amal yang satu menambal amalnya yang lain, sehinga hasil penambalan ini dapat ditentukan nasib akhir pelakunya; yakni kebahagiaan atau kesengsaraan di alam akhirat yang abadi? Ataukah perkara-perkara itu terjadi dengan cara lain?
Pada dasarnya, masalah ini adalah masalah "pengguguran dan penambalan"[1] yang sudah lama dibahas oleh para teolog Asy'ariyah dan Muktazilah. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan pandangan Syi'ah secara singkat.
Hubungan antara Iman dan Kufur
Dari beberapa pelajaran yang lalu telah jelas bahwa perbuatan baik apapun, jika tanpa keimanan kepada prinsip-prinsip akidah, tidak akan berarti dalam usaha mencapai kebahagiaan yang abadi. Dengan kata lain, kekufuran dapat menghalangi pengaruh amal-amal saleh.
Perlu dicatat bahwa keimanan manusia di akhir umurnya dapat menghapus pengaruh-pengaruh buruk kekufurannya di masa lampau. Ia laksana cahaya yang memancar yang mampu menyingkirkan kegelapan yang lalu. Demikian pula sebaliknya, kekufuran seseorang di akhir hidupnya akan menghapus kesan-kesan keimanan yang lampau, dan akan merubah lembaran amalnya menjadi hitam, serta menghancurkan akhir kehidupan dan buah usahanya, bagaikan api yang dilemparkan ke lumbung padi yang akan membakar habis isinya hanya dengan sekejap.
Pendekatan lain mengenai kekufuran ini, bahwa iman laksana pelita yang begitu terang, menerangi ruangan hati dan jiwa, menyingkap kegelapan darinya. Sedangkan kufur bagaikan ketika redupnya pelita itu, ia memadamkan cahaya dan mendatangkan kegelapan. Selama jiwa manusia itu terkait erat dengan alam materi, alam perubahan dan perpindahan, ia akan selalu menjadi tempat datang perginya cahaya dan kuat lemahnya kegelapan, sampai pelita itu menjadi redup. Namun, tatkala ia telah lewat dan berpindah dari alam ini, dimana pintu-pintu usaha iman dan kekufuran telah ditutup, kendatipun ia berharap bisa kembali lagi ke alam ini agar dapat berusaha menghilangkan kegelapan-kegelapannya, harapan-harapannya itu tidak berguna lagi.
Tidak syak lagi bahwa Al-Qur'an mengakui interaksi antara keimanan dan kekufuran seperti ini. Dan banyak ayat-ayatnya yang menunjukkan hal ini, di antaranya:
"Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, ia akan menghapus kejelekan-kejelekannya." (QS. At-Taghabun: 9)
"Dan barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu ia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah, 217)
Hubungan antara Amal-amal Baik dan Buruk
Telah kami singgung, bahwa hubungan antara iman dan kufur pada batas-batas tertentu juga dapat tergambar semacam hubungan antara amal baik dan amal buruk, di mana amal-amal baik manusia selalu tercatat di dalam lembaran amalnya, sedangkan amal-amal buruknya selalu terhapus darinya. Atau amal-amalnya yang buruk selalu tercatat di dalam lembaran amalnya, sedangkan amal-amal baiknya selalu terhapus dan hilang darinya, sebagaimana diyakini oleh sekelompok mutakallim Mu'tazilah. Atau, hasil dari penggabungan dan tambal-menambal antara amal-amalnya yang lalu akan tetap tercatat dari sisi kuantitas dan kualitasnya, sebagaimana diyakini oleh kelompok Mu'tazilah lainnya.
Sehubungan dengan amal, sepatutnya diuraikan secara rinci. Yaitu, apabila sebagian amal-amal yang baikdilakukan secara benar dan ikhlas, akan dapat menghapus pengaruh amal-amal buruk yang dulu, seperti taubat. Jika taubat ini dilakukan sesuai dengan syarat-syaratnya, maka kesalahan-kesalahan seseorang akan diampuni. Taubat tak ubahnya dengan cahaya menerangi titik-titik kegelapan secara penuh. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa setiap amal yang baik itu dapat menghapus seluruh pengaruh-pengaruh maksiat.
Maka dari itu, terkadang seorang mukmin disiksa untuk sementara lantaran maksiat-maksiatnya, setelah itu ia dimasukkan ke surga untuk selamanya. Tampaknya, jiwa manusia itu memiliki dimensi dan sisi-sisi yang beragam. setiap rangakaian dari amal baik atau buruk berkaitan dengan satu sisi dari jiwa. Misalnya, amal baik yang berkaitan dengan sisi A tidak akan menghilangkan bekas dosa yang berkaitan dengan sisi B, kecuali bila amal baik tadi sangat kuat cahayanya sehingga mampu menyinari seluruh sisi jiwa yang lain. Atau, dosa itu telah mencapai titik pekat dari kegelapan dan kenistaan sehingga merusak sisi-sisi yang lain.
Terdapat dalam beberapa riwayat yang mulia bahwa shalat yang diterima itu akan memersihkan dosa-dosa dan mendatangkan ampunan.
"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk". (QS. Hud: 114)
Atau, sebagian dosa seperti durhaka kepada orang tua dan minum khamer dapat mencegah diterimanya ibadah. Atau, mengungkit-ungkit sedekah dapat mengugurkan pahalanya. Disebutkan di dalam Al-Qur'an, "Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264)
Namun begitu, untuk membatasi jenis dan kadar peng-aruh dan interaksi di antara amal-amal baik dan buruk, kita harus merujuk ke wahyu dan keterangan-keterangan dari para imam maksum as dan tidak bisa dirumuskan sebuah kaidah umum secara keseluruhan untuk pembatasan tersebut.
Di akhir pelajaran ini, selayaknya kami tambahkan bahwa terkadang amal-amal baik dan buruk itu mempunyai pengaruh pada amal yang lain di dunia ini, pada upaya meraih kebahagiaan atau kesengsaraan, atau pada proses mendapatkan taufik atau kehilangannya. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa berbuat baik kepada orang lain, terutama kepada kedua orang tua dan sanak famili, berpengaruh dalam memanjangkan umur, menolak berbagai penyakit dan bencana. Dan, tidak menghormati orang-orang yang lebih besar, terutama kepada para guru, juga turut andil dalam menghilangkan taufik. Akan tetapi, terjadinya pengaruh-pengaruh ini di dunia, bukan berarti bahwa manusia telah mendapatkan pahala atau siksa secara penuh. Karena, tempat pahala dan siksa yang hakiki dan sesungguhnya adalah alam yang abadi, yaitu akhirat.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan makna pengguguran dan penambalan!

Tidak ada komentar: