Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

10 November 2010

MA’AD/HARI KEBANGKITAN VII (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 52

Kaitan Dunia dengan Akhirat

Telah kita ketahui bahwa kehidupan manusia tidak terbatas hanya pada kehidupan duniawi yang semu dan sementara saja, akan tetapi ia akan dikembalikan lagi ke kehidupan lain untuk kedua kalinya di alam akhirat, agar ia hidup selama-lamanya. Telah kita ketahui pula bahwa kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang hakiki dan sejati, sehingga dunia ini tidak layak untuk disebut sebagai kehidupan bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat.
Kini, tiba saatnya kita membahas relasi antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi, dan memberikan batasan jenis relasi itu. Meskipun jenis relasi ini telah jelas pada batasan tertentu melalui pembahasan yang telah lalu. Akan tetapi, menilik sebagian pandangan yang menyimpang dalam bidang ini, selayaknya kita harus lebih banyak memahami tema ini, dan kita akan membahasnya lebih dalam lagi agar kita dapat mengetahui relasi antara dunia dan akhirat melalui dalil akal dan dalil wahyu.


Dunia Sebagai Lahan Akhirat
Pertama yang perlu ditekankan adalah bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan ukhrawi itu tergantung kepada perbuatan manusia di dunia ini. Maka itu, tidak mungkin seseorang akan memperoleh kenikmatan ukhrawi dengan cara berusaha keras di alam akhirat itu sendiri, dimana setiap orang yang tubuhnya lebih kuat dan pemikirannya akan lebih cerdas dapat menyiapkan bekal kenikmatan di alam tersebut, atau bagi sebagian penipu yang dapat menggunakan cara muslihatnya akan dapat menguasai hasil jerih-payah orang lain di alam tersebut. Sebagaimana dugaan sebagian manusia, bahwa alam akhirat merupakan alam tersendiri; yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan alam dunia.
Al-Qur’an menukil sebagian kisah kaum kafir:
“Dan aku tidak mengira bahswasannya hari kiamat itu tidak akan terjadi dan sekiranya aku ini dikembalkikan kepada Tuhanku, maka aku akan dapati kebaikan itu terbalik.” (QS. Al-Kahfi: 36)
“Dan aku tidak mengira bahwasannya hari kiamat itu akan terjadi, dan sekiranya aku ini dikembalikan kepada Tuhanku, maka sesungguhnya aku memiliki kebajikan disisi-Nya.” (QS. Fushshilat: 50)
Mereka menduga akan memperoleh kenikmatan yang melimpah di alam akhirat dengan jalan mengerahkan segenap tenaga mereka di alam tersebut, atau menduga bahwa kenikmatan yang mereka peroleh di dunia ini menunjukkan adanya kasih sayang Ilahi yang khusus terhadap diri mereka, dan di akhirat kelak kasih sayang tersebut akan mereka peroleh juga, sebagaimana hal itu mereka peroleh di alam dunia, dengan alasan bahwa sebelumnya mereka telah memperolehnya, yakni di alam dunia.
Jelasnya, seseorang yang percaya bahwa alam akhirat itu merupakan alam yang mandiri dan sama sekali terpisah dari alam dunia, dan amal kebaikan dan keburukan di alam dunia ini tidak berpengaruh pada kenikmatan dan siksa di alam akhirat kelak, ia sama sekali tidak beriman kepada Ma'ad yang merupakan prinsip akidah pada seluruh agama samawi. Sebab, prinsip ini ditopang oleh adanya pahala dan siksa atas amal perbuatan di dunia.
Oleh karena itu, dunia diibaratkan selaksa pasar, tempat jual-beli, berniaga, dan tempat bercocok tanam untuk akhirat. Maka seharusnya bagi setiap manusia mengerahkan segenap potensinya di dunia ini untuk beramal dan bercocok tanam, agar ia memperoleh keuntungan dan hasil yang abadi di akhirat. Inilah yang diperlihatkan oleh dalil-dalil akal Ma'ad dan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak dijelaskan yang lebih banyak lagi.
Kenikmatan Dunia dan Kebahagiaan Akhirat
Sebagian orang percaya bahwa harta benda, anak-anak, dan sarana kehidupan yang menyenangkan di alam dunia ini akan membuat mereka tentram, damai dan akan memperoleh kenikmatan di akhirat. Barangkali memendam emas, perak, dan permata yang berharga, bahkan juga sebagian bahan makanan, bersama orang yang telah mati adalah akibat dari kepercayaan semacam ini.
Al-Qur’an menekankan bahwa harta benda, dan anak-anak itu sendiri (terlepas dari sikap manusia terhadapnya) tidak menyebabkan dekatnya seseorang kepada Allah, tidak pula sama sekali berpengaruh positif bagi seseorang di alam akhirat kelak. Di alam tersebut akan terputus seluruh hubungan, sebab-sebab dan berbagai ikatan duniawi. Setiap orang akan meninggalkan berbagai kekayaannya dan segala hal yang berhubungan dengannya. Ia akan digiring di hadapan Allah seorang diri. Ketika itu, tidak tersisa lagi ikatan apa pun selain ikatan maknawi dengan Allah SWT.
Maka itu, orang-orang mukmin yang menjalin ikatan dengan istri-istri, putra-putri, dan sanak-kerabat mereka berdasarkan iman akan berkumpul kembali bersama-sama di dalam surga.
Kesimpulannya, ikatan dan hubungan antara dunia dan akhirat bukanlah seperti hubungan dan ikatan antara makhluk di alam dunia ini, tidak pula seperti yang diduga oleh sebagian orang bahwa apabila seseorang di alam dunia ini lebih banyak kekuatan, kelezatan, kenikmatan, kekayaan dan keindahannya, ia akan digiring dalam keadaan yang sama di akhirat nanti. Jika memang demikian, orang seperti Fir’aun dan Qarun akan lebih banyak memperoleh kebahagiaan di alam akhirat. Yang jelas, sebagian orang yang hidupnya di alam dunia ini mengalami kelelahan, kepayahan, dan kesengsaraan, namun hanya karena usahanya melakukan kewajiban-kewajiban Ilahi, mereka itu akan digiring dalam keadaan selamat, mulia, penuh keindahan dan kekuatan, akan memperoleh kenikmatan abadi di alam akhirat kelak.
Sebagian orang-orang yang bodoh mengira bahwa ayat yang berbunyi, “Dan barang siapa yang buta di alam dunia ini, maka di alam akhirat pun ia akan buta dan sesat dari jalan yang benar.” (QS. Al-Isra': 72) mengandung hubungan positif. Arti-nya, keselamatan dan kenikmatan duniawi melazimkan keselamatan dan kenikmatan akhirat. Mereka lalai bahwa maksud dari “buta” di dalam ayat ini bukan berarti buta lahiriyah, akan tetapi “buta mata hati”, sebagaimana disinggung dalam ayat lain, “Sesungguhnya pandangan mata itu tidak buta, akan tetapi yang buta adalah pandangan hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)
Di ayat lain, Allah SWT berfirman, “Barang siapa yang berpaling dari mengingat Kami maka ia akan mengalami kehidupan yang sempit dan akan Kami bangkitkan di hari kiamat dalam keadaan buta. Ia berkata, 'Wahai Tuhanku, mengapa Engkau bangkitkan kami dalam keadaan buta, Padahal sebelumnya aku melihat?' Kemudian Dia berfirman, 'Demikianlah ketika datang ayat-ayat Kami, kemudian engkau melupakannya dan demikian pula engkau pada hari ini dilupakan.” (QS. Thaha: 124-126)
Jadi, sebab kebutaan di alam tersebut lantaran melupakan ayat-ayat Ilahi di dunia ini, bukan karena buta mata di kepala. Dengan demikian, hubungan antara dunia dan akhirat bukanlah hubungan antara sebab-sebab dunia, akan tetapi suatu bentuk hubungan yang khas.
Kenikmatan Duniawi tidak Berarti Kesengsaraan Ukhrawi.
Sebagian orang malah percaya bahwa ada hubungan terbalik antara kenikmatan-kenikmatan dunia dan kenikmatan-kenikmatan akhirat, yaitu bahwa orang-orang yang akan memperoleh kebahagian akhirat adalah mereka yang tidak mendapatkan kenikmatan dunia. Begitu pula sebaliknya, yaitu mereka yang memperoleh kenikmatan dunia yang melimpah ruah, tidak akan memperoleh kebahagiaan akhirat.
Sehubungan dengan ini, mereka menggunakan sebagian ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa penyembah dunia tidak akan mendapatkan keuntungan apapun di akhirat. Mereka lalai bahwa mencari dunia dan terikat olehnya tidak berarti memenuhi kenikmatan dunia. Tetapi sesungguhnya "pencari dunia" adalah orang yang menjadikan kenikmatan duniawi sebagai tujuan utama usaha dan perbuatannya. Dan mereka telah mengerahkan segenap wujudnya untuk memperoleh kelezatan tersebut walaupun secara faktual mereka belum memperolehnya.
Adapun "pencari akhirat" adalah orang yang hatinya tidak terikat sedikit pun oleh kesenangan-kesenangan duniawi, tujuan hidupnya hanyalah akhirat, meskipun mereka banyak memperoleh kenikmatan-kenikmatan dunia, seperti Nabi Sulaiman as dan para wali Allah as, dimana mereka memperoleh kenikmatan-kenikmatan dunia yang begitu banyak, tetapi mereka menggunakannya untuk mencari kebahagiaan akhirat dan keridhaan Allah SWT.
Oleh sebab itu, tidak ada kelaziman antara memperoleh kenikmatan-kenikmatan duniawi dan meraih kenikmatan-kenikmatan ukhrawi, Sebagaimana pula tidak ada hubungan negatif antara keduanya. Akan tetapi kenikmatan-kenikmatan duniawi itu, demikian pula halnya dengan bencana-bencana duniawi, telah ditebarkan di tengah umat manusia berdasarkan pengaturan Ilahi yang bijak. Semua itu Allah jadikan sebagai sarana untuk menguji umat manusia. Memperoleh atau tidak kenikmatan dunia yang melimpah tidaklah menunjukkan dekat-dekatnya seseorang kepada rahmat Ilahi, tidak juga menjanjikan kebahagiaan ataupun kesengsaraan di akhirat.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan ini ialah bahwa mengingkari hubungan antara dunia dan akhirat sama dengan mengingkari prinsip Ma'ad. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa meyakini adanya hubungan antara kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat, sebagaimana pula tidak adanya hubungan antara kenikmatan dunia dan siksa akhirat, ataupun sebaliknya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan antara dunia dan akhirat bukanlah semacam hubungan antara makhluk-makhluk dunia yang tunduk kepada hukum-hukum fisika dan biologi. Bahkan, yang menyebabkan kebahagiaan atau siksa akhirat itu adalah usaha manusia itu sendiri secara bebas di dunia ini. Usaha ini tidak berarti hanya mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan serta menciptakan sebagian perubahan pada hal-hal yang bersifat materi. Akan tetapi, keluarnya tenaga dan usaha itu dilihat dari sisi keimanan atau kekufuran pelakunya.
Inilah yang ditunjukkan ratusan ayat Al-Qur’an yang menekankan bahwa kebahagiaan akhirat itu bergantung pada iman seseorang kepada Allah, Hari Kiamat, para nabi dan mengamalkan berbagai perbuatan yang diridai Allah SWT. seperti: shalat, puasa, jihad, infak, berbuat ihsan (kebaikan) kepada hamba Allah, amar makruf dan nahi munkar, memberantas kekafiran, kejahatan, dan orang-orang zalim, serta menegakkan keadilan.

 

PELAJARAN 53

Jenis Hubungan antara Dunia dan Akhirat

Pada pelajaran yang lalu kita telah mengetahui bahwa terdapat hubungan lurus antara iman dan amal saleh dari satu sisi, dan antara kedekatan Ilahi dan nikmat ukhrawi dari sisi lain. Demikian pula, antara kufur dan maksiat dari satu sisi dan antara jauh dari Allah dan kerugian akan nikmat-nikmat yang abadi dari sisi lainnya.
Begitu pula, terdapat hubungan terbalik antara iman-amal saleh dan siksa akhirat, dan antara kufur-maksiat dan kenikmatan yang abadi. Tak syak lagi bahwa Al-Qur’an mengakui hubungan-hubungan semacam ini. Maka, mengingkarinya sama dengan mengingkari Al-Qur’an itu sendiri.
Akan tetapi, ada bebarapa pembahasan seputar masalah ini yang perlu didudukkan secara lebih jelas. Misalnya, Apakah hubungan-hubungan di atas itu adalah hakiki dan takwini, ataukah ia hanyalah hubungan buatan dan konvensional? Dan apa hubungan antara iman dan amal saleh? Antara kufur dan maksiat? Lalu, apakah terdapat pengaruh antara perbuatan-perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk itu sendiri?
Pada pelajaran ini, kami akan memfokuskan telaah pada pertanyaan pertama dan berusaha menjelaskan bahwa hubungan-hubungan tersebut bukanlah perkara buatan dan hasil kesepakatan.
Hubungan Hakiki ataukah Buatan?
Telah kami sebutkan berulang kali bahwa hubungan antara perbuatan duniawi, nikmat dan siksa akhirat tidak sejenis hubungan materi dan fisikal sebagaimana umumnya, dan tidak mungkin ditafsirkan melalui dasar dan hukum fisika, kimia dan semacamnya. Maka, tidaklah tepat bila sebagian orang percaya bahwa energi yang digunakan untuk melakukan suatu perbuatan—berdasarkan teori berubahnya materi menjadi energi dan sebaliknya—akan berbentuk (tajassum) di akhirat. Yakni, di akhirat kelak, perbuatan itu akan tampak dalam bentuk kenikmatan atau siksa ukhrawi.
Ada beberapa alasan yang dapat meragukan kepercayaan ini. Di antaranya:
Pertama, mungkin saja energi yang digunakan oleh manusia untuk berbicara dan bekerja tidak bisa berubah menjadi sebuah apel, dan lebih tidak mungkin lagi bila berubah menjadi kenikmatan surgawi yang tidak terhitung banyaknya.
Kedua, ihwal perubahan materi menjadi potensi dan sebaliknya terjadi karena faktor-faktor tertentu yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan yang baik dan yang buruk serta niat si pelaku, juga tidak dapat dibedakan oleh hukum alam mana pun antara amal perbuatan yang ihklas dan amal perbuatan yang riya’, sehingga energi salah satu dari keduanya itu berubah menjadi kenikmatan, dan energi yang lainnya berubah menjadi azab.
Ketiga, energi yang pernah digunakan di jalan ibadah sangat mungkin dapat digunakan lagi di jalan maksiat.
Akan tetapi, mengingkari hubungan seperti ini tidak berarti mengingkari hubungan yang hakiki secara mutlak, karena ruang lingkup hubungan-hubungan yang hakiki juga meliputi hubungan-hubungan yang tidak diketahui dan yang tidak tunduk kepada empiris.
Sesungguhnya ilmu-ilmu empirik, selain tidak dapat digunakan untuk menilai hubungan sebab-akibat antara fenomena duniawi dan fenomena ukhrawi, juga tidak dapat digunakan untuk menggugurkan hubungan sebab-akibat manapun di antara mereka sendiri.
Maka, asumsi adanya pengaruh amal yang baik atau yang buruk terhadap jiwa pelaku, dan adanya kualitas-kualitas kejiwaan yang mendatangkan kenikmatan atau siksa ukhrawi—sebagaimana adanya pengaruh sebagian jiwa pada sebagian fenomena duniawi yang luar biasa—tidak dapat dianggap sebagai asumsi yang tidak logis. Bahkan, hal itu dapat dibuktikan melalui premis-premis filosofis secara khusus. Hanya saja kadar buku ini tidak cukup menampung penjelasan premis-premis tersebut.
Bukti-bukti Al-Qur’an
Barangkali pikiran kita menangkap adanya hubungan buatan dan konvensional dari kebanyakan ayat Al-Qur’an, seperti ayat-ayat yang mengisyaratkan ihwal pahala dan balasan, namun terdapat ayat-ayat yang memberi pengertian yang khas. Bahwa hubungan antara perbuatan manusia dan pahala atau siksa ukhrawi bukan sekedar hubungan buatan.
Maka itu, dapat dikatakan bahwa kelompok pertama dari ayat-ayat Al-Qur’an itu ditunjukkan untuk menyederhanakan masalah dan beradaptasi dengan pemahaman kebanyakan manusia yang lebih akrab dengan arti-arti konvensional itu.
Begitu pula kita menemukan bukti yang banyak di dalam riwayat-riwayat nan mulia yang menunjukkan bahwa usaha bebas manusia mempunyai aneka bentuk malakuti dan akan tampak di alam barzakh dan pada Hari Kiamat, kelak.
Berikut ini adalah contoh-contoh dari ayat Al-Qur’an yang menunjukkan atas adanya hubungan yang hakiki antara perbuatan manusia dan dampak ukhrawinya.
“Dan apa saja yang kalian perbuat untuk diri kalian berupa kebaikan, kalian mendapatinya di sisi Allah." (QS. Al-Baqarah: 110)
“Pada hari di mana tiap-tiap diri mendapati kebajikan dihadapkan kepadanya, begitu pula kejahatan yang telah dikerjakannya, ia ingin kalau sekiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh.” (QS. Ali 'Imran: 30)
“Pada hari di mana seseorang melihat apa yang telah ia lakukan.” (QS. An-Naba’ :20)
“Barang siapa melakukan kebaikan seberat dzarrahpun niscaya ia akan melihat balasannya, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun niscaya ia kan melihat balasannya pula." (QS. Az-Zalzalah: 7-8)
“Kalian tidak dibalas melainkan apa yang kalian telah kerjakan.” (QS. An-Naml: 90)
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya sebenarnya mereka itu memakan api di dalam perutnya.” (QS. An-Nisa’: 10)
Jelas bahwa sekedar melihat apa yang telah diperbuat di dunia pada hari kiamat nanti—pada dasarnya—bukan merupakan pahala atau siksa atas seseorang. Bentuk malakuti dari perbuatan itulah yang nantinya akan menjelma dalam bentuk kenikmatan atau siksa yang beraneka macam. Dengan itu, manusia mendapatkan kenikmatan atau siksa.
Keterangan ini juga dapat kita pahami dari ayat terakhir, yaitu bahwa dan bentuk batin pemakan harta anak-anak yatim sesungguhnya ia memakan api. Dan ketika tersingkap berbagai hakikat di alam akhirat, ia akan dapat melihat bahwa batin dan bentuk hakiki dari makanan haram tersebut adalah api yang akan memecahkan perutnya. Saat itulah ia diingatkan, bahwa api ini tidak lain adalah harta haram yang kau makan selagi di dunia![]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Berikan kritik terhadap penafsiran terbentuknya amal perbuatan melalui perubahan energi menjadi materi yang digunakan di dalam berbuat!
2. Bagaimana kita menerangkan hubungan hakiki antara perbuatan manusia dan dampak ukhrawinya secara logis?
3. Apakah ayat-ayat yang menunjukkan berbentuknya amal ibadah dan maksiat?
4. Mengapa sebagian ayat menggunakan ungkapan-ungkapan; balasan, pahala, siksa dan semisalnya?
5. Apakah mungkin berbentuknya amal itu ditafsirkan dengan kehadiran amal dalam bentuknya yang duniawi itu sendiri? Mengapa?

PELAJARAN 54

Pengaruh Iman dan Kufur pada Kebahagiaan dan Kesengsaraan Abadi

Apakah iman dan amal saleh merupakan dua faktor yang masing-masing secara mandiri dapat mendatangkan kebahagiaan abadi? Ataukah kebahagiaan ini merupakan hasil perkalian dari kedua-duanya sekaligus, dimana salah satunya tidak berarti apa-apa dalam mendatangkan kebahagiaan bila terlepas dari yang lainnya?
Pertanyaan senada juga bisa diangat mengenai kekufuran (lawan iman) dan maksiat. Yakni, apakah masing-masing kekufuran dan maksiat merupakan dua faktor yang secara terpisah dapat menyebabkan siksa abadi? Ataukah siksa abadi ini terjadi akibat gabungan dua faktor tersebut?
Lalu, berdasarkan pertanyaan kedua, jika manusia hanya memenuhi iman saja, atau amal saleh saja, maka apakah akibat dan resiko yang kelak akan ia hadapi? Begitu pula jika seseorang bersikap kekufuran saja, atau ia hanya melakukan maksiat, apakah yang akan terjadi ke atas dirinya? Kemudian apabila seorang mukmin melakukan dosa-dosa yang begitu banyak, atau seorang kafir melakukan kebajikan yang sangat banyak, apakah kelak ia akan bernasib bahagia ataukah bernasib celaka? Pada kedua bentuk pertanyaan terakhir, apabila seseorang hidup pada suatu saat dalam keadaan konsisten pada keimanan dan amal saleh, dan pada saat lain ia mengambil sikap kufur atau berbuat maksiat, apakah akhir hidup yang akan dijumpainya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas telah dibahas sejak abad pertama Hijriah. Di dalam masyarakat Islam, kaum Khawarij berkeyakinan bahwa melakukan maksiat merupakan faktor yang cukup dan mandiri dalam mendatangkan kesengsaraan abadi. Menurut mereka, perbuatan maksiat malah akan mengakibatkan kekufuran dan kemurtadan. Kelompok lain seperti Murji’ah berkeyakinan bahwa hanya imanlah yang akan membentuk kebahagiaan abadi. Adapun perbuatan maksiat sama sekali tidak mengancam kebahagiaan seorang mukmin.
Yang perlu dikatakan di antara dua keyakinan ekstrim itu ialah bahwa tidak setiap maksiat itu menyebabkan kekufuran dan kesengsaraan abadi. Meskipun bisa saja akibat menumpuknya dosa, maksiat tersebut akan menyebabkan tercabutnya iman. Dari sisi lain, tidak benar pula jika dinyatakan bahwa sekedar iman akan mengakibatkan diampuninya segala dosa dan maksiatnya, dan dengan hanya imanlah maksiat itu tidak berarti apa-apa.
Di awal pelajaran ini kami akan menjelaskan hakikat iman dan kufur. Setelah itu barulah kami mambahas pengaruh iman dan kufur terhadap pencapaian kebahagiaan dan kesengsaraan yang abadi.Adapun masalah-masalah lain akan kami bahas pada pelajaran selanjutnya, Insya Allah.
Hakikat Iman dan Kufur
Iman merupakan kondisi hati dan jiwa yang timbul dari pengetahuan tentang sesuatu dan kecondongan kepadanya. Iman itu bisa bertambah, bisa berkurang, tergantung pada lemah atau kuatnya kedua faktor tersebut, yaitu pengetahuan dan kecondongan. Seseorang yang tidak mengetahui atau menduga adanya sesuatu, ia tidak akan beriman kepadanya.
