Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

10 November 2010

MA’AD/HARI KEBANGKITAN IV (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 45
Ma'ad di dalam Al-Qur'an
Mukaddimah
Ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas Ma'ad dan sebagai dalil atas para pengingkarnya dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Ayat-ayat yang menegaskan bahwa tidak ada satu dalil pun yang menafikan Ma’ad. Kelompok ini berfungsi sebagai pelucutan senjata para pengingkar.
2. Ayat-ayat yang mengisyaratkan adanya fenomena-fenomena alam yang mirip dengan terjadinya Ma’ad. Kelompok ini menafikan ketakmungkinan Ma'ad.
3. Ayat-ayat menyanggah keraguan-keraguan pengingkar Ma'ad dan membuktikan kemungkinan kejadiannya.
4. Ayat-ayat yang menekankan bahwa Ma'ad merupakan janji Allah yang pasti terjadi. Pada hakikatnya, kelompok ini membuktikan terjadinya Ma'ad melalui informasi pembawa kabar yang jujur.
5. Ayat-ayat yang menunjukkan dalil akal atas pentingnya Ma'ad.
Pada dasarnya ayat-ayat kelompok pertama, kedua dan ketiga itu membahas kemungkinan terjadinya Ma’ad. Sedangkan kelompok keempat dan kelima membahas penting dan pastinya kejadian Ma’ad.


Pengingkaran Buta terhadap Ma'ad
Dalam rangka berdalil, berdialog dan menyanggah para pengikut kepercayaan-kepercayaan yang batil, Al-Qur'an menggunakan beberapa metode. Di antaranya, menuntut mereka agar membawakan argumentasi atas dugaan-dugaan mereka. Dengan cara ini, akan tampak kelemahan dan kerapuhan kepercayaan mereka; kepercayaan yang tidak berdasar pada argumentasi yang logis.
Dalam beberapa ayat, Al-Qur'an selalu menantang mereka dengan ungkapan "Katakanlah kepada mereka, 'Tunjukkanlah bukti kalian.’"[1]
Al-Qur'an mengatakan bahwa para pengikut kepercayaan batil dan pengingkar Ma'ad itu tidak memiliki keyakinan yang sesuai dengan kenyataan dan tidak berdasar pada argumentasi yang valid. Bahkan, mereka hanya membangun keyakinan di atas dugaan belaka yang bertentangan dengan kenyataan. Allah SWT berfirman, "Dan mereka (para pengingkar Ma'ad) berkata, ‘Sungguh kehidupan itu terbatas hanya di dunia saja, setelah itu kita mati. Dan tidak ada yang membinasakan kita selain ad-dahr [masa].’ Sungguh mereka sama sekali tidak tahu tentang itu, mereka hanya menduga-duga saja.” (QS. Al-Jatsiyah: 24)[2]
Pada beberapa ayat lain[3] terdapat penegasan bahwa para pengingkar Ma'ad itu sama sekali tidak mempunyai dalil dan argumen selain dugaan batil. Sangat mungkin dugaan batil itu akan dapat diterima oleh para penyembah hawa-nafsu selama sesuai dengan nafsu dan kepentingan mereka. Akibat penerimaan demikian itu serta berbagai dosa dan kemungkaran yang mereka lakukan, secara bertahap dugaan itu menjadi keyakinan yang mantap pada diri mereka, bahkan bisa jadi seseorang akan memegangnya begitu kuat.[4]
Al-Qur’an telah menukil perkataan para pengingkar Ma'ad. Kebanyakan mereka menganggap bahwa Ma'ad itu mustahil terjadi. Terkadang Al-Qur’an pun menyinggung keraguan-keraguan lemah mengenai kejadian Ma'ad yang merupakan sebab dari keraguan dan penolakan mereka terhadap kemungkinan Ma’ad.[5] Oleh karena itu, Al-Qur’an menerangkan sebagian fenomena alam yang mirip dengan kejadian Ma’ad untuk mengikis keraguan mereka. Dari sisi lain, Al-Qur’an menjawab keraguan-keraguan yang mereka lontarkan setuntas mungkin sehingga kemungkinan terjadinya Ma'ad dapat dipastikan.
Tidak cukup sampai di situ saja, Al-Qur’an juga menjelaskan dalil-dalil akal atas keniscayaan Ma'ad, di samping adanya janji Ilahi yang bersifat pasti untuk menyempurnakan bukti atas manusia melalui wahyu, sebagaimana akan kita bahas pada pelajaran berikutnya, Insya Allah.
Fenomena Alam yang Mirip dengan Ma'ad
Pertama: Keluarnya Tumbuh-tumbuhan dari Bumi
Dilihat dari sisi bahwa kehidupan itu mendahului kematian, ihwal menghidupkan kembali manusia setelah kematiannya mirip sekali dengan ihwal keluarnya tumbuh-tumbuhan dari dalam perut bumi setelah kering dan kematiannya.
Setiap manusia waras dan mau menggunakan pikirannya untuk merenungkan fenomena yang sering terjadi di hadapan matanya, sudah cukup mendapatkan pelajaran bahwa kehidupan di alam lain amat mungkin bisa terjadi setelah kematian di dunia ini. Hanya saja, karena begitu kerapnya manusia menyaksikan fenomena semacam ini membuat mereka lalai dan menganggap kejadian itu suatu hal yang biasa. Padahal, kejadian semacam itu tidak jauh berbeda dengan cara menghidupkan kembali manusia setelah kematiannya dari sisi munculnya kehidupan yang baru di alam lain. Oleh karena itu, untuk mengikis anggapan bahwa kejadia itu merupakan kebiasaan belaka, Al-Qur'an selalu mengingatkan dan memfokuskan perhatian manusia terhadap fenomena itu dan menjelaskan kepada mereka bahwa hal itu mirip dengan terjadinya Hari Kebangkitan. Allah SWT berfirman, "Perhatikanlah tanda-tanda rahmat Allah, bagaimana Dia menghidupkan bumi yang telah mati. Sesungguhnya Dialah yang menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Ar-Rum: 50)
Kedua: Tidurnya Ashhabul Kahfi
Setelah memaparkan peristiwa nyata yang amat menakjubkan dan banyak memberikan pelajaran berharga, Al-Qur'an mengingatkan kita, "Dan demikian pula Kami mempertemukan manusia dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya." (QS. Al-Kahfi: 21)
Tidak diragukan lagi bahwa peristiwa yang sangat menakjubkan ini membawa manfaat besar. Yaitu, ketika sekelompok anak muda yang hatinya dipenuhi iman telah tidur di dalam gua "Kahfi" begitu panjang, yakni selama tiga abad, tepatnya selama 300 tahun Syamsiyah atau 309 tahun Qamariyah. Setelah melewati masa yang begitu lama, mereka bangun dari tidurnya yang nyenyak itu.
Menyimak kisah nyata "sahabat-sahabat Kahfi" ini sangat efektif dalam mengarahkan umat manusia untuk menyadari kemungkinan terjadinya Ma'ad, serta menyingkirkan keraguan-keraguan dari dalam hatinya. Karena, setiap peristiwa tidur—walaupun mirip dengan kematian (tidur adalah saudaranya mati), dan setiap keterjagaannya mirip dengan terjadinya kehidupan setelah kematian—namun dalam kejadian tidur yang wajar sebagaimana kita alami setiap malam, organ-organ tubuh manusia itu tetap bekerja dan aktif. Oleh karena itu pada kejadian tidur-bangun biasa ini, kembalinya ruh ke tubuh setelah tidur bukanlah hal yang menakjubkan bagi umumnya orang. Akan tetapi, tubuh yang tidak pernah diberi makanan selama 300 tahun—menurut perhitungan manusia dan secara natural—pasti akan mengalami pembusukan, kematian dan tidak mungkin layak bagi ruh untuk kembali kepadanya. Hal ini sesuai dengan hukum alam yang berlaku di dunia ini.
Peristiwa yang menakjubkan ini dapat menyadarkan manusia akan hukum lain di balik hukum-hukum alam ini, dan membuat mereka paham bahwa kembalinya ruh ke tubuh tidak mesti terbatas pada terpenuhinya sebab-sebab dan kondisi-kondisi alami yang wajar. Dengan demikian, adanya kehidupan baru di alam lain pasca kematian tak ubahnya dengan peristiwa "Kahfi" tersebut. Artinya, Ma'ad dan Hari Kebangkitan bukanlah sesuatu yang mustahil, bahkan pasti terjadi sesuai dengan janji Allah SWT.
Ketiga: Hidup-kembalinya Hewan
Al-Qur'an juga mengkisahkan hidup kembalinya sebagian binatang dengan cara yang tidak wajar. Antara lain, hidup kembalinya empat ekor burung di tangan Nabi Ibrahim as, seekor binatang tunggangan sebagian nabi, segaimana yang akan kami bawakan kisahnya. Maka, manakala menghidupkan kembali hewan itu mungkin terjadi, tentu menghidupkan kembali manusia bukanlah hal yang mustahil.
Keempat: Hidupnya Kembali SebagianManusia di Dunia
Lebih penting dari seluruhnya ialah kejadian hidupnya kembali seorang manusia di dunia ini. Seperti yang dising-gung oleh Al-Qur'an, yaitu kisah salah seorang nabi Bani Israil. Allah SWT berfirman, "Perhatikanlah kisah seseorang yang melewati suatu negeri yang telah roboh dan hancur. Ketika itu ia berkata, 'Bagaimanakah Allah menghidupkan kembali negeri ini yang telah hancur?' Maka dengan serta merta Allah mematikan orang itu selama 100 tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Kepadanya Allah bertanya, 'Sudah berapa lamakah kamu tinggal di sini?' Ia menjawab, 'Aku telah tinggal di sini sehari atau setengah hari saja.' Allah berfirman, 'Sebenarnya kamu tinggal di sini sudah seratus tahun. Lihatlah makanan dan minuman yang masih utuh, dan lihat pula keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Sesungguhnya Kami akan menjadikan kamu sebagai tanda kekuasaan Kami atas manusia. Dan lihatlah tulang belulang keledaimu itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, lalu Kami membalutnya dengan daging.' Tatkala semua itu telah nyata baginya, ia pun berkata, "Kini aku betul-betul yakin bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 259)
Pada tempat lain, Allah SWT memaparkan kisah Nabi Musa as bersama sekelompok kaum Bani Israil.
"Dan ingatlah ketika kalian berkata, 'Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas.' Karena itulah kalian ditebas halilintar, sedang kalian sendiri menyaksikannya. Setelah itu Kami hidupkan kalian kembali setelah kematian kalian, agar kalian bersyukur kepada Kami." (QS. Al-Baqarah: 55-56)
Begitu juga cara menghidupkan kembali seorang Bani Israil di zaman Nabi Musa as melalui salah satu bagian tubuh sapi yang disembelih. Kisah ini terdapat di surat Al-Baqarah. Penamaan surat ini dengan nama itu juga lantaran kisah ini. Di akhir kisah, Allah SWT berfirman, "Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepada kalian akan tanda-tanda kekuasaan-Nya supaya kalian mengerti." (QS. Al-Baqarah: 72-73)
Demikian pula menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati melalui mukjizat Nabi Isa as. Contoh-contoh di atas ini dapat diangkat sebagai bukti atas kemungkinan terjadinya Ma'ad.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Terangkan metode Al-Qur’an dalam menghadapi para pengingkar Ma’ad!
2. Apakah titik kesamaan antara keluarnya tumbuh-tumbuhan dari perut bumi dengan menghidupkan kembali manusia pada Hari Kiamat? Sebutkan pandangan Al-Qur’an mengenai masalah ini!
3. Apakah kesimpulan yang dapat diambil dari kisah Ashhabul Kahfi sehubungan dengan masalah Ma’ad?
4. Ceritakan kisah hidup kembalinya burung di tangan Ibrahim as dan jelaskan hubungannya dengan Ma'ad!
5. Sebutkan orang-orang yang—di dalam Al-Qur’an—telah hidup kembali!

[1] Lihat surah Al-Baqarah: 111, Al-Anbiya': 24, dan An-Naml: 64.
[2] Rujuk surah Al-Mu'minun: 117, An-Nisa': 157, Al-An'am: 100, 119, 148, Al-Kahfi: 5, Al-Hajj,: 3, 8,71, Al-‘Ankabut: 8, Ar-Rum: 29, Luqman: 20, Al-Ghafir: 42, Az-Zukhruf: 20, dan An-Najm: 28.
[3] Lihat surah Al-Qashash: 39, Al-Kahfi: 36, Shad: 27, Al-Jatsiyah: 32, dan Al-Insyiqaq: 14.
[4] Lihat surah Al-Rum: 10, Al-Muthaffifin: 10-14, dan An-Nahl: 38.
[5] Lihat surah Al-Isra’: 51, Ash-Shaffat: 16,53, Ad-Dukhan: 34–36, Al-Ahqaf: 18, Qaf: 3, Al-Waqi’ah: 47-48, Al-Muthaffifin: 12-13, dan An-Nazi’at: 10-11.

PELAJARAN 46

Jawaban Al-Qur'an Terhadap Pengingkar Ma'ad

Dari bebarapa dialog dan kritik Al-Qur’an terhadap para pengingkar Ma'ad, dan dari metode jawabannya terhadap dugaan-dugaan mereka, tampak sejumlah keraguan di dalam benak mereka. Berikut ini akan kami paparkan keraguan-keraguan tersebut berikut jawaban-jawabannya.
1. Keraguan Mengembalikan yang Telah Tiada
Telah kami singgung bahwa Al-Qur’an telah memberikan jawaban kepada orang-orang yang menyatakan bahwa bagaimana manusia itu dapat dihidupkan kembali setelah tubuhnya hancur luluh. Inti jawaban Al-Qur’an yaitu bahwa hakikat manusia adalah ruhnya, bukan karena anggota tubuh manusia yang beserpihan di dalam tanah.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa motif utama orang-orang kafir dalam mengingkari Ma'ad ialah keraguan yang dalam Filsafat dikenal sebagai "Kemustahilan Mengembalikan yang telah Tiada" (Istihalatu i'adatil ma'dum). Yakni, mereka meyakini bahwa manusia itu adalah tubuh materi ini yang akan hancur setelah kematiannya. Dan jika ia dihidupkan kembali setelah kematian, ini berarti ia adalah manusia yang lain. Maka itu, mengembalikan yang telah tiada merupakan perkara yang mustahil, yang pada dasarnya dan secara substansial tidak akan terjadi.
Jawaban Al-Qur’an atas keraguan ini juga cukup jelas, bahwa hakikat setiap manusia adalah ruhnya. Artinya, Ma'ad itu bukanlah mengembalikan yang telah tiada, akan tetapi kembalinya ruh yang sudah ada.
2. Keraguan Ketakmungkinan Tubuh Dihidupkan Kembali
Keraguan pertama itu berkaitan dengan Ma’ad dari sisi kemungkinan terjadinya secara substansial. Adapun keraguan kedua ini berkaitan dengan kemungkinan terjadinya secara nyata. Artinya, sekalipun kembalinya ruh ke tubuh tidak mustahil secara logis dan asumsi kemungkinannya tidak melazimakan kontradiksi, namun kembalinya ruh tersebut secara aktual (bil fi’li) dan kejadian konkretnya tergantung pada potensi tubuh.
Kita melihat bahwa adanya kehidupan itu tergantung kepada syarat-syarat tertentu yang mesti terpenuhi secara bertahap. Misalnya, sperma itu harus menetap di dalam rahim dan keharusan terpenuhinya syarat-syarat yang memadai pertumbuhan dan perkembangannya agar ia menjadi janin yang sempurna secara berangsur sampai menjadi bentuk manusia. Akan tetapi, tubuh yang telah hancur luluh akan kehilangan potensinya untuk hidup kembali.
Jawaban atas keraguan ini ialah bahwa sistem kehidupan di dunia ini bukanlah satu-satunya sistem yang mungkin. Dan syarat-syarat yang kita ketahui melalui eksperimen bukanlah sebab-sebab yang terbatas (hanya itu saja). Buktinya adalah kejadian sebagian fenomena yang luar biasa di dalam kehidupan ini, seperti menghidupkan sebagian binatang atau manusia. Jawaban seperti ini dapat dirujuk ke beberapa fenomena luar biasa yang tersebut di dalam Al-Qur’an.
3. Keraguan terhadap Kemampuan Pelaku
Keraguan ketiga ialah bahwa di samping adanya kemungkinan secara substansial (imkan dzati) dan potensi objek (qobil), kemampuan pelaku merupakan syarat terjadinya setiap fenomena. Masalahnya, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa Allah SWT itu memiliki kemampuan untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati?
Keraguan lemah ini biasanya dilontarkan oleh orang-orang yang tidak memahami kekuasaan Allah yang nirbatas. Jawabannya adalah bahwa kekuasaan Allah SWT tidak terbatas dan berurusan dengan segala sesuatu yang mungkin (secara substansial) terjadi, sebagaimana kita perhatikan bahwa Allah telah menciptakan alam semesta yang mahaluas dan begitu mengagumkan ini. Allah SWT berfirman, “Apakah mereka tidak melihat sesungguhnya Allah—yang telah menciptakan langit dan bumi dan tidak merasa lelah dengan menciptakan itu semua—Mahakuasa untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati. Ketahuilah sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Ahqaf: 33)
Di samping itu, menciptakan sesuatu yang baru tidak lebih sulit dibandingkan menciptakannya pertama kali, dan tidak membutuhkan kemampuan dan kekuasaan yang lebih besar. Bahkan dapat dikatakan bahwa menciptakan untuk yang kedua itu lebih mudah, karena Ma'ad hanyalah mengembalikan ruh yang telah ada. Allah SWT berfirman, “Mereka berkata siapakah yang akan mengembalikan kami?” Katakanlah, 'Ialah yang telah menciptakan kalian pertama kali. Kemudian mereka akan menundukkan kepalanya di hadapanmu.’” (QS. Al-Isra’: 51)
Di ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dialah yang memulai penciptaan kemudian Dia mengembalikannya lagi, dan itu lebih ringan bagi-Nya.” (QS. Ar-Rum: 27)
4. Keraguan terhadap Ilmu Pelaku
Keraguan keempat ialah ketika Allah SWT hendak menghidupkan kembali manusia dan membalas perbuatan mereka, baik dengan pahala atau pun siksa, maka dari satu sisi Dia harus dapat membedakan antara tubuh-tubuh yang tidak terhitung jumlahnya agar Ia dapat mengembalikan ruh mereka ke tubuhnya masing-masing. Dari sisi lain, Ia pun harus mengingat seluruh perbuatan mereka, yang baik ataupun yang buruk, sehingga Dia memberi balasan pahala atau siksa sesuai dengan haknya masing-masing. Namun, bagaimana mungkin Allah SWT dapat membedakan dan mengidentifikasi jasad-jasad yang telah berubah menjadi tanah itu dan masing-masing bagiannya telah melebur dengan yang lainnya? Dan bagaimana mungkin Dia dapat mengingat secara tepat seluruh perbuatan setiap manusia sepanjang ribuan bahkan jutaan tahun untuk dilakukan perhitungan?
Keraguan ini biasanya dilontarkan oleh mereka yang tidak mengerti ketakterbatasan ilmu Allah SWT. Mereka menimbang ilmu Allah dengan ilmu mereka yang serbakurang dan serbaterbatas.
Jawaban atas keraguan ini ialah bahwa ilmu Allah SWT tidaklah terbatas. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dan, Allah tidak pernah lupa akan segala apapun. Melalui dialog Fir’aun dan Nabi Musa as, Al-Qur’an menegaskan, “Bagaimana mereka yang hidup pada kurun waktu pertama?” Musa menjawab, ‘Sesungguhnya ilmu itu berada pada Tuhanku di dalam satu kitab. Tuhanku tidak sesat dan tidak pernah lupa.’” (QS.Thaha: 51)
Di ayat lain, Al-Qur’an memberikan jawaban terhadap dua keraguan terakhir sekaligus, "Katakanlah, yang telah menghidupkannya kembali itu adalah yang telah menciptakannya pertama kali dan Dia Mahatahu akan segala ciptaan-Nya." (QS.Yasin: 79)[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan keraguan mustahilnya mengembalikan yang telah tiada beserta jawabannya!
2. Terangkan keraguan bahwa tubuh itu tidak memiliki potensi untuk hidup kembali beserta jawabannya!
3. Jelaskan keraguan terhadap kemampuan pelaku Ma'ad beserta jawabannya!
4. Terangkan keraguan terhadap ilmu pelaku Ma'ad beserta jawabannya!

PELAJARAN 47

Janji Ilahi Mengenai Hari Kiamat

Sebagai risalah Allah SWT untuk segenap hamba-Nya, Al-Qur’an sangat menekankan akan terjadinya Hari Kiamat dan menganggapnya sebagai janji Ilahi yang pasti terjadi, sehingga dengannya sempurnalah hujjah atas umat manusia. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, kita melihat bagaimana Al-Qur’an memberikan isyarat akan adanya dalil-dalil akal atas pentingnya masalah Ma’ad, sehingga dengan ini mendorong manusia untuk mengetahuinya secara rasional dan melipatgandakan hujjah atas mereka.
Dari sini kita dapat membagi sikap Al-Qur’an terhadap Ma'ad kepada dua macam yang akan kami paparkan melalui ayat-ayatnya yang berkaitan.
Janji Allah yang Pasti
Al-Qur’an menganggap bahwa terjadinya Hari Kiamat dan hidup kembalinya seluruh umat manusia di alam akhirat adalah perkara yang tak diragukan lagi. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Hari Kiamat itu pasti akan datang tanpa ada keraguan sedikit pun.” (QS. Ghafir: 59)
Al-Qur’an juga menganggap bahwa Hari Kiamat itu merupakan janji yang hak dan pasti, "Demikianlah sebagai janji Allah yang benar." (QS. An-Nahl: 38)
Di berbagai ayat, Al-Qur’an pun bersumpah atas terjadi-nya Hari Kiamat, “Katakanlah, ‘Benar, demi Tuhanku! Sesungguhnya kalian akan dibangkitkan dan akan diberitahu tentang segala apa yang kalian telah lakukan dan hal itu sangat mudah bagi Allah.’” (QS. At-Taghabun: 7)
Selain itu, Al-Qur’an menganggap peringatan kepada manusia tentang Hari Kiamat itu sebagai tugas para nabi yang paling penting, “Dia meletakkan ruh dari amr-Nya kepada orang-orang yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya agar ia memberikan peringatan tentang hari perjumpaan.” (QS. Al-Ghafir: 15)
Kepada para pengingkar Ma’ad, Al-Qur’an memberi ancaman kesengsaraan yang abadi dan azab yang pedih. Allah SWT berfirman, “Dan kami telah menyiapkan neraka sa’ir bagi orang yang mendustakan Hari Kiamat." (QS. Al-Furqan: 11)
Berdasarkan penjelasan di atas, siapa saja yang mengetahui kebenaran kitab samawi ini (Al-Qur’an), tidak ada alasan baginya untuk meragukan Ma’ad, apalagi mengingkarinya.
Pada pelajaran yang lalu telah kami jelaskan bahwa setiap orang yang sadar dan tulus pada kebenaran dapat menerima Al-Qur'an sebagai kitab suci yang hak. Karenanya, tidak seorang pun yang tidak mengakui kebenaran itu akan dimaafkan, kecuali bila kemampuan nalarnya lemah, atau karena faktor-faktor tertentu sehingga ia tidak dapat mencapai pada kebenaran yang sudah diupayakannya sebaik-baiknya.
Penjelasan Rasional
Pada dasarnya, Al-Qur’an lebih banyak menggunakan dalil-dalil akal atas pentingnya Ma'ad. Dalil itu berbasis pada Hikmah dan Keadilan Ilahi. Di antaranya, apa yang disinggung oleh Al-Qur’an secara istifham inkari (pertanyaan retoris), “Apakah kalian menyangka bahwa kami telah menciptakan kalian itu dengan sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada kami?“ (QS. Al-Mukminun: 115)
Dengan jelas ayat ini menunjukkan bahwa jika Ma'ad dan Hari Kembali kepada Allah itu tidak terjadi, penciptaan manusia di alam dunia ini menjadi sia-sia. Karena kesia-siaan itu tidak mungkin dilakukan oleh Allah Yang Mahabijak, alam lain (akhirat) itu niscaya keberadaannya, sehingga umat manusia dapat kembali kepada-Nya.
Pada dasarnya, Argumen ini berupa qiyas ististna’i (silogisme hipotetik); premisnya yang pertama berupa qadhiyyah syartiyah (proposisi hipotetis) yang menyatakan bahwa penciptaan manusia di alam dunia ini benar-benar bertujuan jika ia kembali kepada Allah setelah kehidupan dunia ini dan akan memperoleh hasil perbuatannya itu di alam akhirat. Konsekuensi (mulazamah) ini telah kami jelaskan pada pelajaran yang telah lalu, yaitu tatkala membahas dalil hikmah. Untuk itu, kami kira tidak perlu mengulangnya di sini.
Adapun premis kedua, yaitu bahwa Hikmah Ilahiyah memustahilkan kesia-siaan pada tindakan-tindakan Allah SWT, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian Tauhid, bahkan telah kami jelaskan pula pada di dalam dalil hikmah. Maka itu, ayat di atas itu dapat diterapkan sepenuhnya atas dalil ini.
Perlu kami tambahkan bahwa sesungguhnya penciptaan manusia itu merupakan tujuan dari penciptaan alam. Maka, apabila penciptaan manusia di alam ini adalah sia-sia dan tidak mempunyai tujuan yang bijak, berarti penciptaan seluruh alam pun menjadi batil dan sia-sia belaka.
Kesimpulan dari kenyataan ini dapat kita petik dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan bahwa keberadaan alam akhirat itu merupakan keharusan bagi penciptaan alam secara penuh hikmah dan bijaksana. Maka, keberadaan alam akhirat itu sesuai dengan penciptaan yang bijak bagi alam semesta ini.
Sebagian ayat Al-Qur'an menyebutkan sifat Ulil Albab (orang-orang yang berfikir). Di antaranya, “Dan mereka senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi sembari berseru, ‘Wahai Tuhan kami, sesungguhnya apa yang telah Engkau ciptakan ini tidaklah batil. Maha suci Engkau, maka lindungilah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 191)
Dari ayat ini juga dapat kita simpulkan bahwa merenung dan memikirkan bagaimana terjadinya penciptaan alam semesta ini dapat memfokuskan perhatian seseorang pada Hik-mah Ilahiyah. Artinya, Allah yang Mahabijak mempunyai tujuan yang bijak pula di balik penciptaan alam semesta yang agung ini, dan Dia tidak menciptakannya secara sia-sia belaka. Karena, jika tidak terdapat alam lain yang merupakan tujuan akhir dari penciptaan alam ini, seluruh penciptaan Allah SWT menjadi sia-sia dan tidak memiliki tujuan.
Adapun sekelompok ayat lain yang menyinggung dalil akal atas pentingnya Ma’ad, dapat dibandingkan secara penuh dengan dalil keadilan. Yakni, berdasarkan Keadilan Ilahi, orang-orang yang baik dan yang buruk itu harus mendapatkan pahala ataupun siksa atas usaha mereka, sehingga akhir perjalanan masing-masing dapat dibedakan. Mengingat tidak adanya perbedaan semacam ini di alam dunia ini, tentu ada alam lain, yaitu alam akhirat sehingga Keadilan Ilahi betul-betul terealisasi. Di antara ayat-ayat tersebut ialah:
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan memperlakukan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang hak, dan agar diberikan balasan tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya dan mereka tidak akan dirugikan.” (QS. Al-Jatsiyyah: 21-22)
Hal lain yang perlu ditekankan ialah bahwa ayat yang menyatakan, “Dan Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak” mengisyaratkan dalil hikmah, sebagaimana dalil keadilan bisa saja disederhanakan pada dalil hikmah. Sebab, seperti yang dijelaskan pada tema Keadilan Ilahi, bahwa keadilan merupakan mishdaq Hikmah Ilahiyah.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan cara Al-Qur’an membuktikan masalah Ma’ad sehingga menjadi sempurna hujjah atas manusia!
2. Sebutkan ayat-ayat yang menyinggung dalil hikmah! Jelaskan pula cara berdalil dengan ayat tersebut!
3. Apakah ayat-ayat yang menyinggung dalil keadilan? Jelaskan pula cara berdalil dengan ayat tersebut!
4. Bagaimana dalil keadilan itu dapat disederhanakan pada dalil hikmah?

Tidak ada komentar: