Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

10 November 2010

KENABIAN VI (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 27

Mukjizat

moonsplt (mukjizat Mohmd)
Cara Membuktikan Kenabian
Masalah mendasar yang ketiga di dalam Kenabian adalah bagaimana umat manusia itu dapat mengakui kebenaran klaim para nabi yang hakiki dan mengingkari para pengaku nabi palsu? Tidak syak lagi, bahwa seseorang yang sesat dan pelaku maksiat, yang akal sehat dapat mengetahui keburukannya, tidak mungkin dipercaya dan dibenarkan. Hal itu dapat dibuktikan kedustaannya ketika ia mengaku sebagai seorang nabi jika kita mensyarati kemaksuman pada para nabi, khususnya ketika orang tersebut mengajak kepada hal-hal yang bertentangan dengan akal sehat dan fitrah manusia, atau ketika didapati kontradiksi dalam perkataannya. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, kehidupan dan tingkah laku yang bersih di masa lampau bagi seorang nabi akan membuat masyarakat dapat mempercayai klaimnya, khususnya bila pikiran sehat mereka pun menyaksikan kebenaran dakwahnya.
Begitu pula kenabian seseorang itu dapat dibuktikan kebenarannya dengan kabar, warta dan cerita dari nabi lainnya sehingga tidak ada lagi keraguan atau kebingungan sedikit pun bagi orang-orang yang mencari kebenaran bahwa dia adalah seorang nabi. Akan tetapi jika manusia tidak mengetahui adanya tanda-tanda dan bukti-bukti yang membuat mereka percaya dan kabar dari nabi yang lain pun tidak sampai kepada mereka, dalam hal ini diperlukan jalan lain untuk membuktikan kenabian tersebut. Dan Allah Yang Mahabijak telah menciptakan jalan ini dan melengkapi para Nabi dengan berbagai mukjizat sebagai tanda kebenaran pengakuan mereka yang dinamakan ayat-ayat.
Kesimpulannya bahwa pengakuan para nabi yang hakiki itu dapat dibuktikan kebenarannya melalui tiga cara:


Pertama, dengan adanya bukti-bukti yang membuat masyarakat percaya, seperti kejujuran, amanah, istiqamah dan tidak pernah menyimpang dari jalan yang hak dan keadilan sepanjang hidupnya. Akan tetapi cara ini tidak akan terwujud kecuali pada diri para nabi yang hidup di tengah masyarakat dalam waktu yang cukup panjang sehingga sejarah hidup mereka sudah dikenal dikalangan mereka. Adapun seorang nabi yang diutus dengan risalah kenabian pada usia muda dan sebelum diketahui perangai dan kepribadiannya oleh masyarakat, tidak mungkin kebenaran klaimnya itu dipastikan dengan cara semacam ini.
Kedua, dengan cara diperkenalkan oleh nabi sebelumya atau nabi lain yang hidup semasa dengannya. Cara ini khusus bagi masyarakat yang telah mengenal nabi lainnya dan telah mengetahui adanya kabar baik tersebut. Jelas bahwa cara ini tidak mungkin bisa diterapkan pada nabi yang pertama.
Ketiga, menampakkan mukjizat yang pengaruhnya lebih kuat dan lebih luas. Dari sinilah kami akan mengkaji cara ini.
Definisi Mukjizat
Mukjizat adalah perkara yang keluar dari kebiasaan manusia yang tampak pada diri seseorang yang mengaku sebagai Nabi dengan kehendak Allah SWT dan sebagai dalil akan kebenaaran pengakuannya. Perlu diperhatikan bahwa definisi tersebut mencakup tiga unsur:
o Adanya fenomena yang keluar dari kebiasaan manusia yang tidak bisa didapati dengan sebab-sebab yang wajar.
o Bahwa perkara yang keluar dari adat kebiasaan itu timbulnya dari para nabi dengan kehendak Ilahiyah dan izin dari-Nya secara khusus.
o Terjadinya perkara yang keluar dari kebiasaan seperti ini dapat dijadikan dalil atas kebenaran klaim seorang nabi. Perkara inilah yang dinamakan mukjizat.
Berikut ini kami akan menjelaskan ketiga unsur yang dikandung oleh definisi tersebut.