Kendati demikian, pengetahuan tidaklah cukup untuk membangun keimanan di dalam diri seseorang, karena sangat mungkin apa yang diketahuinya atau konsekuensi-konsekuensinya bertentangan dengan keinginan dan kecondongannya, yaitu tatkala ia condong kepada apa yang bertentangan dengan pengetahuannya. Maka itu, ia tidak bersungguh-sungguh dan komit pada konsekuensi-konsekuensi pengetahuannya. Bisa jadi ia malah memutuskan untuk melakukan tindakan yang melawan pengetahuannya sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT. mengenai raja-raja Fir’aun:
“Mereka itu mengingkarinya padahal hati mereka meyakininya karena kezaliman dan merasa tinggi." (QS. An-Naml:14)
Dalam menjawab Fir’aun, Musa as mengatakan, “Sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi.” (QS. Al-Isra’:102)
Sementara Fir’aun tidak juga beriman. Kepada rakyat ia berkata, “Aku tidak mengetahui adanya Tuhan selain dari aku sendiri.” (QS. Al-Qashas: 38)
Fir’aun hanya beriman pada saat-saat akan tenggelam di lautan. Ketika itu ia menyatakan, “Aku beriman bahwasanya tidak ada tuhan selain Tuhan yang diimani oleh Bani Israil.” (QS. Yunus: 90)
Telah kita ketahui bahwa "iman terpepet" seperti ini tidak akan diterima, walaupun bisa saja diberi nama iman.
Dengan demikian, iman itu terkait erat dengan kecon-dongan hati dan usaha bebas. Berbeda dengan pengetahuan yang dapat diperoleh tanpa adanya kebebasan di hadapan objek (maklum). Dari sinilah kita dapat menegaskan bahwa iman itu adalah usaha hati secara bebas. Dan, jika kita perluas pengertian usaha dan perbuatan sampai mencakup perbuatan-perbuatan hati, kita dapat menganggap iman itu sebagai wujud konkret dari sebuah usaha dan perbuatan manusawi.
Adapun kata al-Kufr (kekufuran), terkadang digunakan untuk menerangkan tidak adanya karakter iman. Yakni bahwa kufur itu berati ketiadaan iman, apakah ketiadaan iman itu akibat keraguan, jahl basith (kebodohan sederhana), atau karena jahl murakkab (kebodohan rangkap), atau pun timbul dari kecondongan yang menyimpang dari iman secara sengaja dan angkuh. Terkadang pula kufur itu digunakan dalam arti yang terakhir ini, yaitu kondisi keangkuhan dan pembangkangan. Atas dasar ini, kufur merupakan perkara konkret yang berlawanan dengan iman.
Ukuran Imam dan Kufur
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat, dapat kita pahami bahwa batas minimal dari iman yang mesti dipenuhi oleh seseorang—untuk meraih kebahagiaan yang abadi—ialah iman kepada Allah Yang Esa, pahala dan siksa akhirat, dan iman kepada kebenaran apa yang dibawa oleh para nabi as konsekuensi dari iman ini adalah kesungguhan dan tekad secara global untuk mengamalkan ajaran-ajaran Ilahi dan hukum-hukum-Nya. Adapun derajat iman yang tinggi khusus bagi para nabi dan wali Allah SWT.
Sementara, batas awal dari kekufuran ialah meng-ingkari Tauhid, Kenabian, Ma'ad, atau ragu terhadap kejadiannya, atau mengingkari pesan dan hukum para nabi yang sudah diketahui kedatangannya dari sisi Allah SWT. Sedangkan batas terbawah dari kekufuran adalah pengingkaran secara terang-terangan terhadap suatu perkara setelah menyadari kebenarannya, dan bertekad untuk memerangi agama yang hak. Dari sinilah syirik (mengingkari tauhid) termasuk salah satu tipe konkret dari kekufuran. Adapun nifaq ialah kekufuran di dalam batin dan secara rahasia yang dibarengi dengan penipuan dan pura-pura muslim. Munafik (kafir yang laten) itu lebih busuk dari seluruh tipe kekufuran sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di neraka yang paling bawah.” (QS. An-Nisa': 145)
Yang perlu kami tekankan di sini adalah bahwa Islam atau kufur yang dibahas dalam pelajaran fikih dan yang menjadi subjek sebagian hukum-hukum Islam seperti: kesucian binatang sembelihan dan kehalalannya, bolehnya menikah dan berlaku tidaknya warisan, semua itu tidak berkaitan dengan iman atau kufur yang tengah kita bahas di dalam Usuluddin ini. Karena, bisa jadi seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat lalu ia wajib menjalankan hukum-hukum fikih Islam, tetapi hatinya tidak beriman pada kandungan tauhid, kenabian dan konsekuensi-konsekuensinya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika seseorang tidak mampu mengenal Ushuluddin, misalnya ia mengidap penyakit gila, tidak waras, atau ia tidak dapat mengetahui agama yang hak lantaran kondisi-kondisi yang melingkupinya, orang seperti ini akan diampuni sesuai dengan kadar uzur dan kelemahannya. Tetapi, jika ia memiliki kesiapan untuk mencari kebenaran, lalu ia lalai dan teledor sehingga tetap berada dalam keraguan, atau ia mengingkari Ushuluddin dan hal-hal yang gamblang dan penting dalam agama tanpa dalil yang jelas, tentu ia tidak akan dimaafkan, dan kelak akan diganjar siksa yang abadi.
Pengaruh Iman pada Kebahagiaan-Kesengsaraan Abadi
Berdasarkan kenyataan bahwa kesempurnaan hakiki manusia itu terwujud dalam qurb Ilahi, dan bahwa terjerumusnya manusia akibat keterjauhan dari Allah SWT, dapat kita nyatakan bahwa iman kepada Allah SWT, kepada pengaturan-Nya secara cipta dan tinta yang menuntut keyakinan terhadap Kenabian dan Ma'ad, akan membentuk kesempurnaan hakiki seseorang. Adapun perbuatan yang diridai Allah SWT lebih merupakan cabang dan dan daun sebuah pokok, dan buah hasilnya adalah kebahagiaan abadi yang akan dijumpai di hari akhirat kelak.
Dengan demikian, apabila seseorang tidak menyemaikan benih keimanan di dalam hatinya, dan tidak menanamkan pokok yang berkah ini, atau ia malah menaburkan benih-benih kekufuran dan maksiat yang beracun di dalam hatinya, sungguh ia telah menyia-nyiakan nikmat Ilahi yang diberikan kepadanya. Bahkan, ia menanam pohon yang mendatangkan buah zaqum jahanam. Orang yang menyimpang seperti ini tidak mendapatkan jalan kebahagian abadi yang dapat ditempuh. Sementara amal kebajikannya tidak melampaui batas-batas dunia ini.
Mengapa demikian? Pada hakikatnya, setiap perbuatan dan usaha bebas merupakan proses dan gerak ruh menuju satu tujuan yang diinginkan oleh pelakunya. Maka, seseorang yang yang tidak percaya akan alam akhirat yang abadi dan derajat qurb Ilahi, bagaimana ia akan dapat menyadari dan menatap akhirat dan Qurb Ilahi itu sebagai tujuannya, dan bagaimana ia akan mengarahkan usaha dan aktifitasnya itu searah dengan tujuan tersebut? Tentu orang seperti ini tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan pahala abadi dari Allah SWT. Maksimal, amal kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang kafir hanya berpengaruh dalam meringankan siksa mereka saja. Karena, bisa jadi kebajikan itu akan melemahkan semangat pengingkaran dan penyembahan terhadap hawa nafsu.
Bukti-bukti Al-Qur’an
Kita amati bahwa Al-Qur’an sangat menekankan adanya pengaruh dasari dan positif pada iman dalam menurunkan kebahagiaan abadi untuk seseorang. Di samping itu, Al-Qur’an menyebutkan puluhan ayat mengenai amal saleh setelah menyebutkan iman dalam satu susunan kalimat. Sebagian ayat menekankan bahwa iman itu merupakan syarat utama sehingga amal-amal saleh berperan dalam menciptakan kebahagiaan abadi. Allah SWT berfirman, “Dan barang siapa melakukan amal-amal saleh baik ia itu laki-laki ataupun wanita dan ia orang yang beriman, maka kelak ia akan masuk surga”. (QS. An-Nisa’: 124)

Tidak ada komentar: