Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

13 November 2010

TAKDIR MANUSIA BAG.I OLEH MURTHADA MUTHAHHARI

  
Tuhan Telah Mati (Qadariyah)
BAGIAN PERTAMA
Pengaruh Takdir Atas Manusia
Perasaan Menakutkan
Tidak ada sesuatu yang lebih mengganggu dan menyakitkan jiwa seseorang daripada perasaan bahwa ia hidup di bawah bayang-bayang sebuah kekuasaan absolut yang amat kuat dan mencengkram segala sesuatu dalam kehidupannya, serta mengarahkannya ke mana saja sesuai dengan kehendaknya. Karena, seperti dikatakan orang, kemerdekaan adalah nikmat yang paling mahal harganya, sedangkan perasaan terjajah adalah rasa sakit yang paling memedihkan. Dengan begitu manusia merasa dirinya terinjak-terinjak dan kehendaknya tercabik-cabik oleh kekuatan absolut yang menjajahnya itu. Tak ubahnya seperti seekor domba yang ditarik oleh sang penggembala yang menguasai tidur, makan, hidup dan matinya. Hal ini akan menimbulkan perasaan bagai bara api yang menyala-nyala dalam lubuk hatinya serta rasa sakit yang tak terhingga, menyerupai penderitaan seseorang yang menyerah pasrah dalam cengkraman seekor singa yang garang dan buas, setelah menyadari bahwa tidak ada lagi jalan keselamatan baginya dari cengkeraman kuat yang sepenuhnya mengendalikan dirinya itu.

Haji Perpisahan (Wada), Pidato/Pesan Terakhir Nabi Muhammad kpd Seluruh Manusia di Ghadir Khum 18 Dhul-Hijjah tahun 10 Hijrah.


wadaAl-Tabarsi menulis: Al-Sayyid Abu Ja`far Mahdi b. Abi Harb al-Husaini al-Mar`asyi r.a telah memberitahu kami dia berkata: al-Syaikh Abu `Ali al-Hasan b. al-Syaikh al-Sa`id Abi Ja`far Muhammad b. al-Hasan al-Tusi r.a, telah memberitahuku dia berkata: al-Syaikh al-Sa`id al-Walid Abu Ja`far q.r telah memberitahuku dia berkata: Jama`ah daripada Abi Muhammad Harun b. Musa al-Tala`kbari telah memberitahu kami, dia berkata: Abu `Ali Muhammad b. Hammam telah memberitahu kami, dan berkata: `Ali al-Suri telah memberitahu kami, dia berkata: Abu Muhammad al-`Alawi daripada anak lelaki al-Aftas di kalangan hamba Allah yang salih telah memberitahu kami dia berkata: Muhammad b. Musa al-Hamdani telah memberitahu kami, dia berkata: Muhammad b. Khalid al-Tayalasi telah memberitahu kami, dia berkata: Saif b. `Umairah dan Salih b. Uqbah telah memberitahu kami daripada Qais b. Sam`an daripada `Alqamah b. Muhammad al-Hadrami daripada Abu Ja`far b. Muhammad b. `Ali Zain al-`Abidin b. Husain b. `Ali!

b. Abi Talib daripada Rasulullah s.`a.w.
Beliau bersabda: "Segala puji bagi Allah, Yang Maha Tinggi dalam kesatuan-Nya, berdekatan dalam keesaan-Nya, mulia dalam pemerintahan-Nya, besar dalam kekuasaanNya, keilmuanNya yang menyeluruh sedangkan Dia "berada" di `ArasyNya. Menundukkan seluruh makhluk dengan kekuasaan dan hujahNya yang mulia sehingga Dia sentiasa dipuji,Dialah pencipta langit, penjadi sesuatu dengan rapi. Dialah Penguasa bumi dan langit, Maha Tinggi Maha suci Tuhan para malaikat dan ruh, Maha Pemurah kepada semua orang yang tidak mensyukuriNya, Maha Mengetahui di atas segala yang dijadikanNya. Memerhati setiap mata, tetapi mata (mata) tidak dapat melihatNya. Mulia, Pemaaf dan menyenangkan, rahmatNya meliputi setiap sesuatu, mengurniakan nikmatNya ke atas mereka. Tidak cepat membalas dendam dan tidak segera mengenakan azab ke atas mereka. Dia memahami segala rahsia, Dia mengetahui segala bisikan hati, tidak dapat diselindungi oleh perkara-perkara yang tersembunyi.

12 November 2010

Sekilas Riwayat Imam Ali Bin Abi Thalib

Selayang Pandang

Berdasarkan data sejarah yang paling popular, Ali lahir pada tanggal 13 Rajab 30 tahun Gajah atau sepuluh tahun sebelum pengutusan Rasulullah saw dan tiga tahun sebelum hijrah.[1] Ada beberapa versi lagi berkenaan dengan tanggal kelahiran beliau; 7 Sya'ban, 23 Sya'ban dan juga pertengahan bulan Ramadan.[2] Perlu pula diketahui bahwa penyusun al-Kâfî dan beberapa ulama lainnya juga meyakini tahun 30 dari tahun Gajah tersebut sebagai hari kelahiran beliau as.[3]
Data sejarah tentang kapan beliau memeluk agama Islam juga simpang-siur

10 November 2010

MA’AD/HARI KEBANGKITAN IX (M. Taqi Mizbah Yazdi)


PELAJARAN 58

Beberapa Keistimewaan Kaum Mukmin

Mukaddimah
Telah jelas pada bagian Tauhid, bahwa Kehendak Allah itu secara esensial dan langsung berhubungan dengan semua kebaikan dan kesempurnaan. Sedangkan keburukan dan kekurangan, Kehendak Allah hanya berurusan dengannya secara aksidental dan tak langsung.
Kaitannya dengan manusia, jelas bahwa Kehendak Allah berhubungan secara esensial dengan kesempurnaan dan proses mereka menuju kebahagiaan hakiki dengan segenap kelengkapan nikmat yang abadi.Adapun siksaan dan kesengsaraan para pendurhaka sebagai dampak dari buruknya usaha mereka sendiri, terkait dengan Kehendak Ilahi yang bijak secara tak langsung. Apabila siksa dan bencana Ilahi itu bukan kelaziman dari buruknya usaha mereka, tentu rahmat Ilahi yang luas mengharuskan ketidaan siksa bagi seluruh makhluk.
Akan tetapi, justru rahmat Ilahi yang luas itu menuntut penciptaan manusia yang dilengkapi dengan ciri-ciri khas, yaitu usaha bebas yang mengunikkan-nya dari makhluk-makhluk. Dan konsekwensi dari usaha bebas dan memilih salah satu dari dua jalan; jalan iman dan jalan kufur, ialah keberakhiran mereka di tempat yang mulia atau di tempat yang hina dengan catatan, bahwa keberakhiran mereka di tempat mulia terkait dengan Kehendak Ilahi secara esensial, sedangkan tempat hina, gelap dan menyakitkan itu terkait dengan Kehendak Ilahi secara aksidental.

MA’AD/HARI KEBANGKITAN VIII (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 55

Hubungan Imbal balik antara Iman dan Amal

Telah kita ketahui bahwa ada dua faktor utama sepanjang usaha meraih kebahagiaan dan kesengsaraan abadi, yaitu iman dan kufur. Hanya iman yang kokoh dan istiqamahlah yang menjamin kebahagiaan abadi, walaupun perbuatan dosa itu mengakibatkan sebagian siksa. Dari sisi lain, kekufuran yang terus menerus mengakibatkan kesengsaraan abadi. Dengan kekufuran, tidak ada amal kebaikan apapun yang berpengaruh pada pencapaian kebahagiaan abadi.
Juga telah kita ketahui bahwa iman dan kufur itu bisa bertambah, bisa juga berkurang. Dan sangat mungkin bertumpuknya dosa itu menyebabkan hilangnya iman dari pelakunya. Demikian pula, amal-amal kebaikan dapat menyebabkan lemahnya akar-akar kekufuran, bahkan mungkin dapat membuka jalan untuk meraih iman.
Dari sini muncul pertanyaan penting mengenai hubungan antara iman dengan amal. Pada pelajaran ini, kami berusaha untuk menjawabnya.

MA’AD/HARI KEBANGKITAN VII (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 52

Kaitan Dunia dengan Akhirat

Telah kita ketahui bahwa kehidupan manusia tidak terbatas hanya pada kehidupan duniawi yang semu dan sementara saja, akan tetapi ia akan dikembalikan lagi ke kehidupan lain untuk kedua kalinya di alam akhirat, agar ia hidup selama-lamanya. Telah kita ketahui pula bahwa kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang hakiki dan sejati, sehingga dunia ini tidak layak untuk disebut sebagai kehidupan bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat.
Kini, tiba saatnya kita membahas relasi antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi, dan memberikan batasan jenis relasi itu. Meskipun jenis relasi ini telah jelas pada batasan tertentu melalui pembahasan yang telah lalu. Akan tetapi, menilik sebagian pandangan yang menyimpang dalam bidang ini, selayaknya kita harus lebih banyak memahami tema ini, dan kita akan membahasnya lebih dalam lagi agar kita dapat mengetahui relasi antara dunia dan akhirat melalui dalil akal dan dalil wahyu.

MA’AD/HARI KEBANGKITAN VI (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 50

Hari Kiamat menurut Al-Qur’an

Dengan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an, kita dapat memahami bahwa pada tahap pertama kehidupan alam akhirat bukan dihidupkannya kembali manusia, tetapi terjadi per-ubahan yang menyeluruh di dalam sistem dan hukum alam semesta, lalu terjadilah alam akhirat yang memiliki ciri-ciri khas yang tidak mungkin dapat kita ketahui secara detail. Dan nyatanya, kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hal itu. Ketika hari itu terjadi, seluruh umat manusia akan dibangkitkan secara bersamaan, dari manusia pertama yang diciptakan Allah SWT sampai manusia terakhir, agar mereka semua dapat melihat akibat dan hasil dari perbuatan mereka di dunia ini, yang kemudian mereka akan menempati surga atau neraka selama-lamanya.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah ini banyak sekali, sementara pembahasan tentangnya memerlukan waktu dan tempat yang cukup, untuk itu pada kesempatan ini kami akan menjelaskannya secara singkat saja.

MA’AD/HARI KEBANGKITAN V (M. Taqi Mizbah Yazdi)

PELAJARAN 48

Ciri-ciri Khas Alam Akhirat

Mukaddimah

Seseorang tidak mungkin memiliki pengetahuan yang sempurna mengenai persoalan-persoalan yang belum ia alami atau belum mengetahuinya secara hudhuri, atau belum ia sentuh dengan indranya. Berangkat dari kenyataan ini, kita tidak dapat meyakini hakikat alam akhirat dan keadaan-keadaannya secara detail dan sempurna, kita juga tidak dapat menyingkap hakikat-hakikatnya. Meski begitu, kita bisa mengetahui sifat-sifat akhirat melalui akal atau wahyu. Lain dari itu, sepatutnya kita menahan diri untuk melampaui dua jalur pengetahuan ini.
Sangat disayangkan bahwa—dari satu sisi—kita melihat sebagian orang berusaha menggambarkan alam akhirat itu layaknya dunia ini, sehingga mereka beranggapan bahwa surga yang tinggi itu ada di dunia ini, dan berada di satu atau bebarapa planet di langit, dan pada suatu hari nanti—sebagai konsekuensi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan yang baru dan canggih—manusia akan pindah ke surga tersebut agar dapat hidup di sana dengan penuh ketenangan dan kedamaian.
Dari sisi lain, kita melihat sebagian orang mengingkari wujud nyata alam akhirat, dan menganggap bahwa surga itu adalah nilai-nilai akhlak yang disandang oleh orang-orang yang baik, bijak dan berbakti kepada bangsa dan masyarakatnya. Mereka berkeyakinan bahwa perbedaan antara dunia dan akhirat adalah perbedaan antara manfaat dan nilai.
Yang perlu ditanyakan kepada kelompok pertama ialah apabila benar surga itu ada di planet lain dan pada suatu saat nanti generasi mendatang akan sampai ke sana, lalu apa artinya seluruh manusia itu dihidupkan kembali pada Hari Kiamat kelak, dimana peristiwa ini didukung oleh Al-Qur’an? Dan, bagaimana pula pemberian pahala dan siksa itu bisa terjadi atas semua perbuatan makhluk di sana?

MA’AD/HARI KEBANGKITAN IV (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 45
Ma'ad di dalam Al-Qur'an
Mukaddimah
Ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas Ma'ad dan sebagai dalil atas para pengingkarnya dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Ayat-ayat yang menegaskan bahwa tidak ada satu dalil pun yang menafikan Ma’ad. Kelompok ini berfungsi sebagai pelucutan senjata para pengingkar.
2. Ayat-ayat yang mengisyaratkan adanya fenomena-fenomena alam yang mirip dengan terjadinya Ma’ad. Kelompok ini menafikan ketakmungkinan Ma'ad.
3. Ayat-ayat menyanggah keraguan-keraguan pengingkar Ma'ad dan membuktikan kemungkinan kejadiannya.
4. Ayat-ayat yang menekankan bahwa Ma'ad merupakan janji Allah yang pasti terjadi. Pada hakikatnya, kelompok ini membuktikan terjadinya Ma'ad melalui informasi pembawa kabar yang jujur.
5. Ayat-ayat yang menunjukkan dalil akal atas pentingnya Ma'ad.
Pada dasarnya ayat-ayat kelompok pertama, kedua dan ketiga itu membahas kemungkinan terjadinya Ma’ad. Sedangkan kelompok keempat dan kelima membahas penting dan pastinya kejadian Ma’ad.

MA’AD/HARI KEBANGKITAN III (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 44

Pembuktian atas Ma'ad

Mukaddimah
Telah kami singgung di awal-awal buku ini, bahwa keyakinan terhadap Ma’ad dan dihidupkannya kembali seluruh manusia di alam akhirat merupakan salah satu prinsip-prinsip akidah yang paling penting di dalam seluruh agama samawi.
Para nabi senantiasa menekankan pentingnya Ma'ad dan mereka banyak menanggung berbagai kesusahan dan tantangan dalam usaha menanamkan dan menumbuhkan prinsip tersebut di dalam jiwa umat manusia. Al-Qur’an menganggap bahwa keyakinan terhadap Ma’ad sama dengan keyakinan terhadap Tauhid. Kitab suci ini menggunakan lebih dari dua puluh ayat sehubungan dengan dua kata; Allah dan Hari Akhir yang disebut secara berdampingan.
Di samping itu, Al-Qur’an berbicara tentang berbagai keadaan akhirat lebih dari dua ribu ayat di dalam berbagai surat. Dan di awal pembahasan Ma'ad ini kami telah menunjukkan pentingnya membahas "Akhir Perjalanan Hidup". Kami juga telah menjelaskan bahwa pemahaman yang benar mengenai Ma'ad terkait pada pengenalan terhadap ruh yang merupakan standar hakikat setiap manusia; hakikat yang kekal pascakematian dan setelah hancurnya tubuh. Sehingga dapat dikatakan, bahwa seseorang yang telah mati di dunia ini adalah ia itu sendiri yang akan dibangkitkan dan hidup kembali di alam akhirat kelak.
Begitu pula, kami telah membahas pembuktian adanya ruh melalui akal dan wahyu. Semua itu diusahakan demi memudahkan pengkajian kita terhadap masalah yang prinsipal mengenai kehidupan abadi manusia. Kini, tiba saatnya untuk membahas pembuktian prinsip akidah ketiga ini, yaitu Ma'ad.
Sebagaimana masalah ruh itu telah dituntaskan melalui pembuktian akal dan wahyu, masalah Ma’ad ini pun bisa dibuktikan melalui dua jalan yang sama. Di sini, kami hanya akan memaparkan dua dalil akal atas pentingnya Ma’ad. Setelah itu, kami segera memaparkan sebagian ayat Al-Qur’an yang menyinggung kemungkinan terjadinya Ma’ad dan nilai pentingnya.

MA’AD/HARI KEBANGKITAN II (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 42

Kaitan antara Ma'ad dan Masalah Ruh

Standar Kesatuan pada Makhluk Hidup
Tubuh manusia itu tersusun dari sekelompok sel-sel sebagaimana pada seluruh hewan. Dan setiap sel senantiasa berubah dan berganti. Misalnya, jumlah sel itu tidak tetap sejak seseorang itu dilahirkan sampai akhir hidupnya. Kita tidak akan menemukan manusia yang unsur-unsur tubuhnya tidak mengalami perubahan sepanjang hidupnya, atau jumlah sel yang berada dalam tubuhnya itu tetap utuh.
Perubahan dan pergantian pada tubuh manusia, dan hewan pada umumnya, menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya standar untuk menilai kelompok yang berubah-ubah ini sebagai wujud yang satu (wahid)? Sebab, kita amati bahwa bagian-bagiannya itu dapat berubah-ubah dan berganti sepanjang hidupnya lebih dari satu kali.
Jawaban sederhana atas pertanyaan ini adalah bahwa standar kesatuan pada setiap mahluk hidup ialah adanya hubungan bagian-bagian itu dalam satu masa atau pada masa yang berbeda-beda. Walaupun sel-sel itu mengalami kematian secara berangsur lalu digantikan oleh sel-sel baru, akan tetapi mengingat adanya hubungan antara satu sel dengan sel lainnya, dapat dikatakan bahwa kelompok yang non-permanen itu sebenarnya realitas yang satu.
Jawaban ini tidaklah memuaskan, karena kalau kita berasumsi akan adanya satu bangunan yang tersusun dari sekelompok batu-batu, lalu batu-batu ini mengalami perubahan secara berangsur sehingga tidak tersisa lagi wujud batu-batu yang terdahulu lantaran posisinya digantikan oleh batu-batu yang baru, dalam asumsi ini kita sulit menganggap sekelompok batu yang baru ini adalah bangunan yang awal itu. Perumpamaan material ini dibawakan sebagai pendekatan dalam persoalan ini, khususnya bagi orang yang tidak mengetahui adanya perubahan dan pergantian pada bagian-bagian kelompok tersebut.

MA’AD/HARI KEBANGKITAN I (M. Taqi Mizbah Yazdi)

PELAJARAN 41
Nilai Pembahasan tentang Akhir Kehidupan
Di awal-awal buku ini, kita telah mempelajari pentingnya mencari agama dan prinsip-prinsip akidahnya, yaitu Tauhid, Kenabian, dan Ma’ad. Dan telah kami jelaskan bahwa kehidupan manusia itu berlandaskan pengetahuannya yang benar dalam menangani masalah ini. Juga telah kita pelajari masalah-masalah Tauhid pada bagian pertama. Dan pada bagian kedua, kita pun telah mempelajari jalan dan penuntun kehidupan (Kenabian dan Imamah). Berikut ini kami akan berusaha memeriksa masalah-masalah penting prinsip Ma’ad yang dikenal dengan istilah "Akhir Perjalanan".
Pertama-tama, kami akan mengurai ciri-ciri khas prinsip Ma'ad dan pengaruhnya secara khusus terhadap sikap praktis individu maupun sosial. Setelah itu kami akan menjelaskan hubungan logis antara pengertian kita tentang Ma’ad dan pengenalan kita akan ihwal ruh. Sebagaimana mengenal ihwal wujud tanpa meyakini Allah Yang Esa adalah upaya yang kurang, begitu pula pengenal ihwal manusia tanpa meyakini adanya ruh yang kekal adalah pengenalan yang tidak seutuhnya. Setelah itu semua, barulah kami menjelaskan masalah-masalah prinsipal Ma'ad sesuai dengan kapasitas tulisan ini.

IMAMAH III (MAHDI) (M. Taqi Mizbah Yazdi)

PELAJARAN 40
Imam Mahdi
imammahdi
Pada pembahasan yang lalu, kami telah menyinggung sebagian riwayat yang menyebutkan nama-nama dua belas imam as dan riwayat-riwayat lainnya, baik yang datang dari Ahlusunah maupun dari Syi'ah Imamiyyah, yang sebagiannya hanya menyebutkan jumlah mereka saja.
Dalam beberapa riwayat yang lain terdapat tambahan, bahwa para imam tersebut dari bangsa Quraisy. Beberapa riwayat lainnya menyebutkan bahwa jumlah mereka sebanyak nuqaba' Bani Israil (pengikut setia Nabi Isa as). Ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa sembilan orang imam dari mereka itu adalah putra-putra keturunan Imam Husein as. Bahkan dari sebagian hadis Ahlusunah, ada yang menyebutkan nama-nama mereka, satu persatu. Sedangkan riwayat yang terakhir ini termasuk hadis mutawatir pada mazhab Syi'ah Imamiyyah.[1]
Dalam sumber-sumber Syi'ah, banyak sekali hadis yang menjelaskan imamah dan wilayah setiap imam. Sayang sekali, kami kira bukan tempatnya di sini untuk menukilkan hadis-hadis tersebut. Silahkan Anda merujuknya ke kitab-kitab seperti: Bihar Al-Anwar, Ghayat Al-Maram, Istbat Al-Hudat dan selainnya. Untuk itu, pembahasan terakhir mengenai Imamah di dalam kitab ini kami khususkan untuk membahas ihwal imam kedua belas. Pada kesempatan ini pun kami hanya akan membahas poin-poin terpenting.

IMAMAH II (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 38
ahlbayt
Penunjukan Imam
Telah kami jelaskan pada pembahasan yang lalu, bahwa sekiranya penutupan kenabian tidak dilengkapi oleh penunjukkan imam maksum akan bertentangan dengan Hik-mah Ilahiyah.Dan kesempurnaan Islam yang universal dan abadi sampai akhir masa bergantung pada pengangkatan para imam dan khalifah yang saleh, maksum, alim, serta memiliki—kecuali kenabian dan kerasulan—kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Nabi saw setelah kemangkatan beliau.
Konsep imamah demikian ini mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang tak terbilang jumlahnya, sebagaimana telah dinukil oleh ulama Syi’ah—bahkan oleh ulama Ahlusunah—di dalam sumber-sumber mereka. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan utama adalah ayat ke-3 Al-Ma'idah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya pada hari ini [yaitu pada hari setelah pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah Rasul saw] telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku lengkapi atas kalian nikmat-Ku, dan juga Aku telah ridha bahwa Islam sebagai agama kalian.”
Dari penelaahan terhadap ayat ini berikut tafsir dan sebab turunnya di dalam berbagai kitab tafsir, akan kita dapati bagaimana para ahli tafsir telah bersepakat, bahwa ayat tersebut turun pada haji Wada’, yaitu haji perpisahan (terakhir) Rasul saw yang terjadi beberapa bulan sebelum beliau wafat.
Masih dalam rangkaian ayat tersebut, setelah menyinggung ihwal orang-orang kafir yang telah berputus asa untuk mengadakan penyimpangan terhadap Islam, Allah SWT berfirman, “Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa dari agama kalian.”
Allah SWT menegaskan bahwa pada hari itu agama Islam dan nikmat wilayah telah Dia lengkapi dan sempurnakan.

IMAMAH I (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 36
AIMAH
Imamah dan Kepemimpinan
Mukaddimah
Setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah dan mendapatkan dukungan besar dari kaum Anshar dan dari kaum muslimin (baca: kaum Muhajirin) yang menyertai hijrah beliau dari Makkah, segera beliau meletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat Islam dan merumuskan undang-undangnya. Ketika itu masjid, selain digunakan sebagai tempat ibadah, berfungsi sebagai tempat berteduh dan berlindung bagi kaum Muhajirin, orang-orang terlantar (tuna wisma), dan tempat pemecahan berbagai problema sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Islam.
Lebih dari itu, masjid merupakan titik-tolak penyebaran risalah Ilahiyah, pusat pendidikan masyarakat, gedung mahkamah dalam menyelesaikan perselisihan dan berbagai kasus tindak pidana serta perdata. Masjid jugalah yang telah menjadi markas instruksi militer, persiapan pasukan tempur, perlengkapan perang, dan basis utama dalam menyelesaikan berbagai problem pemerintahan lainnya.
Ala kulli hal, berbagai macam urusan hidup masyarakat secara umum, baik agama maupun dunia, berada di tangan Rasulullah saw. Ketika itu, kaum muslimin menyadari bahwa mereka dituntut untuk mengikuti dan mentaati bimbingan, ajaran, dan perintah beliau. Karena sesungguhnya Allah SWT, di samping telah mewajibkan umat manusia untuk mentaati Rasul secara mutlak, juga dengan tegas memerintahkan mereka untuk mematuhi beliau dalam masalah politik, sosial, ekonomi, dan militer.
Dengan ungkapan lain, selain kedudukannya sebagai nabi yang bertugas menyampaikan syariat Islam serta menjelaskannya kepada umat, Rasul saw juga mengemban jabatan Ilahi lainnya, yaitu memimpin umat Islam dan mengatur mereka dalam urusan politik, ekonomi, sosial, militer, dan lain sebagainya. Sebab, Islam adalah agama yang mencakup tugas-tugas dan aturan-aturan ibadah dan akhlak, pun meliputi undang-undang politik, ekonomi, hak-hak serta lainnya. Dan sebagaimana Rasul saw memikul tugas dakwah dan mendidik umat, beliau pun memikul tanggung jawab dari sisi Allah SWT untuk menerapkan hukum-hukum dan syariat Islam. Maka, di tangan beliaulah kendali agama dan pemerintahan berada.

KENABIAN XI (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 35
Akhir Kenabian
Berangkat dari keabadian Islam, tidak ada lagi kemungkinan diutusnya nabi lain yang akan menghapus syariat Islam. Akan tetapi, ada sebuah kemungkinan diutusnya seorang nabi untuk melakukan dakwah dan penyebaran Islam, sebagaimana pada para nabi terdahulu, baik mereka hidup sezaman dengan pemegang syariat seperti: Nabi Luth as yang hidup sezaman dengan Nabi Ibrahim as dan mengikuti syariatnya, atau para nabi yang diutus setelah nabi pemegang syariat, akan tetapi mereka mengikutinya, seperti kebanyakan nabi-nabi Bani Israil.
Untuk itu, kita harus membahas akhir dan ditutupnya kenabian oleh Nabi Muhammad saw secara khusus, sehingga tidak ada lagi kemungkinan diutusnya nabi selain beliau.
Dalil Al-Qur'an atas Akhir Kenabian
Salah satu doktrin pasti Islam ialah berakhirnya mata rantai kenabian dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, dan tidak akan diutus lagi nabi setelah beliau. Bahkan non-muslim pun mengetahui bahwa kenyataan ini merupakan bagian akidah Islam yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Karenanya, masalah ini sama dengan masalah-masalah pasti agama lainnya yang tidak membutuhkan dalil. Meski demikian, kita dapat mengambil kesimpulan dari Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang mutawatir. Allah SWT berfirman, "Muhammad bukanlah ayah seseorang dari laki-laki kalian, ia hanyalah rasul Allah dan penutup para nabi." (QS. Al-Ahzab: 40)
Ayat ini menerangkan dengan jelas bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup seluruh nabi. Sebagian musuh-musuh Islam melontarkan dua kritik sehubungan dengan ayat tersebut:
Pertama, bahwa kata al-khatam mengandung arti selain makna penutup, yaitu khatamul yad, artinya cincin hiasan di jari tangan. Jadi, maksud dari khatam dalam ayat ini ialah penghias, yakni bahwa Nabi Muhammad saw itu adalah penghias para nabi sebelumnya, bukan sebagai penutup.
Kedua, kalaupun al-khatam diartikan dengan arti konvensionalnya (yakni penutup), berarti mata rantai kenabian ditutup oleh Nabi Muhammad saw, tetapi tidak menunjukkan diakhirinya mata rantai kerasulan para rasul oleh beliau.
Terhadap kritik pertama perlu ditegaskan bahwa makna al-khatam adalah sesuatu yang digunakan untuk mengakhiri sesuatu lainnya. Maka itu, cincin pun dinamakan sebagai al-khatam, karena ia digunakan untuk mengakhiri surat-surat atau yang semacamnya. Yakni, al-khatam bisa berarti tanda tangan atau stempel, maka Nabi Muhammad saw adalah stempel atau pemungkas para nabi sebelumnya.

KENABIAN X (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 33

Keutuhan Al-Qur'an dari Perubahan

Mukaddimah
Argumentasi atas pentingnya kenabian—sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan yang telah lalu—menuntut sampainya risalah Ilahi kepada umat manusia dalam bentuknya yang tetap utuh; tidak mengalami distorsi (tahrif), sehingga mereka dapat memanfaatkannya demi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Maka itu, tidak perlu lagi membahas terjaganya Al-Qur'an sejak diturunkan hingga disampaikan kepada umat manusia, sebagimana kitab-kitab samawi lainnya. Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui, semua kitab samawi mengalami perubahan setelah sampai di tangan manusia, atau ditinggalkan setelah disampaikan lalu hilang. Kita saksikan pada zaman sekarang ini, bahwa kitab Nabi Nuh as dan Ibrahim as telah hilang sama sekali. Sementara kitab Nabi Musa as dan Nabi Isa as yang asli sudah tidak ditemukan lagi. Kenyataan seperti ini menimbulkan pertanyaan berikut ini: "Melalui jalan apakah kita dapat mengetahui bahwa kitab yang ada pada kita sekarang ini, yang bernama Al-Qur'an, adalah satu-satunya kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang tidak tersentuh oleh perubahan dan penyimpangan, dan tidak mengalami penambahan ataupun pengurangan?
Tentunya, setiap orang yang tahu—walaupun sedikit—akan sejarah Islam, serta kepedulian Rasul saw dan para khalifahnya yang maksum terhadap penulisan dan pencatatan ayat-ayat Al-Qur'an, dan kepedulian kaum muslimin dalam menghafal ayat-ayat Al-Qur'an—sebagaimana dinukil bahwa dalam sebuah peperangan telah terbunuh sebanyak 70 orang laki-laki penghafal Al-Qur'an—dan juga setiap orang yang tahu bahwa Al-Qur'an dinukil secara mutawatir selama 14 abad, dan tahu akan kepedulian mereka dalam menghitung ayat-ayat, kalimat-kalimat dan huruf-hurufnya, tentu tidak akan terlintas di benaknya kemungkinan terjadinya perubahan dan penyelewengan di dalam Al-Qur'an.
Akan tetapi, terlepas dari bukti-bukti sejarah yang meyakinkan tersebut, kita dapat membuktikan keutuhan Al-Qur'an dari perubahan dengan dua dalil, yaitu dalil akal dan dalil wahyu. Dalil pertama adalah untuk membuktikan tidak adanya tambahan pada Al-Qur'an. Setelah itu, kita akan membuktikan tidak adanya kekurangan padanya berdasarkan ayat-ayatnya sendiri. Oleh karena itu, kami akan membahas masalah keutuhan Al-Qur'an dari perubahan melalui dua sisi, penambahan dan pengurangan, secara terpisah.

KENABIAN IX (M. Taqi Mizbah Yazdi)

PELAJARAN 31

Nabi Islam

ahlbayt
Mukadimah
Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di berbagai penjuru dunia. Mereka melakukan tugas dengan sebaik-baiknya dalam memberi petunjuk dan mendidik umat, serta meninggalkan berkah yang besar pada mereka. Para nabi telah mendidik masyarakat atas dasar akidah yang benar dan nilai-nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh secara tidak langsung kepada umat lainnya. Bahkan sebagian dari mereka telah berhasil membangun masyarakat mukmin yang berdiri di atas landasan Tauhid dan keadilan. Para nabi itu sendiri berperan sebagai pembimbing dan pemimpin mereka.
Di antara para nabi, ada yang mempunyai keistimewaan di atas yang lainnya. Mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa as, karena Allah SWT telah menurunkan kepada mereka kitab-kitab samawi yang mencakup berbagai hukum yang bersifat individu maupun sosial, berbagai ajaran dan tugas moral, serta undang-undang yang sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Kitab-kitab dan ajaran tersebut berada di tengah mereka, yang darinya mereka mendapatkan arahan menganai kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat.
Namun, ada sebagian kitab-kitab itu hilang sama sekali di sepanjang zaman, ada pula yang telah diselewengkan dan diubah, baik teks maupun maknanya. Akibatnya, agama-agama dan syariat-syariat samawi tersebut menjadi pudar, sebagaimana Taurat Musa as telah mengalami perubahan yang tidak sedikit. Sementara dari Injil Isa as, tidak ada yang tersisa selain yang ditulis oleh para pengikut setia beliau yang mereka kumpulkan atas nama "Kitab Suci".

KENABIAN VIII (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

part1 (7)PELAJARAN 30

Manusia dan Para Nabi

Ketika Al-Qur'an menyebutkan para nabi terdahulu, menjelaskan sebagian dimensi kehidupan mereka yang penuh berkah, serta menghilangkan upaya-upaya penyelewengan—secara disengaja maupun tidak—dari lembaran sejarah mereka yang gemilang, itu berarti bahwa Al-Qur'an menaruh perhatian yang besar terhadap umat manusia dalam menyikapi mereka.
Di satu sisi, Al-Qur'an menjelaskan sikap umat manusia terhadap para nabi Allah dan faktor-faktor yang menyebabkan mereka mengingkari para nabi tersebut. Di sisi lain, Al-Qur'an memberikan gambaran ihwal petunjuk, hidayah dan pendidikan para nabi dan cara-cara memberantas faktor-faktor kekufuran dan kemusyrikan. Al-Qur'an juga menjelaskan hubungan-hubungan sabab-akibat dalam pengelolaan masyarakat, khususnya hubungan imbal-balik antara manusia dan para nabi yang meliputi hal-hal penting dan berbagai manfaat yang membuahkan hasil pendidikan yang unggul.
Pembahasan semacam ini, walaupun tidak berhubungan secara langsung dengan masalah-masalah akidah dan Kalam, akan tetapi mengingat hal ini dapat menjelaskan masalah-masalah kenabian dan dapat menghilangkan berbagai kesamaran, dan mengingat pengaruhnya yang positif dalam upaya perbaikan dan pembinaan umat manusia, serta kandungan pelajaran dari peristiwa-peristiwa sejarah yang sebegitu penting, maka pembahasan mengenai hal itu amat berguna dan diperlukan. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan berbagai hal penting yang berkaitan pada pelajaran ini.

KENABIAN VII (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 29

Beberapa Keistimewaan Para Nabi

Berbilangnya para Nabi
Sampai di sini, kita telah membahas tiga masalah pokok mengenai prinsip Kenabian, dan kita sampai pada satu kesimpulan bahwa beranjak dari dangkalnya pengetahuan manusia untuk mencapai berbagai pengetahuan yang dapat menyampaikannya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, maka Hikmah Ilahiyah menuntut dipilihnya seorang atau beberapa nabi yang diberi berbagai ajaran dan hakikat yang penting untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia secara utuh dan selamat dari berbagai kekaburan dan penyimpangan.
Dari sisi lain, para nabi itu dituntut menyampaikan risalahnya kepada seluruh umat sehingga hujjah menjadi lengkap atas mereka. Cara yang terbaik dan lebih merata untuk hal ini ialah dengan memperlihatkan mukjizat. Dan kami telah membuktikan masalah tersebut melalui dalil akal. Akan tetapi dalil-dalil tersebut tidak menunjukkan banyaknya jumlah para nabi, kitab-kitab dan ajaran-ajaran samawi. Apabila kita berasumsi bahwa kondisi kehidupan umat manusia itu memungkinkan seorang Nabi untuk menerangkan apa yang mereka butuhkan sampai penghabisan alam ini, dimana setiap individu atau kelompok di sepanjang sejarah dapat mengenal tugas-tugas dan kewajibannya melalui risalah nabi tersebut, maka hal itu tidak menyimpang dari dalil-dalil. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa:
Pertama: usia manusia itu—siapa pun, termasuk para nabi—terbatas. Dan hikmah diciptakannya makhluk tidak menuntut nabi yang pertama agar hidup sampai penghabisan alam untuk membimbing seluruh umat manusia seorang diri.
Kedua: bahwa situasi dan kondisi kehidupan manusia pada setiap zaman dan tempat tidaklah sama, khususnya dengan melihat adanya kesulitan yang berangsur-angsur yang menimpa hubungan sosial, tentunya dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas tata hukum dan sistem sosial. Bahkan terkadang hal itu menuntut dibentuknya undang-undang yang baru. Jika diasumsikan bahwa penjelasan dan penyampaian undang-uundang semacam itu dilakukan oleh seorang nabi yang diutus sebelum ribuan tahun, sudah pasti penjelasan dan penyampaian undang-undang tersebut akan menjadi sia-sia belaka, di samping juga sangat sulit menjaga dan menjalankannya di dalam bidang-bidang tertentu.

KENABIAN VI (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 27

Mukjizat

moonsplt (mukjizat Mohmd)
Cara Membuktikan Kenabian
Masalah mendasar yang ketiga di dalam Kenabian adalah bagaimana umat manusia itu dapat mengakui kebenaran klaim para nabi yang hakiki dan mengingkari para pengaku nabi palsu? Tidak syak lagi, bahwa seseorang yang sesat dan pelaku maksiat, yang akal sehat dapat mengetahui keburukannya, tidak mungkin dipercaya dan dibenarkan. Hal itu dapat dibuktikan kedustaannya ketika ia mengaku sebagai seorang nabi jika kita mensyarati kemaksuman pada para nabi, khususnya ketika orang tersebut mengajak kepada hal-hal yang bertentangan dengan akal sehat dan fitrah manusia, atau ketika didapati kontradiksi dalam perkataannya. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, kehidupan dan tingkah laku yang bersih di masa lampau bagi seorang nabi akan membuat masyarakat dapat mempercayai klaimnya, khususnya bila pikiran sehat mereka pun menyaksikan kebenaran dakwahnya.
Begitu pula kenabian seseorang itu dapat dibuktikan kebenarannya dengan kabar, warta dan cerita dari nabi lainnya sehingga tidak ada lagi keraguan atau kebingungan sedikit pun bagi orang-orang yang mencari kebenaran bahwa dia adalah seorang nabi. Akan tetapi jika manusia tidak mengetahui adanya tanda-tanda dan bukti-bukti yang membuat mereka percaya dan kabar dari nabi yang lain pun tidak sampai kepada mereka, dalam hal ini diperlukan jalan lain untuk membuktikan kenabian tersebut. Dan Allah Yang Mahabijak telah menciptakan jalan ini dan melengkapi para Nabi dengan berbagai mukjizat sebagai tanda kebenaran pengakuan mereka yang dinamakan ayat-ayat.
Kesimpulannya bahwa pengakuan para nabi yang hakiki itu dapat dibuktikan kebenarannya melalui tiga cara:

KENABIAN V (M. Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 25

Argumentasi atas Kemaksuman Para Nabi

Mukadimah
Meyakini kemaksuman para nabi dari maksiat dan dosa, yang disengaja atau tidak, merupakan keyakinan yang pasti dan populer di kalangan Syi'ah Imamiyah yang telah diajarkan oleh para imam suci kepada syi'ah (pengikut setia) mereka. Mengenai masalah ini, mereka terlibat dalam dialog dengan orang-orang yang menentang mereka melalui berbagai macam metode. Di antaranya, dialog yang dilakukan oleh Imam Ridha as yang disebutkan dalam buku-buku hadis dan sejarah. Akan tetapi, ada perbedaan mengenai mungkinnya kealpaan dan kelupaan pada diri para nabi as dalam hal-hal yang sifatnya mubah. Bahkan secara zahir, riwayat-riwayat yang dinukil dari Ahlulbait as itu pun tidak lepas dari pertentangan. Pembahasan mengenai hal ini memerlukan luang yang lebih luas lagi. Yang jelas, hal itu tidak mungkin dianggap sebagai keyakinan yang prinsipal.
Dalil-dalil atas kemaksuman dapat dibagi menjadi dua kelompok; dalil akal dan dalil wahyu. Walaupun menggunakan dalil kedua lebih banyak daripada dalil pertama, di sini kami hanya akan menjelaskan dua dalil pertama saja. Kemudian setelah itu kami akan menyebutkan dalil-dalil wahyu dari Al-Qur'an.
Dalil Akal atas Kemaksuman Para Nabi
Dalil akal yang pertama atas keterjagaan para Nabi dari maksiat ialah bahwa tujuan utama diutusnya para nabi itu ialah untuk memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia dan membimbing mereka kepada hakikat kebenaran dan tugas-tugas yang telah ditentukan oleh Allah SWT ke atas mereka. Pada hakikatnya, para nabi itu merupakan duta-duta Tuhan untuk seluruh umat manusia. Mereka mempunyai tugas untuk memberikan hidayah kepada jalan yang lurus. Apabila mereka sendiri tidak konsisten dengan ajaran Ilahi, atau bahkan mengamalkan yang sebaliknya; yang menyalahi kandungan risalah yang mereka emban, atau menyalahi ucapan yang mereka katakan dan pesan yang mereka berikan, pasti umat manusia akan menilai bahwa perbuatan mereka tersebut sebagai penjelasan yang menyalahi ucapan mereka sendiri. Dengan demikian, seorang pun tidak akan percaya lagi kepada ucapan mereka. Akibatnya, tidak akan terealisasi secara sempurna tujuan diutusnya mereka.

KENABIAN IV (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 24

Kemaksuman Para Nabi
Urgensi Keutuhan Wahyu
Setelah terbukti perlunya wahyu sebagai sarana alternatif untuk memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan manusia demi menutupi kekurangan-kekurangan indra dan akal mereka, ada masalah berikutnya yang perlu dibahas di sini. Yaitu, mengingat bahwa manusia biasa tidak mungkin dapat memanfaatkan sarana pengetahuan ini secara langsung dan tidak memiliki potensi untuk menerima wahyu Ilahi,[1] karenanya risalah Ilahiyah harus disampaikan kepada mereka melalui para nabi.
Pertanyaannya, apakah yang menjamin keutuhan risalah ini? Bagaimana kita dapat mempercayai bahwa nabi telah menerima dan menyampaikan wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh? Jika terdapat perantara antara Allah SWT dan nabi, yaitu Malaikat Jibril, lalu bagaimana kita bisa percaya bahwa Malaikat itu menyampaikan risalah tersebut secara utuh pula?
Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul karena wahyu itu hanya bisa berperan untuk menutupi berbagai kekurangan pengetahuan manusia apabila—semenjak diturunkan hingga disampaikannya kepada manusia—terjaga dari penyimpangan, kesamaran, secara sengaja ataupun tidak.
Bila tidak demikian, maka dengan adanya kemungkinan kelalaian dan kekhilafan pada satu atau sejumlah perantara, atau adanya perubahan yang disengaja dalam kandungan wahyu, akan timbul dugaan dalam benak manusia akan kemungkinan kecacatan dan kerancuan pada risalah yang sampai kepada mereka, dan akan menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap risalah itu. Maka itu, dengan cara apakah kita dapat meyakini sampainya wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh dan selamat dari penyelewengan dan kesalahan?
Jelas apabila hakikat wahyu itu tidak diketahui oleh manusia, dan mereka tidak memiliki potensi untuk menerima wahyu itu, maka mereka tidak mempunyai jalan untuk mengawasi dan meneliti kebenaran perantara-perantara itu. Mereka baru bisa memahami adanya kesalahan dalam wahyu bila ia mengandung isi yang bertentangan dengan hukum pasti akal.
Misalnya, apabila ada seseorang yang mengaku bahwa dia diberikan wahyu oleh Allah SWT yang menyatakan bahwa dua hal yang kontradiksi itu mungkin atau pasti terjadi, atau ada seseorang yang mengaku (na'udzu billah!) bahwa dzat Allah SWT itu tersusun, atau berbilang, atau hancur, atau hilang. Pada kondisi seperti ini, kita bisa membantah dan membuk-tikan kebatilan pengakuan tersebut melalui penilaian akal yang pasti (qath'i).

KENABIAN III (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

akal (1)PELAJARAN 23

Beberapa Keraguan dan Jawaban

Dari berbagai argumentasi yang telah kami sampaikan atas keniscayaan diutusnya para nabi, muncul beberapa keraguan yang akan kita paparkan di sini berikut jawaban-jawabannya.
Keraguan Pertama
Jika Hikmah Ilahiyah itu menuntut pengutusan para nabi untuk menyampaikan petunjuk kepada seluruh umat manusia, mengapa seluruh nabi itu diutus di kawasan tertentu, yaitu di Timur Tengah? Sedangkan belahan bumi lainnya tidak mendapatkan anugerah pengutusan tersebut, terutama kalau kita perhatikan dengan seksama keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi serta pertukaran informasi yang lamban pada masa-masa itu. Barangkali ada bangsa-bangsa zaman dulu yang tidak mengetahui pengutusan para nabi sama sekali.
Jawab: pertama, para nabi itu diutus tidak khusus pada kawasan tertentu saja. Coba perhatikan ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kehadiran seorang nabi di tengah setiap bangsa. Allah SWT berfirman,
"Dan tidak satu umat pun yang kosong dari seorang penyeru." (QS. Fathir: 24).
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul supaya ia menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah dan menjauhkandiri dari taghut (selain Allah).” (QS. An-Nahl: 36).
Kalau Al-Qur'an hanya menyebutkan sebagian nama-nama nabi, ini tidak berarti jumlah mereka terbatas pada jumlah tersebut. Bahkan Al-Qur'an menjelaskan banyaknya nabi sedangkan nama-nama mereka tidak tersebut di dalamnya. Seperti yang tertera dalam firman-Nya:
"Dan para rasul yang kami tidak kisahkan tentang mereka kepadamu." (QS. An-Nisa’: 164).

KENABIAN II (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 22

Ketergantungan Manusia kepada Wahyu dan Kenabian

Perlunya Diutus Nabi

Masalah ini merupakan masalah yang paling penting dalam prinsip Kenabian. Masalah ini dapat dibuktikan oleh argumentasi berikut ini yang tersusun dari tiga premis.
Pertama, bahwa tujuan penciptaan manusia ialah mencapai kesempurnaannya, dengan cara mengamalkan perbuatan-perbuatan sengaja (ikhtiari) demi mencapai puncak kesempurnaan tersebut yang tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan usaha, kehendak, dan pilihannya. Dengan ungkapan lain, manusia itu diciptakan oleh Allah SWT agar—dengan amal ibadah dan ketaatannya kepada Allah—berhak memperoleh rahmat Ilahi yang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang sempurna. Dan hanya kehendak Ilahi yang bijaksanalah yang berkaitan secara langsung (bil-asalah) dengan kesempurnaan dan kebahagiaan manusia. Akan tetapi, karena kesempurnaan ini tidak akan dapat dicapai kecuali dengan cara pengamalan dan ibadah yang sifatnya ikhtiari (disengaja), maka kehidupan umat manusia ini terpecah menjadi dua jalan, yaitu jalan kanan (yamin) dan jalan kiri (yasar). Tujuan adanya dua jalan ini ialah supaya manusia bisa memilih jalan yang dikehendakinya. Jelas bahwa jalan kiri itu menuju kesengsaraan dan bencana. Di sini, kehendak Allah pun berkaitan dengan jalan kiri tersebut, namun secara tidak langsung (bittaba’). Premis ini telah kami jelaskan pada pembahasan Hikmah dan Keadilan Ilahi.
Kedua, usaha sengaja manusia itu, di samping membutuhkan kemampuan dan faktor-faktor eksternal serta adanya kecondongan dan motivasi untuk melakukan suatu perbuatan, ia juga membutuhkan pengetahuan yang benar tentang perbuatan baik dan buruk, tentang jalan-jalan yang benar dan jalan-jalan yang salah. Seseorang bisa memilih kesempurnaannya dengan penuh kesadaran dan kebebasan bilamana ia mengetahui tujuan dan jalannya serta segala kendala yang akan menghambatnya.
Dengan demikian, Kebijaksanaan (hikmah) Ilahi menuntut tersedianya sarana bagi manusia agar mereka dapat memperoleh pengetahuan tentang hal-hal di atas. Karena jika tidak demikian, Allah tidak ubahnya dengan orang yang mengundang teman untuk bertamu ke rumahnya, akan tetapi dia tidak mau memberikan alamat rumah, tidak pula memberitahu jalan yang semestinya ditempuh. Jelas bahwa perbuatan semacam ini tidak sesuai dengan sifat kemahabijaksanaan Allah, juga tidak sesuai dengan tujuan-Nya (dalam mencipta). Premis kedua ini begitu jelas sehinga tidak memerlukan penjelasan lebih banyak lagi.

KENABIAN I (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 21
1_444085768l
Kenabian
Mukadimah
Sebagaimana di bagian pertama buku ini, telah kita ketahui bahwa ada persoalan-persoalan mendasar yang wajib diketahui oleh setiap manusia berakal supaya ia dapat membina kehidupan insani yang sesuai dengan tuntutan akalnya. Persoalan-persoalan itu ialah:
Wahai, Siapakah yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini?
Wahai, Bagaimana perjalanan hidup ini? Apakah tujuan akhir di balik kehidupan manusia?
Wahai, Dengan memperhatikan kebutuhan setiap manusia untuk mengetahui dan menempuh jalan kehidupan yang benar ini hingga ia bisa mencapai kebahagiaan sejati dan kesempurnaan hakikinya, apakah sarana yang dapat menjamin untuk memperoleh pengetahuan tersebut, dan siapakah pembawanya?
Jawaban yang benar atas pertanyaan-pertanyaan tadi adalah—yang diistilahkan dengan—tiga prinsip, yaitu Tauhid, Ma'ad (Hari Kebangkitan), dan Kenabian. Tiga prinsip ini merupakan dasar-dasar utama pada semua agama samawi.
Pada bagian pertama buku ini, kami telah membahas prinsip Tauhid. Di sana kita telah sampai pada beberapa kesimpulan; bahwa sumber wujud setiap makhluk adalah Pencipta Yang Tunggal, bahwa seluruh makhluk itu berada di bawah penguasaan dan pengaturan-Nya, dan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan-Nya dalam segala perkara dan keadaannya.
Kami juga telah membuktikan masalah-masalah ini dengan dalil akal, bahwa masalah-masalah ini tidak mungkin dapat tertuntaskan kecuali dengan dalil akal tersebut. Karena, apabila masalah tersebut dijelaskan dengan dalil wahyu, itu hanya bisa dibenarkan bila wujud Allah dan validitas kalam-Nya telah dibuktikan dengan dalil akal terlebih dahulu. Sebagaimana halnya bersandar kepada hadis-hadis Nabi saw dan para imam maksum as secara lebih dahulu bergantung kepada pembuktian rasional atas kenabian dan keimamahan mereka, serta validitas ucapan mereka.

KEADILAN ILAHI III (M. Taqi Mizbah Yazdi)


PELAJARAN 20

Keadilan Ilahi


justice
Mukaddimah
Sepanjang pelajaran-pelajaran yang lalu tampak banyak ikhtilaf di antara dua mazhab Kalam, yaitu Asy'ariyah dan Mu'tazilah dalam berbagai masalah. Di antaranya, masalah kalam Allah, iradah Allah, Tauhid Sifati, Determinasi dan Kehendak Bebas, Qadha dan Qadar. Kita pun melihat betapa pandangan dua mazhab tersebut mengesankan sikap ifrat dan tafrit.
Salah satu ikhtilaf mendasar di antara Asy'ariyah dan Mu'tazilah ialah masalah Keadilan Ilahi. Di sini, kita temukan bagaimana Syi'ah sejalan dengan Mu'tazilah. Kedua mazhab ini dikenal juga dengan ‘Adliyah, sebagai lawan dari Asy'ariyah. Mengingat pentingnya masalah ini, masalah ini dianggap sebagai masalah pokok di dalam ilmu Kalam. Bahkan masalah ini dianggap sebagai masalah ushulul 'aqaid dan termasuk keistimewaan yang dimiliki oleh madzhab Syi'ah dan Mu'tazilah. Perlu diketahui bahwa madzhab Asy'ariyah juga sebenarnya tidak menolak keadilan Ilahi. Mereka tidak menilai bahwa Allah SWT itu zalim, na'udzubillah. Karena sesungguhnya ayat-ayat Al-Qur'an yang jelas yang tidak perlu ditakwil menetapkan adanya keadilan Ilahi dan menafikan berbagai macam kezaliman dari-Nya.

KEADILAN ILAHI II (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

 

PELAJARAN 19

Qadha' dan Qadar

Baby_Twin_1
Definisi
Kata qadar berarti ukuran (miqdar), dan taqdir (takdir) yaitu ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau menciptakan sesuatu dengan ukurannya yang ditentukan. Sedangkan kata qadha berarti menuntaskan dan memutuskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur konvensi. Terkadang dua kata ini digunakan secara sinonim yang berarti nasib.
Maksud dari takdir Ilahi yaitu bahwa Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu serta telah menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu. Dan hal ini dapat terealisasi di dalam rangkaian sebab-sebab.
Sedangkan yang dimaksud qadha Ilahi adalah menyampaikan sesuatu kepada tahap kepastian wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sesuatu itu. Berdasarkan maksud ini, tahap takdir itu lebih dahulu dari tahap qadha', karena di dalam takdir terdapat beberapa tahap gradual dan syarat-syarat yang jauh, tengah dan dekat. Dan takdir ini dapat mengalami perubahan dengan berubahnya sebagian sebab dan syaratnya.
Misalnya, perjalanan janin yang berangsur-angsur dari sperma, segumpal darah, segumpal daging sampai membentuk janin yang sempurna. Janin ini melewati tahap-tahap yang beragam untuk sampai kepada takdir tersebut, dan di antara tahap-tahap itu adalah ruang dan waktu. Keluar atau gugurnya janin pada salah satu tahap-tahap tersebut adalah perubahan pada takdir itu.
Adapun tahap qadha' bersifat seketika (daf'i). Qadha' ini berhubungan dengan tahap terpenuhinya segenap sebab-sebab dan syarat-syarat. Maka itu, ia bersifat pasti serta tidak akan mengalami perubahan. Allah SWT berfirman:
"Apabila Allah menetapkan suatu perkara, Ia akan mengatakan, "Jadilah." Maka terjadilah." (QS. Ali Imran: 47)[1]
Akan tetapi, sebagaimana telah kami jelaskan, qadha' dan qadar ini juga bisa digunakan sebagai dua kata yang sinonim. Dari sinilah qadha' dan qadar dapat dibagi menjadi dua bagian: qadha' dan qadar yang pasti (hatmi) dan qadha dan qadar yang tidak pasti (ghairi hatmi). Berdasarkan pembagian ini, sebagian riwayat, hadis, dan doa-doa menyinggung perubahan tersebut. Di antaranya, bahwa bersedekah, patuh kepada kedua orang tua, silaturahim dan doa termasuk faktor-faktor yang bisa mengubah qadha'.
Qadha' Qadar Ilmi dan Aini
Terkadang taqdir dan qadha' Ilahi pun digunakan dengan arti ilmu Allah, yakni ketika sebab-sebab serta syarat-syaratnya telah terpenuhi. Atau ketika telah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat yang mempunyai pengaruh dalam mewujudkan fenomena-fenomena. Qadha' qodar juga digunakan untuk ilmu Tuhan terhadap kejadian fenomena-fenomena yang bersifat pasti. Arti qadha' qadar ini dinamakan sebagai qadha qadar ilmi.
Kerapkali kedua kata ini digunakan pula untuk penisbahan proses penciptaan yang bertahap kepada makhluk-makhluk di alam ini. Sebagaimana pula terjadinya hal itu dalam wujud luar dinisbahkan kepada Allah SWT. Hal itu dinamakan qadha' qadar 'aini.
Sesuai dengan ayat dan riwayat yang menyinggung hal ini, ilmu Allah dipercayakan kepada pada lauh mahfuz, yaitu makhluk Ilahi yang tinggi dan mulia ang darinya terefleksi seluruh fenomena objektif (tahaqquq) di dunia luar (khariji). Dan setiap orang dapat bersentuhan dengan mencapai lauh mahfuz itu dengan ijin Allah SWT.
Ketika seseorang dapat mencapai peringkat tersebut, ia akan menjadi alim dan mengetahui segala peristiwa yang telah lalu dan akan datang. Ada lauh-lauh yang lainnya juga yang peringkat dan derajatnya lebih rendah dibanding lauh mahfuz, yang padanya tercatat fenomena-fenomena dan makhluk-makhluk dalam bentuk yang bersyarat, tidak sempurna. Dan setiap orang yang dapat mengenal lauh tersebut akan mempunyai pengetahuan yang terbatas dan tidak sempurna, bersyarat dan dapat berubah. Barangkali ayat Al-Qur'an ini menjelaskan ihwal kedua lauh tersebut:
"Sesungguhnya Allah SWT akan menghapus apa-apa yang Ia kehendaki dan juga akan menetapkannya. Di sinilah terdapat ummul kitab (kitab induk)." (QS. Ar-Ra’ad: 39).
Adanya perubahan pada takdir yang bersyarat dan tak pasti semacam ini diistilahkan dengan bada'. Dengan ini, iman kepada qadh'a dan qadar ilmi tidak melazimkan kesulitan-kesulitan logis yang lebih banyak sebagaimana kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan ilmu Ilahi yang azali, seperti yang telah kata pelajari keraguan Jabariyah di dalam masalah ilmu Ilahi. Dan telah jelas bagi kita bagaimana kelemahan pandangan tersebut.
Akan tetapi, yang lebih sulit lagi terdapat dalam hal keyakinan terhadap qadha' dan qadar 'aini, khususnya dalam hal keimanan terhadap nasib yang pasti. Dan kita akan berusaha untuk mengatasi dan menjawab masalah ini dengan baik, meskipun jawaban dari masalah tersebut yang secara global telah diungkapkan dalam persoalan Tauhid dengan pengertian pengaruh yang mandiri.
Antara Qadha', Qadar dan Kehendak Bebas Manusia
Telah kita pelajari pada pelajaran yang telah lalu bahwa keyakinan terhadap qadha' dan qadar 'aini Ilahi itu menuntut adanya keyakinan bahwa keberadaan setiap makhluk dari awal keberadaannya lalu tahap-tahap pertumbuhannya sam-pai akhir usianya, bahkan sejak terpenuhinya syarat-syarat yang jauh, seluruhnya tunduk kepada takdir dan pengaturan Ilahi yang mahabijak. Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi kemunculan dan proses mereka hingga tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh bersandar kepada kehendak Allah SWT.
Dengan kata lain, sebagaimana wujud setiap fenomena itu bersandar kepada ijin dan kehendak cipta (takwiniyah) Allah SWT, dan tanpa izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya tidak akan mungkin mencapai pelataran eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya segala sesuatu bersandarkan kepada qadha' dan takdir Ilahi; yang tanpa keduanya segala realitas tidak akan sampai kepada bentuk dan batasan-batasannya yang khas serta ketentuan ajalnya. Penjelasan atas penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya lebih merupakan pengajaran secara bertahap tentang Tauhid dalam arti Pengaruh Mandiri; sebuah derajat tauhid yang paling tinggi, yang memiliki peranan besar dalam membentuk kepribadian seseorang, sebagaimana telah kami jelaskan.
Adapun disandarkannya seluruh makhluk kepada izin Allah, atau bahkan kepada kehendak-Nya itu lebih mudah dan lebih dekat kepada pemahaman. Dibandingkan dengan menyandarkan tahap terakhir dan kepastian wujud mereka kepada qadha' Ilahi adalah sulit dan lebih banyak menjadi topik perdebatan, karena sulitnya mengkompromikan antara keimanan terhadap qadha' Ilahi ini dan keimanan terhadap kehendak bebas yang ada pada manusia dalam menentukan jalan dan nasib hidupnya.
Oleh karena itu, kita melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu para teolog Asy'ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha' Ilahi pada perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka kepada pemikiran Jabariyah (determinisme). Lain halnya ketika kita melihat teolog lainnya, yaitu kaum Mu'tazilah. Madzhab teologi ini tidak menerima pandangan Jabariyah. Kaum Mu'tazilah mengingkari qadha' Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas.

KEADILAN ILAHI I (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 18
Determinasi dan Kehendak Bebas
Mukaddimah
Selaras dengan penjelasan kami pada pelajaran yang lalu, bahwa Tauhid kepada Allah sebagai Pengaruh Mutlak Yang Mandiri merupakan salah satu pengetahuan yang bernilai tinggi dan berperan besar dalam pembinaan umat manusia. Oleh karena itu, Al-Qur'an sangat menekankan dan menyampaikannya dengan ungkapan yang beragam sehingga dapat dipahami secara benar. Di antara ungkapan-ungkapan tersebut ialah bahwa setiap kejadian di alam ini terwujud dengan izin, masyi'ah, kehendak, qadha' dan qadar Allah.
Pemahaman yang benar atas persoalan ini, di samping memerlukan kematangan akal-pikiran, juga membutuhkan kepada pengkajian dan penafsiran yang benar. Mereka yang tidak memiliki pencerahan akal yang semestinya, tidak mau berusaha menimba ajaran-ajaran para imam yang maksum dan penafsir hakiki Al-Qur'an, akan tergelincir dalam menaf-sirkan persoalan di atas itu sedemikian rupa sehingga menisbahkan segala pengaruh sebab-akibat hanya kepada Allah SWT, sembari menafikan pengaruh apapun dari sebab-sebab dan perantara, padahal penafsiran ini bertolak belakang dengan keterangan Al-Qur'an. Mereka berusaha meyakinkan kita—misalnya—akan kebiasaan ('adah) Allah yang berlaku pada munculnya panas dari api, atau pada rasa kenyang dan segar setelah makan dan minum. Tanpa kebiasaan Allah, pada dasarnya api, makanan dan air itu tidak punya pengaruh sedikit pun dalam kejadian panas, kenyang ataupun hilangnya dahaga.
Konsekuensi buruk dari penyimpangan ini menjadi lebih jelas apabila kita mengkaji dampak-dampaknya pada tindakan-tindakan bebas manusia dan tanggung jawabnya. Bahwa timbulnya pemikiran ini adalah akibat penisbahan langsung segala tindakan manusia kepada Allah dan menafikan manusia sebagai pelaku tindakan dirinya secara mutlak. Atas dasar ini, tentu tidak seorangpun yang akan dimintai tanggung jawab atas tindakannya.
Dengan kata lain, bahwa dampak-dampak buruk pemikiran tersebut ialah keyakinan terhadap determinisime (keterpaksaan manusia) dan menampik tanggung jawab. Hal itu berarti menafikan ciri khas manusia yang paling penting, dan tidak bermanfaatnya setiap sistem pendidikan, moral, dan hukum, termasuk juga di antaranya syariat Islam.
Karena, jika kita mencabut kehendak bebas dari diri manusia atas tindakannya sendiri, tentu tidak lagi tersisa tanggung jawab, tugas, perintah, larangan, pahala dan siksa. Bahkan dapat melazimkan sia-sianya sistem alam itu; tanpa tujuan apapun di dalamnya. Sebab, penciptaan alam semesta ini—sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat dan hadis-hadis serta dalil-dalil rasional—adalah untuk menyiapkan lahan yang sesuai bagi penciptaan manusia agar dapat mencapai kesempurnaannya dan kedekatan dirinya di sisi Allah SWT sehingga ia layak mendapatkan anugerah-Nya, yaitu dengan cara menjalankan berbagai kewajiban Ilahi secara sadar dan bebas.
Adapun, asumsi bahwa manusia itu tidak memiliki kehendak bebas dan tanggung jawab, ia tidaklah berhak memperoleh pahala, kesenangan abadi dan keridhaan Ilahi. Dengan demikian, tujuan dari penciptaan manusia akan gugur, undang-undang penciptaan itu akan berubah menjadi pentas besar permainan; layaknya boneka yang bergerak dan memainkan perannya tanpa kehendak dan kebebasan pada dirinya, kemudian ia dihujat dan disiksa, atau disanjung dan diganjar mulia.
Faktor terpenting yang memperluas pemikiran yang berbahaya ini ialah ambisi politis pihak penguasa zalim. Mereka menjadikannya sebagai pembenaran atas perilaku busuk mereka, menyiasati rakyat awam untuk menerima pemerintahan zalimnya, dan meredam protes serta penentangan mereka. Maka, paham Jabariyah (determinisme) merupakan cara efektif yang utama untuk membius rakyat.
Ada sebagian orang yang sadar akan bahaya Jabariyah, akan tetapi karena tidak memiliki kemampuan untuk menolak paham itu sekaligus komit pada Tauhid yang sempurna, dan tidak berusaha menggali ajaran-ajaran Ahlul Bait yang suci nun mulia, mereka malah jatuh ke dalam paham tafwidh dan Qodariyah (kebebasan mutlak manusia). Mereka menganggap bahwa tindakan bebas manusia itu di luar jangkauan tindakan Allah.Dengan begitu, sebenarnya mereka telah terjebak ke dalam bentuk dalain dari penyimpangan pemikiran, dan telah merenggang jauh dari ajaran Islam.
Sementara mereka yang memiliki kesiapan pengetahuan yang memadai dan mengenal para pengajar dan penafsir hakiki Al-Qur'an, senantiasa terjaga dari penyimpangan-penyimpangan tersebut. Dari sisi lain, mereka percaya bahwa perbuatan mereka itu bersumber dari kekuatan yang Allah berikan kepada mereka, sehingga mereka bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing. Dari sisi lain, merekapun menyadari adanya pengaruh Allah yang mandiri pada levelnya yang lebih tinggi, sehingga mereka mendapatkan kesimpulan yang jernih.
Di dalam hadis-hadis para imam a.s.yang sampai kepada kita, terdapat keterangan-keterangan brilian mengenai masalah ini, yang tercatat di dalam kitab-kitab hadis di bawah judul “Kemampuan dan Menafikan Keterpaksaan dan Kebe-basan mutlak”. Selain itu juga dicatat di dalam bab-bab; Izin, Masyi'ah, Iradah, Qadha' dan Qadar Ilahi. Terdapat sebagian hadis yang melarang orang yang minim kesiapan untuk mendalami persoalan-persoalan rumit tersebut, agar mereka tidak tertimpa penyimpangan.
Benar bahwa masalah determinisme dan kehendak bebas ini menyimpan berbagai dimensi. Meski bukui ini tidak relevan untuk mengulas semua dimensi itu, kami akan berusaha membahas beberapa di antaranya, mengingat pentingnya masalah ini, tentunya dengan metode yang sederhana. Perlu kami tekankan pula kepada mereka yang ingin meneliti lebih dalam agar bersabar dan tekun dalam mengkaji dasar-dasar filosofis masalah ini.
Penjelasan seputar Kehendak Bebas
Timeisgoddead
Pada hakikatnya, kemampuan memilih dan mengambil keputusan merupakan salah satu yang begitu gamblang disadari oleh manusia. Karena, setiap orang menyadari kemampuan itu dengan pengetahuan hudhuri (presentif) yang tidak mungkin mengalami kekeliruan. Sebagaimana juga—dengan pengetahuan hudhuri ini—ia dapat merasakan kondisi jiwanya. Seandainya ia ragu akan sesuatu, tentu ia tidak ragu akan keraguannya ini, sebab ia mengetahui kondisi ragunya itu secara hudhuri, dan ia tidak mungkin ragu akan pengetahuan semacam ini.
Begitu pula, setiap orang dapat mengetahui—hanya dengan sedikit konsentrasi pada dirinya—bahwa ia mampu berbicara atau tidak. Atau, dia yakin akan kemampuannya untuk menggerakkan tangannya atau mendiamkannya. Dia pun mampu untuk menelan makanan atau tidak.
Kehendak untuk melakukan satu perbuatan itu terkadang untuk memenuhi dorongan naluri hewani, seperti rasa lapar yang mendorong seseorang untuk makan dan rasa haus yang mendorongnya untuk minum, atau terkadang untuk memenuhi kebutuhan akal dan untuk merealisasikan nilai insani yang mulia, seperti seorang pasien yang meminum obat yang pahit dengan harapan pulih. Untuk tujuan mulia ini, ia rela untuk menahan dirinya dari mengkonsumsi makanan yang ia sukai. Atau pelajar yang meninggalkan kenikmatan duniawi demi memperoleh ilmu dan hakikat kebenaran serta tabah dalam menjalani berbagai kesulitan. Juga seperti prajurit yang gagah berani, sekalipun harus mengorbankan nyawanya demi meraih cita-citanya yang tinggi.
Pada hakikatnya, nilai seseorang itu akan tampak tatkala berbagai keinginannya saling berbenturan. Untuk mencapai kesempurnaan ruhani yang abadi, qurb (kedekatan) dan keridhaan Ilahi, ia akan menepikan hasrat-hasrat hewaninya yang rendah. Dan setiap tindakan yang dilakukannya secara lebih disadari, akan berpengaruh lebih kuat pula dalam penyempurnaan atau mengerdilan jiwanya, serta akan mewujudkan kelayakan yang lebih besar dalam menerima pahala atau siksa.
Jelas bahwa kemampuan untuk melawan berbagai desakan hawa nafsunya tidaklah sama rata di antara semua orang dan dalam kaitannya dengan segala sesuatu. Kendati demikian, setiap orang, sedikit-banyaknya, memiliki anugerah Ilahi (kehendak bebas) ini. Dan, semakin ia melatih kemampuan resistensi ini, semakin ia dapat menguatkan kehendak bebasnya itu.
Oleh karena itu, kita sama sekali tidak ragu akan adanya kehendak bebas di dalam jiwa setiap manusia. Dan jangan sampai perkara yang sudah jelas ini dikeruhkan oleh berbagai keraguan. Seperti yang telah kami bahas dalam pelajaran sebelumnya, bahwasanya realitas kehendak bebas itu merupakan dasar yang begitu jelas telah diterima oleh semua sistem pendidikan, moral serta agama-agama samawi.
Tanpa kehendak bebas, tidak akan tersisa lagi peluang untuk validitas sebuah hak dan tanggung jawab, sanjungan dan hujatan, pahala dan siksa. Apa yang mengakibatkan keraguan terhadap hakikat yang jelas serta mengarah kepada paham Jabariyah yaitu munculnya sejumlah keraguan yang harus dijawab secara tuntas. Untuk itu, kami akan berusaha mendiskusikannya secara padat sebagaimana di bawah ini.
Menjawab Jabariyah
terbelenggu
 
Keraguan-keraguan paling serius yang dilontarkan oleh para penganut Jabariyah adalah berikut ini:
Keraguan pertama: kehendak seseorang itu muncul lantaran bangkitnya hasrat-hasrat subjektif dari dalam dirinya. Pada gilirannya, hasrat-hasrat ini bangkit bukan karena kehendak bebasnya, bukan pula karena faktor-faktor dari luar dirinya. Maka itu, tidak ada lagi tempat untuk sebuah pemilihan dan kehendak bebas.
Jawab: bangkitnya hasrat-hasrat itu merupakan lahan penyiap untuk kehendak. Timbulnya kehendak seseorang untuk melakukan suatu tindakan bukanlah kejadian determinatif dari bangkitnya hasrat-hasrat tersebut, sehingga kemampuannya menjadi hilang. Bukti atas hal itu ialah munculnya keadaan ragu dan bimbang pada diri manusia dalam berbagai kasus. Dalam keadaan ini, untuk mengambil suatu keputusan, ia perlu merenung, berpikir serta mempertimbangkan untung ruginya suatu tindakan. Dan terkadang ia menemui kesulitan dalam melakukan semua ini.
Keraguan kedua: telah dibuktikan dalam berbagai disiplin ilmu, bahwa terdapat berbagai faktor yang heterogen yang mempunyai pengaruh dan peranan di dalam membentuk kehendak umat manusia. Faktor-faktor itu seperti keturunan dan pengaruh yang diakibatkan oleh bahan-bahan makanan dan obat-obatan tertentu. Demikian pula faktor-faktor sosial. Sesungguhnya beragamnya umat manusia di dalam tingkah laku dan sifat-sifat mereka itu tunduk kepada faktor-faktor semacam ini.

TAUHID XVII (M. Taqi Mizbah Yazdi)

PELAJARAN 17
Beberapa Istilah Tauhid
Mukaddimah
alikhlas
Secara leksikal, kata tauhid berarti “menganggap sesuatu itu satu”. Menurut istilah kaum filsuf, teolog, ulama akhlak, dan ahli irfan, tauhid digunakan dalam arti yang beragam. Masing-masing arti terfokus pada keesaan Allah SWT dari sisi tertentu. Dan terkadang keragaman itu dipandang sebagai ungkapan dari macam-macam Tauhid, atau tingkatan-tingkatannya. Jelas kapasitas buku ini tidak sesuai untuk membahas semua arti tersebut. Untuk itu, di sini kami hanya akan menyebutkan beberapa istilah dan arti yang lebih popular dan lebih sesuai dengan topik pembahasan.
Pertama: Negasi terhadap Keberbilangan
Istilah pertama yang umum dari tauhid adalah meyakini keesaan Allah, menafikan keberbilangan dari dzat-Nya. Arti ini merupakan lawan dari syirik yang nyata, yaitu keyakinan pada dua tuhan atau lebih; dengan pengertian bahwa masing-masing tuhan itu memiliki wujud mandiri dan terpisah dari yang lain.
Kedua: Negasi terhadap Ketersusunan
Ini adalah istilah kedua dari Tauhid. Yakni meyakini keesaan, basathah (kesederhanaan) di dalam dzat Allah, dan ketiadaan rangkapan pada dzat-Nya dari bagian-bagian, baik secara aktual (bil fi’li) maupun potensial (bil quwwah).
Arti ini pada umumnya diungkapkan dalam bentuk sifat salbiyah sebagaimana telah kami singgung pada pelajaran sepuluh. Sebab, pikiran kita lebih akrab dengan konsep rang-kapan dan sekaligus lawannya, yakni menafikan rangkapan, dari pada konsep basith (sederhana).
Ketiga: Negasi terhadap Perbedaan Sifat dari Dzat
Istilah ketiga berarti keyakinan bahwa sifat-sifat dzatiyah itu identik dengan dzat Allah dan menafikan sifat-sifat yang berbeda dengan dzat-Nya. Istilah ini dinamai dengan "Tauhid Sifati". Dalam riwayat disebutkan dengan ungkapan “Menafikan Sifat-sifat” sebagai lawan dari pandangan sebagian madzhab (misalnya Asy’ariyyah) yang meyakini bahwa sifat-sifat Allah itu adalah berbeda dengan dzat-Nya. Mereka meyakini “Al-Qudama’ Ats-Tsamaniyah” (delapan sifat asli).

TAUHID XVI (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
Ashhadu_an_la_ilaha_illa_llah_(alif_highlighted)
PELAJARAN 16
Tauhid kepada Allah
Mukadimah
Pada pelajaran sebelumnya, telah kita buktikan kemestian adanya Tuhan Pencipta alam semesta, Tuhan yang Mahatahu dan Mahakuasa. Dialah yang menciptakan, memelihara dan mengatur alam semesta. Pada pelajaran terakhir, juga kami telah memaparkan pandangan dunia Materialisme terhadap alam semesta. Dan melalui catatan kritis kami terhadap beberapa pandangan tersebut, menjadi jelas bagi kita bahwa kemestian adanya alam semesta tanpa Tuhan adalah kemestian yang irrasional dan penafsiran yang tidak mungkin dapat diterima.
Selanjutnya, kami akan membahas tema Tauhid, sekaligus menyanggah pandangan dan keyakinan orang-orang musyrik.
Para sosiolog mengajukan berbagai macam pandangan seputar perkembangan keyakinan-keyakinan syirik di masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan silih-berganti. Akan tetapi, pandangan dan penafsiran itu tidak berdasarkan dalil yang valid.
Ada kemungkinan bahwa faktor pertama kecenderungan syirik dan keyakinan pada banyaknya tuhan adalah tatkala seseorang melihat beragamnya realitas-realitas di langit dan bumi. Dari itulah mereka berkeyakinan bahwa setiap bagian realitas tunduk di bawah pengaturan Tuhan tertentu. Sebagian dari mereka percaya bahwa seluruh kebaikan bersumber dari Tuhan kebaikan, dan seluruh keburukan berasal dari Tuhan keburukan. Berangkat dari sinilah mereka yakin bahwa alam semesta ini memiliki dua sumber wujud dan pencipta.

TAUHID XV (M. Taqi Mizbah Yazdi)

bralds_marx-s (2)[1]
PELAJARAN 15
Materialisme Dialektika: Analisis dan Kritik
Materialisme Mekanika dan Dialektika
Materialisme memiliki berbagai macam aliran. Setiap aliran menafsirkan fenomena alam ini dengan caranya masing-masing. Di awal era modern, kaum Materialisme—yang terilhami oleh fisika Newton—menafsirkan fenomena alam ini sesuai dengan gerak mekanik, yaitu bahwa setiap gerak merupakan akibat dari kekuatan penggerak tertentu, yang lalu masuk ke dalam benda yang bergerak. Artinya mereka menggambarkan bahwa alam ini merupakan mesin raksasa; yang kekuatan penggerak di dalamnya berpindah-pindah sehingga mengakibatkan gerak seluruh mesin. Teori ini dinamakan Materialisme Mekanika.
Adanya berbagai kelemahan pada pandangan ini membuka banyak tanggapan kritis. Di antaranya, apabila setiap gerakan itu disebabkan oleh kekuatan luar, maka mesti diasumsikan adanya kekuatan penggerak lain yang datang dari luar untuk menggerakkan materi pertama bagi alam semesta ini. Hal ini membawa kita untuk beriman kepada maujud di balik materi, setidaknya sebagai sebab pada gerak awal yang terdapat pada alam materi ini.
Kritik lain atas pandangan Materialisme Mekanika, bahwa kekuatan mekanika hanya menjelaskan gerak-gerak posisif (wadh'i). Padahal fenomena alam semesta tidak mungkin dibatasi dengan perubahan posisi dan tempat. Oleh karena itu, kita mesti mengimani adanya sebab dan faktor lain untuk menafsirkan kemunculan seluruh fenomena alam ini. Kritik-kritik tersebut mendorong penganutnya mengkaji faktor lainnya untuk menafsirkan adanya perubahan dan gerak pada alam ini. Paling tidak, mereka berusaha untuk menafsirkan sebagian gerak dengan penafsiran dinamika sehingga dapat mengasumsikan adanya gerak esensial bagi materi tersebut.

TAUHID XIV (M. Taqi Mizbah Yazdi)

PELAJARAN 14
Pandangan Dunia Materialis dan Beberapa Kritik
images
Dasar-dasar Pandangan Dunia Materialisme
Dasar-dasar pandangan dunia Materialisme dapat dididenahkan sebagai berikut:
Pertama, wujud itu sama dengan materi dan material. Sesuatu itu dianggap ada apabila ia berupa materi yang memiliki bentuk dan meliputi tiga dimensi (panjang, lebar dan padat) atau meliputi tipologi materi sehingga ia disifati dengan kuantitas dan dapat dibagi. Atas dasar inilah penganut Materialisme mengingkari wujud Allah, karena wujud-Nya nonmateri dan metafisis.
Kedua, bahwa materi bersifat azali, abadi, tidak dicipta dan tidak membutuhkan sebab apapun, yang dalam Filsafat dinamakan wajibul wujud.
Ketiga, kita tidak mungkin mengatakan bahwa alam ini memiliki tujuan dan sebab akhir, karena tidak ada pelaku yang memiliki ilmu dan kehendak sehingga dapat dinisbahkan suatu tujuan penciptaan kepadanya.
Keempat, sesungguhnya fenomena alam (baca: bukan materi utamanya) muncul akibat adanya perpindahan pada atom-atom materi, dan adanya interaksi antara satu dengan lainnya. Dari sini dapat dikatakan bahwa fenomena alam yang terdahulu berperan sebagai syarat dan sebabpenyiap bagi fenomena-fenomena berikutnya. Dalam hal ini, kita pun dapat menerima kemungkinan yang paling jauh, bahwa fenomena alam terdahulu itu adalah sebagai sebab pelaku alami di antara hal-hal material. Misalnya, sebuah pohon dapat dianggap sebagai pelaku alami bagi munculnya buah-buahan. Sedang hal-hal yang bersifat fisikal dan kimiawi dapat disandarkan kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun, tidak ada satu pun fenomena yang butuh kepada pelaku dan pencipta Ilahi.

09 November 2010

TAUHID XIII (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 13
Beberapa Keraguan dan Jawaban
Meyakini Realitas yang tak Bisa Diindra
sunlight1-150x150
Di antara keraguan-keraguan yang dilontarkan seputar keimanan kepada Allah SWT adalah: Bagaimana mungkin kita beriman kepada realitas yang tak dapat diindra, yang kita tidak mungkin mengetahuinya dengan perantara indra.
Keraguan semacam ini timbul dari orang-orang yang merasa heran dengan adanya maujud yang tidak dapat dijangkau oleh indra dan persepsi. Bahkan sebagian ilmuwan yang melandaskan pemikirannya dengan otentisitas indra, juga mengingkari realitas yang tak bisa diindra tersebut. Atau minimalnya, mereka mempunyai pandangan bahwa maujud ini tidak bisa diketahui secara yakin dan pasti.
Jawaban atas keraguan tersebut ialah bahwa pengetahuan-pengetahuan indrawi bisa diperoleh hanya dengan adanya hubungan antara anggota-anggota badan dengan materi. Masing-masing indra kita dapat mengetahui fenomena-fenomena materi yang sesuai dengan kodrat indra itu sendiri dan di bawah syarat-syarat tertentu. Sebagaimana kita yakin bahwa mata kita tidak mungkin dapat melihat suara dan telinga kita tidak mungkin dapat menangkap warna, begitu pula kita harus mengerti bahwa indra kita tidak akan mampu mengetahui seluruh makhluk yang ada di alam ini. Karena, pertama: terdapat sebagian realitas materi yang memang tidak mungkin dapat dijangkau oleh indra. Misalnya, indra kita tidak akan mampu menjangkau pancaran sinar ultraviolet atau infra merah. Atau gelombang-gelombang magnetis listrik dan sebagainya.
Kita dapat mengetahui berbagai hakikat tanpa melalui indra lahiriah, lebih dari itu kita pun meyakininya dengan mantap, padahal itu tidak dapat dijangkau oleh indra. Misalnya kita merasakan adanya rasa takut, cinta atau keinginan dalam diri kita dan kita meyakininya secara penuh. Padahal itu semua termasuk kondisi jiwa—seperti ruh itu sendiri—yang tidak mungkin dapat dipersepsi dan dilihat oleh indra kita. Bahkan idrak(persepsi) itu sendiri merupakan perkara nonmateri yang tidak dapat diindra.
Dengan demikian, tidak terjangkaunya sesuatu melalui indra bukanlah dalil atas ketiadaannya. Bahkan tidak selayaknya hal ini membuat kita heran dan merasa aneh.

TAUHID XII (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 12
Analisis atas Beberapa Faktor Penyimpangan
Mukaddimah
Pada pelajaran pertama, telah kami bahas bahwa secara umum pandangan dunia terbagi menjadi dua; pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme. Perdebatan terpenting kedua pandangan tersebut berkisar pada wujud Tuhan yang Mahatahu dan Mahakuasa. Pandangan dunia Ilahi menjadikan keberadaan Tuhan sebagai sebuah prinsip utama. Sedangkan pandangan dunia Materialisme mengingkari keberadaan Tuhan.
Masih pada pelajaran yang sama, kami juga telah membahas—sekadar kapasitas buku ini—pembuktian atas wujud Allah swt.dan sifat-sifat Ilahiyah; salbiyah dan tsubutiyah, dzatiyah dan fi'liyah. Demi memantapkan keimanan terhadap dasar yang penting ini, kami akan mengkritisi pandangan dunia Materialisme secara ringkas. Dengan cara ini, kita akan lebih yakin pada kebenaran pandangan dunia Ilahi dan kerapuhan pandangan dunia Materialisme.
Untuk tujuan ini, mula-mula kami akan menyinggung beberapa faktor penyimpangan pada pandangan Ilahiyah yang mengarah kepada pandangan Ateisme. Setelah itu, kami akan menjelaskan poin-poin terpenting kelemahan pandangan Materialisme.
Faktor-faktor Penyimpangan
Materialisme dan Ateisme memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan manusia. Meskipun keimanan kepada Allah swt. senantiasa ada di tengah bangsa-bangsa terdahulu, sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti sejarah dan arkeologi, namun masih saja ditemukan individu dan kelompok yang mengingkari Allah, dimana kecenderungan anti agama sejak abad 18 mulai tersebar di Eropa kemudian perlahan-lahan menyebar ke seluruh dunia.
Walaupun fenomena ini pada awalnya sebagai reaksi dari tekanan gereja Kristen, akan tetapi anginnya menghembus ke seluruh agama dan aliran. Barat telah mengekspor pandangan ateisme tersebut ke seluruh belahan dunia berbarengan dengan ekspor industri, seni dan teknologi, kemudian me-nyebar pada kurun terakhir bersamaan dengan tersebarnya dasar-dasar sosiologi dan ekonomi Marxisme di kebanyakan bangsa dan negara sehingga membentuk rintangan, bahaya besar dan sindrom yang menakutkan bagi umat manusia.
Sebenarnya faktor-faktor yang menyebabkan muncul dan tersebarnya penyimpangan ini banyak sekali. Pembahasan tentang semua faktor ini memerlukan buku tersendiri. Akan tetapi dalam buku yang terbatas ini, secara umum kami akan menyederhanakan faktor-faktor itu pada tiga kategori:

TAUHID XI (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 11
Seluruh Sifat-sifat Fi'liyah
Termasuk tema yang rumit di dalam ilmu Kalam adalah masalah Iradah Ilahiyah (kehendak Allah) yang dibahas dari beberapa sisi. Ikhtilaf seputarnya pun tidak bisa dihindari, seperti apakah kehendak ini termasuk sifat zatiyah ataukah sifat fi'liyah? Apakah sifat tersebut qadim ataukahhadist? dan apakah ia itu satu ataukah berbilang?
Selain itu, terdapat tema-tema lainnya yang dibahas oleh Filsafat mengenai kemutlakan kehendak, khususnya kehendak Allah. Jelas bahwa kajian atas tema ini secara luas tidak sesuai dengan buku yang ada di hadapan Anda ini. Oleh karena itu, kami memulai penjelasan masalah ini dengan pengertian iradah. Setelah itu, akan kami jelaskan secara ringkas tentang iradah Allah.
Iradah
Setidak-tidaknya, kata iradah secara konvensional digunakan dalam dua makna. Salah satunya bermakna cinta (muhabbah), dan yang kedua bermakna keputusan (tashmim) untuk melakukan suatu perbuatan. Dilihat dari sisi bidang-bidangnya, makna pertama sangatlah luas, karena meliputi cinta akan segala sesuatu yang berada di luar tindakan seseorang dan tindakan orang lain. Berbeda dengan makna yang kedua yang digunakan khusus untuk tindakan-tindakan seseorang itu sendiri.
Iradah dengan pengertian pertama (mahabbah), meskipun bagi manusia merupakan aradh (aksiden) dan kaifiyah nafsaniyah (kualitas jiwa), akan tetapi akal kita—dengan cara menyisihkan berbagai kekurangan darinya—dapat menggambarkan konsep umum baginya, sehingga bisa diterapkan atas entitas-entitas di luar, bahkan atas Allah SWT. Sebagaimana penyisihan tersebut dilakukan oleh akal terhadap pengetahuan (ilmu).
Maka itu, Hubb (cinta)—yang diterapkan atas mahabbah (kecintaan) Allah terhadap dzat-Nya—dapat digolongkan ke dalam sifat dzatiyah. Dengan demikian, apabila maksud Iradah Ilahiyah adalah hubbul kamal (cinta kesempurnaan) yang—pada prinsipnya—berhubungan dengan kesempurnaan Ilahi yang tidak terbatas, dan berikutnya berhubungan dengan seluruh makhluk dari sisi bahwa kesempurnaan itu merupakan kesan (atsar) dari kesempurnaan-Nya, maka kita dapat menggolongkan sifat cinta ini ke dalam sifat dzatiyah sebagaimana sifat dzatiyah lainnya; qadimdan esa, identik ('ayn dzat) dengan zat Allah itu sendiri (yakni merupakan substansi Allah itu sendiri).
Adapun iradah dengan makna keputusan untuk melakukan suatu tindakan, tidak diragukan lagi bahwa ia termasuk sifat fi'liyah yang—dilihat dari kaitannya dengan fenomena-fenomena alam (hawadist)—terikat dengan batasan-batasan waktu, sebagaimana yang juga tampak pada ayat yang berbunyi:
“Sesungguhnya manakala amr-Nya menghendaki sesuatu, Dia berkata, ‘Jadilah’, maka terjadilah.” (QS. Yasin: 82).

TAUHID X (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 10
Sifat-sifat Fi'liyah
Mukaddimah
Telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu, bahwa sifat fi'liyah merupakan konsep-konsep di mental yang diperoleh akal dari perbandingan antara dzat Allah dan makhluk-makhluk-Nya, dengan cara mengamati hubungan tertentu di antara keduanya. Dalam hal ini, Khaliq dan makhuk-Nya merupakan dua sisi hubungan, seperti konsep Al-Khaliqiyah yang diperoleh akal dengan cara mengamati hubungan wujud makhluk-makhluk dengan Allah SWT. Apabila hubungan di antara keduanya ini tidak diamati, konsep tersebut tidak mungkin dapat diperoleh.
Hubungan-hubungan yang mungkin dapat tergambar antara Allah SWT dan makhluk-Nya itu tidak terbatas. Akan tetapi, secara global dan dari satu sisi, hubungan-hubungan tersebut dapat dibagi kepada dua kelompok:
Kelompok pertama, hubungan-hubungan antara Khaliq dan makhluk-Nya yang dapat dipahami dengan cara mengamati secara langsung, seperti Al-Ijad (mewujudkan), Al-Khalq (menciptakan), Al-Ibda` (mengadakan), dan sebagainya.
Kelompok kedua, hubungan-hubungan yang dapat dipahami setelah mempersepsi hubungan-hubungan yang lain seperti; rizki. Karena, pada awalnya kita mesti mengasumsikan adanya hubungan dzat pemberi rizki dan dzat penerima rizki. Setelah itu kita memahami ihwal limpahan rahmat Allah kepadanya, sehingga dengan begitu kita memperoleh konsep Ar-Raziq (pemberi rizki) dan Ar-Razzaq (Mahapemberi rizki).
Bahkan, terkadang kita pun dapat mengonsepkan berbagai hubungan antara satu makhluk dengan yang lainnya sebelum sifat fi'liyah pada Allah SWT itu dipahami. Setelah itu, barulah kita mengamati hubungannya dengan Allah.
Di samping itu, kita dapati pula adanya konsep yang muncul dari beberapa hubungan sebelumnya antara Allah SWT dan makhluk, seperti konsep maghfirah, dimana konsep ini muncul dari rububiyah tasyri'iyah Ilahiyah (pengaturan syariat Ilahi), penentuan Allah terhadap hukum-hukum syariat dan penyimpangan hamba darinya. Dengan demikian, untuk dapat memahami sifat-sifat fi'liyah, kita harus melakukan suatu perbandingan antara Allah SWT dan makhluk-makhluk-Nya, kemudian kita temukan adanya hubungan antara dzat pencipta dan yang dicipta, lalu dengan cara ini kita memperoleh konsep idhafi (relasional) dari hubungan tersebut. Oleh karena itu, dzat Allah yang suci tidak bisa dijadikanmishdaq sifat-sifat fi'liyah secara tersendiri; tanpa mengamati hubungan tersebut. Inilah perbedaan utama antara sifat-sifat dzatiyah dan sifat-sifat fi'liyah.