Kejadian-kejadian yang Luar Biasa
Fenomena semesta itu biasanya terjadi akibat dari sebab-sebab yang dapat diketahui melalui berbagai eksperimen, seperti fenomena fisika, kimia, biologi dan psikologi. Akan tetapi ada kejadian lainnya yang bisa terjadi dengan cara yang lain yang sebab-sebabnya tidak dapat diketahui melalui eksperimen indrawi. Begitu pula diketahui adanya bukti-bukti yang menunjukkan terjadinya kejadian semacam itu berawal dari sejumlah faktor yang khas, seperti perbuatan-perbuatan yang aneh yang dilakukan oleh para petapa (murtadhin). Para ahli dari berbagai ilmu telah memberikan kesaksian bahwa perbuatan semacam itu tidak mungkin terjadi sesuai dengan tatanan ilmu-ilmu empirik. Kejadian semacam ini dinamakan sebagai kejadian luar biasa.
Kejadian Ilahi yang Luar Biasa
Secara umum kejadian luar biasa itu dapat dibagi menjadi dua macam: pertama, kejadian yang sebab-sebabnya tidak wajar, akan tetapi masih dapat diusahakan oleh manusia, misalnya melalui pelatihan seperti perbuatan para petapa.
Kedua, perbuatan-perbuatan luar biasa yang tidak akan terwujud kecuali dengan izin Allah secara khusus, dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai hubungan dengan Allah SWT. Perbuatan ini memiliki dua keistimewaan: (1) tidak dapat dapat dipelajari, dan (2) tidak tunduk pada kekuatan lain yang lebih tinggi, bahkan tidak ada faktor apa pun yang dapat mengalahkannya.
Perbuatan luar biasa ini adalah untuk hamba-hamba pilihan Allah SWT, dan tidak dapat dijangkau oleh orang-orang yang sesat dan durhaka. Akan tetapi, ia tidak khususkan bagi para nabi saja, karena sebagian para wali pun dibekali kemampuan seperti itu. Oleh karena itu, dalam ilmu Kalam, semua itu tidak dinamakan mukjizat. Jika perbuatan seperti itu dilakukan oleh selain nabi dinamakan karomah. Begitu pula ilmu-ilmu Ilahi yang luar biasa itu tidak terbatas pada wahyu. Ketika ilmu itu diberikan kepada selain nabi, ia dapat disebut sebagai ilham atau tahdist.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui cara untuk mengenal dan membedakan antara dua macam perbuatan luar biasa manusia; yang Ilahi dan yang non-Ilahi. Apabila perbuatan luar biasa itu dapat dipelajari atau ada faktor-faktor yang dapat menahan kejadiannya atau menggagalkan pengaruh-nya, itu bukanlah perbuatan luar biasa yang Ilahi, tetapi perbuatan dari setan dan hawa-nafsu, bahkan dapat dinilai sebagai kesesatan, kerusakan akidah dan akhlak pelakunya lantaran ia tidak berhubungan dengan Allah SWT.
Yang perlu dicatat di sini ialah bahwa Allah SWT bisa ditempatkan sebagai pelaku perbuatan luar biasa yang Ilahi tersebut, di samping Dia sebagai pelaku kejadian semua makhluk dan fenomena yang wajar, dari sisi bahwa kejadian perbuatan tersebut dengan izin khusus Allah SWT. Perbuatan itu bisa juga dinisbahkannya kepada makhluk-Nya seperti malaikat dan para nabi, dari sisi peran mereka sebagai mediator dan pelaku dekat. Sebagaimana Al-Qur'an menisbahkan ihwal menghidupkan mayit, menyembuhkan orang sakit dan menciptakan burung kepada Isa as. Dua penisbahan ini tidak kontradiktif, karena perbuatan hamba itu merupakan kepanjangan dari perbuatan Allah SWT.
musa
Keistimewaan Mukjizat Para Nabi
Unsur ketiga di dalam definisi mukjizat ialah fungsinya sebagai bukti atas kebenaran klaim mereka sebagai nabi. Karenanya, suatu perbuatan luar biasa adalah mukjizat—menurut ilmu Kalam—jika ditampakkan sebagai dalil atas kenabian seorang nabi, di samping kaitan perbuatan itu kepada izin khusus Allah SWT. Apabila arti perbuatan tersebut diperluas lagi, maka akan mencakup seluruh perbuatan luar biasa yang merupakan bukti atas kebenaran klaim imamah. Maka itu, istilah karomah khusus untuk seluruh perbuatan luar biasa yang keluar dari para wali. Lawannya adalah perbuatan luar biasa yang berasal dari kekuatan ruh dan setan seperti sihir, perdukunan dan perbuatan para petapa. Selain dapat dipelajari, perbuatan seperti ini pun dapat digugurkan oleh kekuatan yang lebih hebat. Pembuktian bahwa hal itu tidak bersumber dari Allah biasanya dengan melihat kerusakan akhlak dan akidah pelakunya.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa mukjizat para nabi berfungsi untuk membuktikan secara langsung atas kebenaran klaim mereka sebagai nabi. Adapun kebenaran isi risalah, kemestian mentaati ajaran mereka, hanya dapat dibuktikan secara cara tidak langsung. Artinya, kenabian para nabi itu dapat dibuktikan oleh akal, adapun isi risalah mereka hanya bisa dibuktikan oleh wahyu (naqli).[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Apakah cara untuk mengenal para nabi yang hakiki? Dan apakah perbedaan di antara cara-cara tersebut?
2. Apakah dalil atas pengakuan bohongan nabi palsu?
3. Berikan definisi mukjizat!
4. Apakah perbuatan yang luar biasa itu?
5. Apakah perbedaan antara perbuatan luar biasa yang Ilahi dan perbuatan luar biasa yang non-Ilahi?
6. Bagaimana mengenal perbuatan luar biasa yang Ilahi?
7. Apakah keistimewaan mukjizat para nabi atas semua perbuatan luar biasa Ilahi lainnya?
8. Jelaskan kedua istilah mukjizat dan karomah!
9. Apakah mukjizat itu perbuatan yang disandarkan kepada Allah SWT ataukah kepada nabi?
10. Apakah mukjizat itu dalil atas kenabian seorang nabi? Ataukah sebagai bukti atas kebenaran isi risalahnya?
PELAJARAN 28
Beberapa Keraguan dan Jawaban
Berikut ini adalah beberapa keraguan sekaitan dengan mukjizat dan jawaban-jawabannya.
Keraguan Pertama
Setiap kejadian material mempunyai sebab-sebab tertentu yang dapat diketahui secara empirik. Tidak diketahuinya sebab kejadian itu hanya karena terbatasnya sarana empiris tidaklah bisa dijadikan sebagai dalil atas ketiadaan sebab yang wajar pada kejadian tersebut. Maka itu, suatu kejadian hanya bisa diterima keluarbiasaannya bila terjadi dari sebab-sebab yang tak diketahui. Maksimalnya, pengetahuan akan sebab-sebabnya bisa dianggap sebagai mukjizat selama sebab-sebab itu belum diketahui. Adapun mengingkari sebab-sebab yang bisa diketahui melalui eksperimen empirik berarti menolak prinsip kausalitas, dan ini sulit diterima.
Jawab: prinsip kausalitas hanya menetapkan bahwa setiap realitas akibat memiliki sebab tertentu. Namun, statemen ini tidak berarti bahwa setiap sebab dapat diketahui melalui eksperimen ilmiah. Bahkan tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini, karena lahan eksperimen itu terbatas pada hal-hal fisikal, dan sama sekali tidak dapat memastikan ada tidaknya hal-hal metafisikal, atau ada tidaknya pengaruh mereka.
Adapun penafsiran mukjizat sebagai pengetahuan akan sebab-sebab misterius, tidaklah tepat. Sebab, jika pengetahuan ini dapat diperoleh melalui sebab-sebab yang wajar, maka tidak akan ada bedanya dengan kejadian biasa lainnya, dan tidak dapat dikatakan sebagai perkara yang luar biasa.
Dan jika pengetahuan itu diperoleh melalui cara yang tak wajar, maka ia adalah perkara yang luar biasa, yang bersandar pada izin khusus Allah SWT dan munculnya itu sebagai bukti atas kebenaran klaim kenabian, juga tentunya bisa di-kategorikan sebagai mukjizat ilmu (mu'jizat ilmiyah), sebagaimana pengetahuan Isa as tentang apa yang akan dimakan oleh masyarakat dan apa yang akan mereka simpan dalam rumah-rumah mereka. Kenyataan ini dianggap sebagai mukjizat beliau. Akan tetapi, kita tidak dapat membatasi mukjizat hanya pada pengetahun seperti itu saja lalu menafikan selainnya.
Akhirnya, tersisa satu persoalan di sini, yaitu mengenai perbedaan antara peristiwa-peristiwa ini dengan peristiwa-peristiwa lain yang luar biasa sehubungan dengan hukum kausalitas.
Keraguan Kedua
Sunnatullah (hukum cipta Allah) berlaku bahwa setiap fenomena itu terjadi melalui sebab-sebab tertentu. Al-Qur'an menjelaskan, "Engkau tidak akan mendapatkan bagi sunah Allah itu pergantian dan juga engkau tidak akan mendapatkan bagi sunah Allah itu perubahan." (QS. Al-Isra’: 77)[1]
Namun, kejadian luar biasa itu merupakan perubahan dan pergantian pada sunnahtullah dinafikan oleh ayat-ayat tersebut.
Jawab: keraguan ini sama dengan keraguan pertama dengan sedikit perbedaan, bahwa keraguan pertama berdasarkan argumentasi akal, sedangkan keraguan kedua bersandar pada ayat-ayat Al-Qur'an.
Jelas bahwa membatasi sebab-sebab berbagai kejadian hanya pada sebab-sebab wajar sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak mungkin berubah adalah pandangan yang tidak berdasar. Sama halnya dengan pengakuan seseorang yang membatasi sebab panas hanya pada api sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak mungkin berubah. Terhadap pandangan semacam ini perlu ditegaskan bahwa beragamnya sebab bagi berbagai akibat, dan adanya sebab-sebab luar biasa yang menempati sebab-sebab yang wajar merupakan kejadian yang selalu terjadi di alam ini, dan dianggap sebagai salah satu sunnatullah.Sedangkan membatasi sebab-sebab hanya pada sebab-sebab biasa dan wajar merupakan perubahan atas sunnatullah itu sendiri, yang dinafikan oleh ayat-ayat tersebut.
Alhasil, menafsirkan ayat-ayat yang menafikan perubahan dan pergantian dalam sunnatullah sebegitu rupa sehingga tidak ada sesuatu lain yang menempati posisi dan peran sebab-sebab biasa dan bahwa hal itu dianggap sebagai sunnatullah yang tidak berubah, adalah penafsiran yang keliru. Karena, banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan terjadinya mukjizat dan peristiwa-peristiwa luar biasa sebagai dalil yang kuat atas kesalahan penafsiran tersebut.
Dengan demikian, kita perlu mencari penafsiran yang benar dalam kitab-kitab tafsir. Pada kesempatan ini kami akan menyinggungnya secara ringkas. Bahwa ayat-ayat Al-Qur'an tersebut dimaksudkan untuk menafikan penceraian akibat dari sebabnya, tidak menafikan berbilang dan beragamnya sebab, tidak pula menafikan sebab yang tak wajar yang menempati sebab yang wajar. Bahkan dapat dikatakan bahwa kadar minimal yang bisa ditarik dari ayat-ayat tersebut ialah adanya pengaruh dari sebab-sebab yang tak wajar.
Keraguan Ketiga
Terdapat ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan desakan dan tuntutan yang berkali-kali dari sebagian orang agar Rasul saw mendatangkan mukjizat. Namun, beliau tidak mengabulkan tuntutan itu. Jika mukjizat adalah pembuktian atas kenabian, mengapa Rasul tidak menggunakan cara tersebut untuk membuktikan kenabiannya?
Jawab: ayat-ayat tersebut berkaitan dengan tuntutan yang mereka nyatakan atas dasar ingkar atau motif selain mencari kebenaran, setelah hujah atas mereka itu sempurna, dan setelah adanya bukti kebenaran kenabian Nabi saw dengan tiga cara; dalil yang benar, kabar dari para nabi sebelumnya dan menampakkan mukjizat. Maka, Hikmah Ilahiyah menuntut agar beliau tidak memenuhi tuntutan mereka tersebut.
Penjelasannya: bahwa tujuan ditampakkannya mukjizat—sebagai kejadian unik di dalam sistem cipta yang berkuasa di alam ini, yang terkadang terjadi demi memenuhi permintaan manusia (seperti peristiwa unta Nabi Saleh as), atau terjadi tanpa permintaan mereka (seperti mukjizat Nabi Isa as)—untuk memperkenalkan para nabi dan menyempurnakan hujah Allah SWT atas manusia, bukan untuk memaksa mereka agar menerima dakwah, tunduk dan taat secara terpaksa kepada para nabi, juga bukan untuk menghibur mereka dengan mempermainkan tata hukum kausalitas. Tujuan semacam ini tidak harus mengabulkan setiap tuntutan manusia. Bahkan, memenuhi tuntutan mereka terkadang bertentangan dengan tujuan dan Hikmah Ilahiyah, seperti menuntut perbuatan yang malah menutup pintu kehendak, usaha dan kebebasan, atau menuntut manusia untuk menerima dakwah para nabi, atau menuntut karena pengingkaran, atau karena tujuan-tujuan selain mencari kebenaran.
Apabila tuntutan-tuntutan semacam itu dipenuhi, justru mukjizat akan menjadi bahan olokkan, dan masyarakat berbondong-bondong untuk menyaksikannya sekadar mengisi waktu mereka di dalam hiburan dan hal-hal yang sia-sia tersebut, atau mereka akan berkumpul dan mengerumuni para nabi hanya untuk kepentingan pribadi belaka. Dari sisi lain pintu ujian, cobaan dan usaha bebas akan tertutup karena manusia akan mengikuti para nabi secara terpaksa akibat tunduk kepada faktor-faktor keterpaksaan. Kedua sisi tersebut bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah dan tujuan ditampakkannya mukjizat tersebut.
Adapun selain tuntutan-tuntutan tersebut dan ketika Hikmah Ilahiyah sendiri yang menuntutnya, para nabi pasti akan memenuhi permintaan manusia, seperti halnya berbagai mukjizat yang pernah didatangkan oleh Rasul saw. Sebagian mukjizat beliau dinukil secara mutawatir di dalam banyak riwayat. Mukjizat yang terbesar dan abadi adalah Al-Qur'an Al-Karim. Hal ini akan kami bahas pada pelajaran berikutnya.
Keraguan Keempat
Dari kaitannya dengan izin khusus Allah, mukjizat dapat dijadikan sebagai bukti atas adanya hubungan khusus antara Allah dengan pembawa mukjizat tersebut yang membuktikan bahwa izin khusus Allah itu telah diberikan kepadanya.
Artinya, mukjizat tersebut terjadi melalui kekuasaan dan kehendaknya. Akan tetapi, secara logis hubungan ini tidak melazimkan adanya ikatan yang lain antara Allah SWT dan pembawa mukjizat, misalnya ia sebagai rasul-Nya yang telah menerima wahyu dari-Nya. Jadi, mukjizat tidak bisa dianggap sebagai dalil akal atas kebenaran klaim seseorang sebagai nabi. Maksimalnya, dalil itu hanyalah dalil dugaan (dzanni) dan persuasif (iqna'i).
Jawab: perbuatan luar biasa, sekalipun yang Ilahi, tidak menunjukkan adanya hubungan wahyu dengan sendirinya. Juga, karomah para wali itu tidak mungkin dianggap sebagai dalil atas kenabian mereka. Akan tetapi, fokus kita di sini adalah seseorang yang mengklaim kenabian dan menampakkan mukjizat sebagai dalil atas kebenaran klaimnya tersebut.
Atas dasar itu, jika kita berasumsi bahwa orang yang mengaku nabi itu dusta, ia telah melakukan maksiat paling besar, dan perbuatannya tersebut akan berdampak buruk, di dunia maupun di akhirat. Jelas, orang seperti ini sama sekali tidak patut untuk menjalain hubungan khusus itu dengan Allah SWT. Selain itu, Hikmah Ilahiyah tidak mungkin membekali orang tersebut dengan kemampuan menampakkan mukjizat yang akan dijadikan sebagai alat untuk menyesatkan dan menyelewengkan umat mansuia.
Kesimpulannya, akal itu dapat mengetahui dengan jelas bahwa seseorang yang pantas menjalin hubungan khusus dengan Allah SWT dan layak untuk dibekali kemampuan menampakkan mukjizat, hanyalah orang yang tidak mungkin berbuat khianat kepada Tuhannya dan tidak akan menjadikan mukjzat itu sebagai alat untuk menyesatkan dan menyeng-sarakan manusia selama-lamanya.
Dengan demikian, menampakkan mukjizat merupakan dalil akal yang pasti untuk membuktikan kebenaran dan kejujuran seseorang atas pengakuannya sebagai nabi.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah statemen prinsip kausalitas itu? Dan apakah kelaziman yang muncul darinya?
2. Mengapa mengakui prinsip kausalitas tidak menafikan ihwal mukjizat?
3. Mengapa penafsiran mukjizat sebagai pengetahuan akan sebab-sebab yang tidak diketahui itu tidak benar?
4. Apakah mengakui mukjizat menafikan sunnatullah pada perubahan di alam ini? Mengapa?
5. Apakah para nabi itu mendatangkan mukjizat di awal kenabian mereka? Ataukah mereka mendatangkannya untuk memenuhi tuntutan sebagian orang?
6. Mengapa para nabi tidak memenuhi setiap tuntutan orang agar menampakkan mukjizatnya?
7. Jelaskanlah pikiran berikut ini: bahwa mukjizat bukanlah dalil dugaan untuk memuaskan semata, tetapi ia adalah dalil akal untuk membuktikan kebenaran pengakuan kenabian seseorang!

[1] Al-Ahzab: 62, Al-Fathir: 43, dan Al-Fath: 23.

Tidak ada komentar: