Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

10 November 2010

IMAMAH I (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 36
AIMAH
Imamah dan Kepemimpinan
Mukaddimah
Setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah dan mendapatkan dukungan besar dari kaum Anshar dan dari kaum muslimin (baca: kaum Muhajirin) yang menyertai hijrah beliau dari Makkah, segera beliau meletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat Islam dan merumuskan undang-undangnya. Ketika itu masjid, selain digunakan sebagai tempat ibadah, berfungsi sebagai tempat berteduh dan berlindung bagi kaum Muhajirin, orang-orang terlantar (tuna wisma), dan tempat pemecahan berbagai problema sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Islam.
Lebih dari itu, masjid merupakan titik-tolak penyebaran risalah Ilahiyah, pusat pendidikan masyarakat, gedung mahkamah dalam menyelesaikan perselisihan dan berbagai kasus tindak pidana serta perdata. Masjid jugalah yang telah menjadi markas instruksi militer, persiapan pasukan tempur, perlengkapan perang, dan basis utama dalam menyelesaikan berbagai problem pemerintahan lainnya.
Ala kulli hal, berbagai macam urusan hidup masyarakat secara umum, baik agama maupun dunia, berada di tangan Rasulullah saw. Ketika itu, kaum muslimin menyadari bahwa mereka dituntut untuk mengikuti dan mentaati bimbingan, ajaran, dan perintah beliau. Karena sesungguhnya Allah SWT, di samping telah mewajibkan umat manusia untuk mentaati Rasul secara mutlak, juga dengan tegas memerintahkan mereka untuk mematuhi beliau dalam masalah politik, sosial, ekonomi, dan militer.
Dengan ungkapan lain, selain kedudukannya sebagai nabi yang bertugas menyampaikan syariat Islam serta menjelaskannya kepada umat, Rasul saw juga mengemban jabatan Ilahi lainnya, yaitu memimpin umat Islam dan mengatur mereka dalam urusan politik, ekonomi, sosial, militer, dan lain sebagainya. Sebab, Islam adalah agama yang mencakup tugas-tugas dan aturan-aturan ibadah dan akhlak, pun meliputi undang-undang politik, ekonomi, hak-hak serta lainnya. Dan sebagaimana Rasul saw memikul tugas dakwah dan mendidik umat, beliau pun memikul tanggung jawab dari sisi Allah SWT untuk menerapkan hukum-hukum dan syariat Islam. Maka, di tangan beliaulah kendali agama dan pemerintahan berada.


Sudah jelas, sebuah agama dan ajaran yang diakui sebagai pelita hidayah dan penuntun seluruh umat manusia sampai Hari Kiamat, sungguh absurd bila agama ini tidak menaruh perhatian terhadap masalah-masalah politik, sosial dan ekonomi. Masyarakat yang hidup berasaskan agama ini mustahil tidak memiliki wewenang politik semacam ini, wewenang yang merupakan kelaziman posisi seorang imam.
Pembahasan penting kita sekarang ini adalah, siapakah yang berhak memimpin umat manusia setelah Rasul saw wafat? Dan, siapakah yang mengangkat khalifah dan pemimpin umat tersebut? Apakah—sebagaimana Allah SWT mengangkat Rasul untuk menduduki jabatan kepemimipinan umat—Dia juga yang mengangkat dan menentukan para pengganti rasul-Nya? Apakah sebenarnya jabatan Imamah dan Khilafah itu dianggap ilegal jika tidak ditentukan dan ditunjuk oleh-Nya? Ataukah ketentuan Ilahi dalam masalah ini hanya berkenaan dengan Nabi saja, sementara setelah beliau wafat, masalah pengangkatan seorang pemimpin umat sepenuhnya diserahkan kepada pilihan masyarakat? Apakah memang masyarakat itu benar-benar memiliki hak dalam masalah pemilihan imam ini atau tidak?
Titik utama perbedaan pandangan antara Ahli Sunnah dan Syi'ah terletak pada persoalan Imamah dan Khilafah ini. Mazhab Syi'ah meyakini bahwa persoalan Imamah ini merupakan urusan Allah. Hanya Dialah yang berhak memilih dan mengangkat hamba-hamba-Nya yang saleh untuk menduduki jabatan imamah dan khilafah. Dan sesungguhnya peristiwa pengangkatan imam ini telah terjadi pada masa hidup Nabi saw, yaitu tatkala Allah memilih dan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai imam dan khalifah muslimin sepeninggal beliau. Pemilihan dan pengangkatan Ali tersebut dilakukan oleh Rasul saw secara langsung dan di hadapan umat Islam. Beliau pun memilih dan menentukan 11 orang lainnya dari keturunan Ali sebagai imam kaum muslimin setelah wafatnya.
Berbeda halnya dengan keyakinan Ahli Sunnah wal Jamaah. Mazhab ini meyakini bahwa perkara Imamah tidak berbeda dengan masalah kenabian dari sisi bahwa perkara itu telah berakhir seketika wafatnya Nabi saw. Adapun setelah itu, perkara Imamah sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat Islam dan umat manusia. Bahkan sebagian tokoh mazhab ini menyatakan secara tegas, bahwa apabila ada seseorang merebut kedudukan imamah dengan kekuatan pedang sekalipun, maka wajib atas umat Islam untuk tunduk, mengakui dan mentaatinya.
Jelas bahwa pandangan semacam ini akan membuka peluang bagi para thagut dan para penguasa rakus untuk mencapai dan meraih ambisi kotornya itu, dengan cara menduduki kursi kepemimpinan umat. Bahkan lebih dari itu, pandangan ini akan membuka jalan bagi pihak-pihak yang membuat umat Islam hancur, terbelakang, dan memecah belah persatuan mereka.
Pada dasarnya, pandangan Ahli Sunnah mengenai legalitas Imamah dan Khilafah yang tidak didasari oleh ketetapan Ilahi ini menjadi basis pemikiran sekularisasi (pemisahan agama dari politik).
Sesungguhnya pandangan Ahli Sunnah itu—menurut penilaian Syi'ah Imamiyyah—adalah pandangan yang menyimpang dari ajaran Islam yang otentik, dan dari batas-batas ubudiyyah dan penghambaan diri secara mutlak di hadapan Allah SWT dalam segenap dimensi kehidupan. Penyimpangan ini bahkan menjadi sumber utama berbagai penyelewengan di dalam tubuh masyarakat Islam yang terjadi menjelang wafatnya Rasul hingga sekarang ini.
Oleh karena itu, Imamah merupakan masalah yang sangat penting, yang patut diberi perhatian oleh setiap muslim, masalah yang sama sekali tidak sepatutnya diabaikan. Hendaknya setiap muslim mengkaji masalah ini dengan baik dan serius, namun jauh dari fanatisme dan taklid buta, dan berusaha keras dalam mencari serta mengungkap mazhab yang hak dan membelanya dengan penuh keikhlasan hati.
Di samping itu, hendaknya para pengikut dan pemeluk berbagai mazhab menjauhkan diri dari perpecahan, dan perselisihan yang dapat menciptakan suasana permusuhan dan membuka jalan bagi musuh-musuh Islam demi mewujudkan ambisi mereka dalam merusak Islam dan menghancurkan kaum muslimin.
Hendaknya kaum muslimin sendiri tidak melakukan hal-hal yang dapat memperbesar ikhtilaf di antara mereka sendiri yang dapat menggoyahkan persaudaraan, dan melemahkan kekuatan mereka dalam menghadapi serangan-serangan orang-orang kafir. Sebab, kerugian dan resiko buruknya hanya akan kembali kepada umat Islam itu sendiri.
Akan tetapi dari sisi lain, jangan sampai maksud baik membina wahdah, persaudaraan, dan kasih sayang sesama kaum muslimin itu malah menjadi kendala dalam mengkaji, meneliti, dan mencari mazhab yang hak secara serius, dan dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk mempelajari masalah-masalah ilmiah serta menemukan penyelesaian atas keraguan-keraguan dan persoalan lainnya seputar Imamah. Karena, upaya memecahkan masalah ini—jika dilakukan dengan baik—akan mengambil peranan yang sangat penting yang dapat menentukan perjalanan kaum muslimin dan kebahagiaan hakiki mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Definisi Imamah
Menurut bahasa, Imamah yaitu kepemimpinan. Dan setiap orang yang menduduki kursi kepemimpinan suatu kelompok manusia disebut sebagai imam, baik berada di atas jalan yang hak ataupun jalan yang batil. Oleh karena itu, Al-Qur'an menggunakan istilah a'immatul kufr (imam-imam kekufuran) berkenaan dengan para pemimpin orang-orang kafir. Sedangkan orang yang diikuti oleh orang-orang yang shalat dinamakan imam jama'ah.
Adapun menurut istilah Kalam, Imamah ialah kepemimpinan umum atas segenap umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat ukhrawi maupun duniawi. Dicantumkannya kata "duniawi" di sini hanyalah untuk mempertegas ihwal betapa luasnya cakupan Imamah, karena sudah jelas bahwa pengaturan masalah-masalah dunia bagi umat Islam merupakan bagian dari agama Islam.
Menurut mazhab Syi'ah, Imamah dan kepemimpinan umat itu baru dianggap legal bila ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan demikian, tidak seorang pun berhak untuk menduduki jabatan Imamah ini selain orang-orang yang maksum, yang terjaga dari dosa dan kesalahan dalam menerangkan dan menyampaikan hukum-hukum Islam, serta yang suci dari berbagai maksiat dan kezaliman.
Pada hakikatnya, imam maksum itu—kecuali jabatan kenabian—memiliki seluruh kewenangan yang diemban oleh Rasulullah saw. Maka, hadis-hadis imam maksum itu merupakan hujjah (bukti kuat) dalam menjelaskan hukum-hukum, syariat, dan ajaran Islam. Dengan begitu, adalah wajib menaati dan mengamalkan segala perintah dan hukum-hukumnya dalam berbagai masalah pemerintahan.
Dari sini, tampak adanya perbedaan yang jelas antara pandangan Syi'ah Imamiyah dan pandangan Ahlusunah wal Jamaah dalam masalah Imamah. Paling tidak, ada tiga masalah pokok yang menjadi titik perbedaan di antara kedua mazhab tersebut, yaitu:
Pertama, Imam itu harus ditentukan oleh Allah SWT.
Kedua, Imam itu harus memiliki ilmu ladunni dari sisi Allah.
Ketiga, Imam itu harus terjaga dari segala kesalahan dan dosa.
Sudah barang tentu, derajat kemaksuman itu (keterjagaan dari dosa dan kesalahan) tidak khusus pada Imam. Karena Sayyidah Fatimah Az-Zahra as—sejauh keyakinan Syi’ah—juga termasuk maksum, hanya saja beliau tidak memiliki posisi Imamah, sebagaimana Sayyidah Maryam as yang juga mencapai derajat kemaksuman. Dan sangat mungkin di antara para wali Allah ada yang telah mencapai anak tangga kemaksuman tersebut, sekalipun kita tidak mengenalnya. Karena, manusia maksum memang tidak mudah dikenali kecuali dengan isyarat dari Allah SWT.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1.Apakah jabatan Rasulullah saw selain kenabian dan kerasulan?
2.Apakah titik utama perbedaan antara Syi’ah dan Ahlusunah?
3.Apakah konsekuensi dari keyakinan pada kepemimpinan yang tak didasari oleh penunjukkan langsung dari Allah SWT?
4.Jelaskan arti Imamah, baik secara bahasa maupun secara istilah?
5.Apakah persoalan-persoalan mendasar dalam masalah Imamah?
PELAJARAN 37
Pentingnya Kehadiran Imam
Mukaddimah
Mereka yang tidak mempelajari masalah-masalah akidah dengan baik dan teliti menduga bahwa titik perselisihan antara Syi'ah dan Ahlusunah—sehubungan dengan masalah Imamah—terletak pada masalah pengangkatan imam atau khalifah. Artinya, Syi’ah meyakini bahwa Nabi saw telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai imam dan khalifah dalam mengatur dan membimbing umat.
Sementara itu, Ahlusunah meyakini bahwa pengangkatan semacam itu tidak pernah terjadi. Yang terjadi adalah bahwa umat Islam mengadakan pemilihan atas seorang pemimpin dengan suara mereka sendiri. Kemudian khalifah pertama yang telah terpilih itu mengangkat dan menentukan sendiri khalifah setelahnya. Sementara pada periode ketiga, pengangkatan seorang khalifah diserahkan kepada sekelompok manusia yang terdiri atas enam orang. Adapun khalifah keempat ditentukan kembali oleh suara rakyat. Dengan begitu, tidak ada mekanisme khusus dan baku untuk menentukan dan mengangkat seorang khalifah di antara kaum muslimin. Maka itu, setelah jabatan khalifah keempat berakhir, kursi khilafah ini diduduki oleh orang-orang yang kuat dan busuk, seperti yang juga berlangsung di negara-negara non-Islam.
Dengan kata lain, sebagian orang menduga bahwa pandangan Syi'ah tentang pengangkatan khalifah pertama sama dengan Ahlusunah dalam hal pengangkatan khalifah kedua yang dilakukan oleh khalifah pertama. Bedanya, keputusan Nabi saw tidak diterima umat, sedangkan keputusan khalifah pertama diterima oleh mereka!
Akan tetapi, terlepas dari pertanyaan-pertanyaan seperti; atas dasar apakah khalifah pertama itu punya hak dalam mengangkat khalifah yang kedua? Berdasarkan keyakinan Ahlusunah, mengapa Rasul saw tidak lebih memiliki rasa peduli terhadap Islam dibandingkan khalifah pertama? Bagaimana bisa terjadi bahwa Nabi saw meninggalkan umat Islam yang baru saja lahir tanpa seorang pemimpin yang akan menggantikan beliau, padahal setiapkali Nabi saw keluar dari Madinah menuju medan jihad selalu menunjuk seorang wakil dan khalifah di kota itu? Di samping itu, Nabi saw sendiri acapkali memperingatkan umatnya akan terjadinya fitnah, perselisihan dan bencana di tengah mereka.
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut atau pertanyaan lainnya, perlu kita tekankan bahwa ikhtilaf di antara Ahlusunah dan Syi'ah berkisar pada masalah berikut ini; Apakah imamah, qiyadah, wilayah dan kepemimpinan itu merupakan posisi keagamaan yang tunduk pada syariat dan ketentuan Ilahi, ataukah posisi duniawi yang takluk pada faktor-aktor sosial dan kehendak masyarakat?
Syi’ah meyakini bahwa sebenarnya Nabi saw sekalipun tidak mempunyai kewenangan dalam menentukan khalifahnya. Beliau hanya melakukan pengangkatan khalifah dan imam-imam atas dasar perintah Ilahi semata. Pada hakikatnya, falsafah di balik khatamiyah (berakhirnya) kenabian benar-benar terkait erat dengan penunjukkan seorang imam maksum. Karena, dengan keberadaan seorang imam maksumlah kesejahteraan utama umat Islam setelah wafat Nabi saw akan dapat tercapai sepenuh mungkin.
Berangkat dari masalah inilah tampak jelas mengapa masalah imamah umat diangkat sebagai persoalan prinsipal akidah Syi'ah, bukan sekedar persoalan parsial Fiqih. Juga tampak jelas, mengapa tiga syarat pokok harus terpenuhi pada diri seorang imam, yaitu memperoleh ilmu ladunni dari Allah, terjaga dari segala kesalahan dan dosa, serta harus ditentukan oleh Allah SWT. Juga menjadi jelas bahwa menurut Syi’ah masalah Imamah ini sama sekali tidak bisa dipisahkan dari masalah marja’iyyah (otoritas seorang mujtahid) dalam upaya menemukan hukum Ilahi, dan dari masalah hukumah (pemerintahan) serta wilayah (kedaulatan) di tengah umat.
Dengan demikian, kata “imamah” itu mencakup persoalan di atas. Berangkat dari sini—dan setelah kita memahami pengertian Imamah serta kedudukannya di dalam kepercayaan Syi'ah—kami akan membahas seberapa kuat validitas pengertian tersebut.
Pentingnya Kehadiran Seorang Imam Maksum
Telah dijelaskan pada pelajaran 22, bahwa terealisasinya tujuan penciptaan manusia itu berhubungan erat dengan hidayah dan bimbingan wahyu Ilahi. Untuk itu, Hikmah Ilahiyah menuntut diutusnya para nabi untuk melakukan dan menjalankan berbagai macam tugas, antara lain:
o Menuntun umat manusia kepada jalan kebahagiaan du-niawi dan ukhrawi, dan untuk memenuhi segala kebutuhan yang berhubungan dengannya.
o Mendidik setiap individu yang mempunyai potensi untuk diantarkan kepada akhir peringkat kesempurnaan insaninya yang mungkin dapat mereka capai.
o Memberlakukan hukum-hukum Islam di tengah kehidu-pan sosial dan individu tersebut, sejauh situasi dan kondisinya memungkinkan.
Telah kami jelaskan pada pelajaran 34 dan 35, bahwa Islam adalah agama yang universal dan abadi. Tidak ada agama lain setelahnya yang menggantikannya, sebagaimana pula tidak ada lagi nabi yang datang kemudian dan membawa risalah baru. Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir ini dapat memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, di samping bahwa syariat tersebut juga telah dijamin kelanggengannya sampai akhir masa.
Al-Qur’an sebagai kitab samawi pamungkas telah dijamin kelanggengan dan keutuhannya oleh Allah SWT dari berbagai perubahan dan penyimpangan hingga akhir masa. Akan tetapi, lahiriah ayat-ayat Al-Qur’an tidak menjelaskan hukum-hukum dan semua ajaran Islam secara detail. Sebagai contoh, kita tidak dapat mengetahui jumlah rakaat shalat lima kali dalam sehari semalam melalui ayat-ayat Al-Qur’an, begitu pula tata-cara pelaksanaannya. Dan ratusan hukum lainnya, yang sunnah maupun yang wajib. Karena memang, Al-Qur'an tidak diturunkan untuk menjelaskan perincian hukum. Perincian hukum dan syariat Islam diletakkan di pundak Nabi saw lalu menerangkannya kepada seluruh umatnya, yaitu melalui ilmu-ilmu yang Allah SWT berikan kepada beliau selain dari wahyu qur'ani.
Oleh karena itu, berangkat dari uraian di atas, hadis-hadis Nabi saw menjadi hujjah dan sumber otentik ajaran Islam. Tetapi, kondisi sulit yang dialami oleh beliau, seperti pada tahun-tahun pemboikotan di lembah Syi'eb Abi Thalib, dan peperangan melawan musuh-musuh Islam selama 10 tahun, semua itu tidak memberikan kesempatan sama sekali kepada Nabi saw untuk menjelaskan semua hukum dan syariat Islam kepada seluruh umat. Bahkan sebagian hukum Islam yang telah dipelajari oleh sahabat-sahabat beliau pun tidak terjamin kemurniannya. Contoh yang paling mudah yaitu masalah wudhu. Para sahabat berbeda pendapat tentang bagaimana tata-cara Rasul saw melakukan wudhu yang benar, padahal beliau mempraktekkan wudhu di hadapan mereka selama bertahun-tahun. Tampak bagaimana masalah sesederhana wudhu di atas tadi diperdebatkan oleh mereka, padahal masalah ini diperlukan oleh seluruh kaum muslimin untuk diamalkan setiap hari.
Lebih dari itu dapat dikatakan, bahwa mereka itu tidak punya motif tertentu untuk menyelewengkan masalah ini. Terlebih lagi pada masalah-masalah lainnya yang prakteknya tidak dilakukan setiap hari oleh Nabi saw, dan tidak setiap hari pula mereka saksikan, baik dalam masalah sosial, politik, ekonomi, ibadah, muamalah dan lain sebagainya. Jadi, pada masalah-masalah yang lebih detail dan rumit sangat mungkin terjadi kekeliruan dalam penukilan, dan bisa jadi terdapat perubahan dan penyimpangan yang disengaja, khususnya dalam hukum dan ajaran yang tidak sejalan dengan selera dan hawa nafsu sebagian orang, atau berlawanan dengan kepentingan dan ambisi pribadi mereka.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa agama Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna yang dapat memenuhi semua kebutuhan umat manusia sampai akhir masa kehidupan dunia ini, apabila terdapat jalan yang terbuka lebar untuk memenuhi segala kebutuhan umat manusia di dalam agama itu sendiri, yaitu berbagai persoalan yang mengancam kehancuran mereka setelah wafat Rasul saw.
Peluang untuk menjelaskan dan mempraktikkan ajaran Islam yang murni, yang dapat memenuhi segala kebutuhan umat, tidak akan terwujud kecuali dengan cara menentukan khalifah Rasul saw yang saleh dan bersih jujur. Dialah khalifah yang memiliki ilmu ladunni dari Allah SWT, yang mampu menjelaskan semua syariat Islam dari seluruh dimensi dan keistimewaannya. Dialah khalifah yang ilmu dan ketakwaannya dapat mengangkatnya ke tingkat kemaksuman, sehingga ia tidak terpengaruh oleh hawa nafsu, dan tidak melakukan penyimpangan atas syariat Islam, serta mampu menjalankan peran Nabi saw dalam mendidik umat, menuntun dan membimbing orang-orang yang mempunyai potensi dan kemauan yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan insani. Dialah khalifah yang mampu menjalankan roda pemerintahan Islam dengan baik dan jujur, melaksanakan syariat Islam di bidang sosial, politik, ekonomi, militer, serta mampu menyebarkan kebenaran dan meratakan keadilan ke seluruh dunia.
Pendek kata, berakhirnya kenabian itu hanya akan sesuai dengan Hikmah Ilahiyah jika dibarengi dengan penunjukkan imam maksum; yang memiliki segala kriteria yang dimiliki oleh Nabi saw, tentunya selain kenabian dan kerasulan.
Dengan begitu, jelaslah betapa pentingnya kehadiran seorang imam di tengah-tengah umat, betapa pentingnya ilmu ladunni dari Allah SWT bagi seorang imam, dan betapa pentingnya pengangkatan imam oleh-Nya. Karena, hanya Dialah yang dapat mengetahui hamba-hamba-Nya yang pantas diberi ilmu dan kemaksuman sesuai dengan usaha mereka. Pada dasarnya, hanya Dialah yang memiliki hak wilayah (kedaulatan) dan penentuan atas hamba-hamba-Nya itu, Diapun dapat memberikan hak wilayah ini kepada orang-orang tertentu yang telah memenuhi kriteria-kriteria khusus.
Perlu kami tegaskan di sini, bahwa Ahlusunah tidak menetapkan syarat dan kriteria apapun bagi seorang khalifah. Artinya, seorang khalifah tidak harus ditentukan dan ditunjuk oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, tidak perlu kepada ilmu karuniawi dari-Nya, juga tidak perlu menjadi maksum dari segala kesalahan, dosa dan maksiat.
Maka itu, jika seorang khalifah itu melakukan kesalahan, berbuat maksiat, itu tidak akan menggugurkan kekhalifahannya. Karenanya, tidak mengherankan bila ulama mazhab ini menukil dan mencatat di dalam kitab-kitab mereka berbagai macam kesalahan dan kelemahan para khalifah dalam menghadapi berbagai macam persoalan agama yang dikeluhkan oleh masyarakat. Bahkan khalifah pertama mereka (Abu Bakar)—sejauh yang dinukil oleh para ulama mereka—pernah mengaku secara terus terang, “Sesungguhnya aku ini mempunyai setan yang selalu mempengaruhiku”.[1] Sedang khalifah kedua mereka (Umar al-Khattab)—setelah dipilih oleh khalifah pertama—pernah menyatakan, "Sungguh baiat atas khalifah pertama itu terjadi secara tergesa-gesa dan faltah (tidak beres)”,[2] sehingga lantaran begitu sering dan banyaknya kesalahan serta kekeliruan yang dilakukan oleh khalifah kedua ini, acapkali ia mengulang-ulang pengakuannya di hadapan halayak, “Laula Ali lahalaka Umar” (Kalau saja tidak ada Ali, Umar pasti sudah binasa).[3]
Adapun kesalahan yang telah dilakukan oleh khalifah ketiga, Utsman bin Affan, dan para khalifah dari Bani Umayyah serta Bani Abbas, saking jelas dan banyaknya, tidak perlu lagi kami paparkan di sini. Setiap orang yang mengetahui sejarah Islam walau sealakadarnya, dan setiap orang yang mau mengkaji serta membaca buku-buku sejarah tersebut, akan dapat menyingkapnya. Hanya Syi’ahlah yang meyakini keharusan terpenuhinya tiga syarat penting tersebut bagi Imam dua belas mereka.
Pada pelajaran yang telah lalu, kami telah menyinggung kesahihan akidah mereka sehubungan dengan masalah Imamah ini, sehingga kami kira tidak diperlukan lagi dalil-dalil yang panjang dan terperinci. Hanya pada pembahasan berikutnya, kami akan menjelaskan dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut Ini !
1. Jelaskan pandangan Syi’ah tentang masalah Imamah dan perbedaannya dengan pandangan Ahlusunah!
2. Mengapa mazhab Syi’ah menganggap masalah Imamah itu sebagai dasar akidah?
3. Terangkan pentingnya keberadaan imam?
4. Apakah kesimpulan yang bisa diambil dari penjelasan ini?

[1] Lihat Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid jilid 1/85 dan  jilid 4/231–262 dan Al-Ghadir, Al-Amini, jilid 7/102–180.
[2] Lihat Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jilid 1/142–185 dan jilid 3/57.
[3] Lihat Al-Ghadir, Al-Amini, jilid 6/93.

Tidak ada komentar: