Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

10 November 2010

MA’AD/HARI KEBANGKITAN III (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 44

Pembuktian atas Ma'ad

Mukaddimah
Telah kami singgung di awal-awal buku ini, bahwa keyakinan terhadap Ma’ad dan dihidupkannya kembali seluruh manusia di alam akhirat merupakan salah satu prinsip-prinsip akidah yang paling penting di dalam seluruh agama samawi.
Para nabi senantiasa menekankan pentingnya Ma'ad dan mereka banyak menanggung berbagai kesusahan dan tantangan dalam usaha menanamkan dan menumbuhkan prinsip tersebut di dalam jiwa umat manusia. Al-Qur’an menganggap bahwa keyakinan terhadap Ma’ad sama dengan keyakinan terhadap Tauhid. Kitab suci ini menggunakan lebih dari dua puluh ayat sehubungan dengan dua kata; Allah dan Hari Akhir yang disebut secara berdampingan.
Di samping itu, Al-Qur’an berbicara tentang berbagai keadaan akhirat lebih dari dua ribu ayat di dalam berbagai surat. Dan di awal pembahasan Ma'ad ini kami telah menunjukkan pentingnya membahas "Akhir Perjalanan Hidup". Kami juga telah menjelaskan bahwa pemahaman yang benar mengenai Ma'ad terkait pada pengenalan terhadap ruh yang merupakan standar hakikat setiap manusia; hakikat yang kekal pascakematian dan setelah hancurnya tubuh. Sehingga dapat dikatakan, bahwa seseorang yang telah mati di dunia ini adalah ia itu sendiri yang akan dibangkitkan dan hidup kembali di alam akhirat kelak.
Begitu pula, kami telah membahas pembuktian adanya ruh melalui akal dan wahyu. Semua itu diusahakan demi memudahkan pengkajian kita terhadap masalah yang prinsipal mengenai kehidupan abadi manusia. Kini, tiba saatnya untuk membahas pembuktian prinsip akidah ketiga ini, yaitu Ma'ad.
Sebagaimana masalah ruh itu telah dituntaskan melalui pembuktian akal dan wahyu, masalah Ma’ad ini pun bisa dibuktikan melalui dua jalan yang sama. Di sini, kami hanya akan memaparkan dua dalil akal atas pentingnya Ma’ad. Setelah itu, kami segera memaparkan sebagian ayat Al-Qur’an yang menyinggung kemungkinan terjadinya Ma’ad dan nilai pentingnya.


Dalil Hikmah
Telah kami jelaskan pada bagian pertama dari buku ini, yaitu ketika membahas prinsip Tauhid, bahwa penciptaan manusia tidaklah sia-sia, bahwa manusia diciptakan dengan tujuan tertentu. Sebab, cinta Allah akan kebaikan dan kesempurnaan, sebagai sifat dzatiyah-Nya, secara dasar dan lang-sung berkaitan dengan dzat-Nya sendiri, dan secara tidak langsung berkaitan dengan kesan-kesannya yang memiliki tingkat-tingkat kebaikan dan kesempurnaan. Maka, diciptakanlah alam semesta ini yang melazimkan kebaikan dan kesempurnaan sebanyak mungkin.
Atas dasar ini, kita membuktikan adanya sifat hikmah pada Allah; yang meniscayakan agar setiap makhluk dapat mencapai tujuan dan kesempurnaan yang semestinya. Akan tetapi, mengingat begitu banyak dan luasnya benturan di alam materi ini, dimana kebaikan dan kesempurnaan setiap makhluk di dalamnya saling berbenturan, maka pengaturan Ilahi Yang Mahabijak melazimkan tertatanya semua makhluk sedemikian rupa sehingga muncullah kebaikan dan kesempurnaan sebanyak mungkin dari mereka.
Dengan ungkapan lain, alam materi ini memiliki tatanan yang baik dan sempurna. Maka itu, tertatalah berbagai unsur, kuantitas, kualitas, interaksi dan gerakan-gerakannya sebegitu rupa sehingga lahan dan kondisi yang memadai untuk penciptaan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan. Lalu pada gilirannya, akan tersedia pula lahan yang sesuai untuk penciptaan manusia, yang merupakan makhluk yang paling sempurna di alam materi ini.
Namun, jika penciptaan alam materi ini terjadi dalam bentuk yang tidak memungkinkan terciptanya makhluk-makhluk hidup, atau tidak memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan mereka, tentu hal itu bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah.
Perlu kami tambahkan di sini, bahwa manusia itu memiliki ruh yang mempunyai potensi untuk kekal dan dapat mencapai kesempurnaannya yang abadi, yaitu kesempurnan yang tidak dapat dibandingkan dengan kesempurnaan materi dilihat dari sisi derajat dan nilai eksistensialnya. Bahkan, kesempurnaan manusia itu jauh mengungguli kesempurnaan materi.
Apabila diasumsikan bahwa kehidupan manusia itu hanya terbatas pada kehidupan dunia ini saja, ini sama sekali tidak sesuai dengan Hikmah Ilahiyah, apalagi jika kita perhatikan sebegitu banyak dan beragamnya bencana, kesudahan dan kelelahan hidup di dunia ini. Galibnya, seseorang tidak dapat meraih kesenangan tanpa bersusah payah terlebih dahulu. Dan para ahli menyimpulkan bahwa usaha mencapai kesenangan yang sedikit itu tidaklah sebanding dengan kelelahan dan kesudahan yang ditanggung oleh pelakunya. Dari sinilah justru timbul Nihilisme, bahkan sebagian umat manusia memilih bunuh diri, walaupun secara fitriyah mereka memiliki keinginan kuat untuk tetap hidup.
Jelas, jika kehidupan manusia itu didefinisikan sedemikian di atas, ia senantiasa mengalami kelelahan dan selalu berusaha mengatasi berbagai problem alam dan sosial untuk kemudian ia mendapatkan kesenangan dalam beberapa saat. Setelah itu, ia merebah dan tidur akibat dari kelelahannya itu. Setelah menjalani istirahat beberapa saat, ia bangun untuk kembali berhadapan dengan berbagai problem dan kesusahan. Ketika itu, ia mengerahkan seluruh tenaganya demi memperoleh sesuap nasi, kemudian ia merasakan nikmatnya santapan barang beberapa saat, setelah itu tidak ada lagi.
Rutinitas kehidupan yang melelahkan dan menjenuhkan semacam ini tidak diinginkan oleh manusia waras. Ia tidak ingin untuk memilihnya. Kehidupan semacam ini dapat diumpamakan secara lebih dekat dengan keadaan seorang supir yang mengendarai mobilnya menuju pom bensin untuk mengisi bahan bakar, setelah itu ia menjalankan mobilnya, menempuh rute-rute, dan begitulah seterusnya, sampai mobil itu uzur dan tidak lagi berfungsi, atau bertabrakan dengan kendaraan lain, atau menabrak sesuatu dan hancur.
Tak syak lagi, ingin kekal merupakan fitrah setiap manusia yang diletakkan oleh Pencipta Yang Mahabijak di dalam wujudnya. Ingin kekal itu merupakan kekuatan penggerak menuju keabadian, dan senantiasa mendorong seseorang untuk berada di atas geraknya.
Apabila kita mengasumsikan bahwa gerak perjalanan ini dan akhir aktifitasnya akan berbenturan dengan batu yang besar kemudian hancur luluh, lalu bagaimana mungkin penciptaan kekuatan penggerak seperti ini di dalam diri manusia akan sesuai dengan akhir perjalanan dan tujuannya?
Oleh karena itu, adanya kecenderungan fitriyah semacam itu, yakni ingin kekal, hanya akan sesuai dengan Hikmah Ilahiyah bila terdapat kehidupan yang lain yang bersifat abadi, bukan kehidupan alam materi ini yang diakhiri dengan kematian dan kebinasaan.
Kesimpulan
Dengan menggabungkan dua premis tersebut, yaitu Hikmah Ilahiyah dan kemungkinan adanya kehidupan abadi bagi manusia, kita sampai pada kesimpulan; bahwa seniscayanya ada kehidupan yang lain bagi manusia di balik kehidupan dunia yang singkat dan terbatas ini, sehingga tidak terdapat kehidupannya tidak menyimpang dari Hikmah Ilahiyah.
Kecenderungan fitrah untuk hidup kekal dan abadi tersebut dapat dianggap sebagai premis lain, yang juga dapat digabungkan dengan Hikmah Ilahiyah, sehingga kita akan dapat merumuskan dalil lain atas keniscayaan Ma'ad ini.
Dari uraian di atas juga jelas bahwa kehidupan abadi bagi manusia menuntut adanya tatanan yang khas yang tidak sama dengan tatanan kehidupan dunia yang membawa berbagai kelelahan dan kesusahan. Karena jika tidak demikian, berlangsungnya kehidupan dunia dengan berbagai kelelahan dan kesusahannya—meskipun bersifat kekal dan abadi—tidaklah sesuai dengan Hikmah Ilahiyah.
Dalil Keadilan
Di sadari atau tidak, bahwa manusia mempunyai ikhtiar dan kebebasan di alam dunia ini dalam melakukan perbuatan yang baik atau buruk.
Dari satu sisi, kita temukan bagaimana sebagian manusia menghabiskan seluruh usianya dalam ibadah kepada Allah SWT dan berbakti kepada sesamanya. Dan dari sisi lain, kita melihat pula bagaimana sebagian orang yang jahat dan durhaka berani melakukan berbagai kezaliman dan dosa demi mencapai ambisi dan kepentingan busuknya.
Selain itu, tujuan dari diciptakannya manusia di muka bumi ini, dilengkapinya dengan berbagai kecenderungan yang saling berlawanan, dengan kekuatan memilih, kehendak, dan dengan berbagai macam pengetahuan rasional maupun data-data literal, serta dipenuhinya kondisi untuk melakukan berbagai perbuatan dan berada di hadapan dua jalan; kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan keburukan, tujuan diadakannya semua itu ialah sebagai lahan untuk berusaha secara bebas dan menerima berbagai cobaan agar mereka dapat memilih jalan kesempurnaannya berdasarkan kehendak dan usaha masing-masing, sehingga mereka akan memperoleh hasil dari usaha bebas tersebut, baik berupa pahala atau siksa.
Pada dasarnya, kehidupan dunia ini diciptakan untuk manusia sebagai tempat ujian dan lahan pembinaan kepribadian insaninya. Hingga detik-detik akhir hidup di dunia, ia tidak lepas dari ujian, cobaan, tanggung jawab, dan berbagai kewajiban.
Akan tetapi, kita melihat bagaimana orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat tidak memperoleh pahala dan siksa yang sesuai dengan perbuatan mereka di dunia ini. Bahkan kita temukan kebanyakan orang jahat itu lebih banyak mendapatkan kesenangan daripada orang-orang baik. Kita sadari pula bahwa kehidupan dunia ini tidak dapat memenuhi ganjaran ataupun siksa atas orang-orang yang berbuat baik ataupun buruk. Misalnya, seorang penjahat yang telah membunuh ribuan orang yang tidak berdosa, tidak mungkin akan dihukum mati di dunia ini kecuali sekali saja. Dengan begitu, betapa banyak kejahatannya berlangsung tanpa terkena hukuman. Padahal sesuai dengan Keadilan Ilahi, ia seharusnya mendapat balasan yang setimpal atas berbagai perbuatannya.
Dengan demikian, sebagaimana dunia ini adalah tempat ujian dan tugas, semestinya ada alam lain yang merupakan tempat pembalasan dan penampakkan hasil-hasil segenap perbuatan, agar setiap orang menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya, dan agar Keadilan Ilahi terealisasi secara nyata.
Lain dari itu, jelas pula bahwa alam akhirat bukanlah alam untuk memilih jalan dan menjalankan tugas. Insya Allah pada pelajaran berikutnya, kita akan membahas tema ini secara lebih rinci.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Terangkan Hikmah Ilahiyah dan hubungannya dengan tata cipta yang sebaik mungkin!
2. Jelasklanh dalil hikmah dengan kedua bentuknya!
3. Apakah yang dapat kita simpulkan dari dalil hikmah, selain dari pembuktikan prinsip Ma'ad?
4. Jelaskan tujuan diciptakannya manusia di dunia ini!
5. Terangkan dalil keadilan!
6. Apakah poin-poin penting yang dapat diambil dari dalil keadilan?

Tidak ada komentar: