Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

10 November 2010

IMAMAH II (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 38
ahlbayt
Penunjukan Imam
Telah kami jelaskan pada pembahasan yang lalu, bahwa sekiranya penutupan kenabian tidak dilengkapi oleh penunjukkan imam maksum akan bertentangan dengan Hik-mah Ilahiyah.Dan kesempurnaan Islam yang universal dan abadi sampai akhir masa bergantung pada pengangkatan para imam dan khalifah yang saleh, maksum, alim, serta memiliki—kecuali kenabian dan kerasulan—kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Nabi saw setelah kemangkatan beliau.
Konsep imamah demikian ini mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang tak terbilang jumlahnya, sebagaimana telah dinukil oleh ulama Syi’ah—bahkan oleh ulama Ahlusunah—di dalam sumber-sumber mereka. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan utama adalah ayat ke-3 Al-Ma'idah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya pada hari ini [yaitu pada hari setelah pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah Rasul saw] telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku lengkapi atas kalian nikmat-Ku, dan juga Aku telah ridha bahwa Islam sebagai agama kalian.”
Dari penelaahan terhadap ayat ini berikut tafsir dan sebab turunnya di dalam berbagai kitab tafsir, akan kita dapati bagaimana para ahli tafsir telah bersepakat, bahwa ayat tersebut turun pada haji Wada’, yaitu haji perpisahan (terakhir) Rasul saw yang terjadi beberapa bulan sebelum beliau wafat.
Masih dalam rangkaian ayat tersebut, setelah menyinggung ihwal orang-orang kafir yang telah berputus asa untuk mengadakan penyimpangan terhadap Islam, Allah SWT berfirman, “Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa dari agama kalian.”
Allah SWT menegaskan bahwa pada hari itu agama Islam dan nikmat wilayah telah Dia lengkapi dan sempurnakan.


Apabila kita cermati dengan baik riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat tersebut, akan tampak jelas lagi bahwa ikmal dan itmam (penyempurnaan dan pelengkapan), yang disusul oleh keputusasaan orang-orang kafir untuk melakukan penyimpangan terhadap Islam, terwujud dengan diangkatnya seorang khalifah Nabi dari sisi Allah SWT. Karena musuh-musuh Islam menduga, bahwa sepeninggal Rasul saw agama Islam dan para pemeluknya tidak punya pemimpin lagi. Terlebih Rasul sendiri tidak punya seorang putra pun. Dengan demikian, agama Islam akan menjadi lemah dan akan mengalami kehancuran.
Dugaan mereka itu sungguh keliru, karena Islam telah mencapai kesempurnaannya dengan diangkatnya seorang pengganti Rasul yang akan melanjutkan risalah dan perjuangan beliau. Maka, menjadi lengkaplah nikmat Ilahi, sementara segala angan-angan, harapan dan ambisi orang-orang kafir menjadi sirna.
Pengangkatan khalifah Nabi saw itu terjadi tatkala beliau dan rombongan jemaah haji dalam perjalanan pulang mereka dari haji Wada’. Ketika itu, beliau mengumpulkan semua jemaah haji di satu tempat yang dikenal dengan nama “Ghadir Khum”. Pada kesempatan itu, beliau menyampaikan khutbahnya yang panjang. Kepada kaum muslimin beliau bertanya:
“Bukankah aku ini lebih utama daripada diri kalian sendiri?”
Serempak mereka menjawab:
“Benar, ya Rasulullah ….”
Kemudian Nabi saw memegang tangan Ali bin Abi Thalib as dan mengangkatnya di hadapan mereka semua, lalu berkata, “Barang siapa yang menjadikan aku ini sebagai pemimpinnya, maka sungguh Ali adalah pemimpinnya.”
Dengan demikian, Nabi saw telah menetapkan wilayah Ilahiyah itu atas Imam Ali as. Segera setelah itu, seluruh kaum muslimin yang hadir di tempat itu bangkit membaiatnya. Di antara mereka, tidak ketinggalan pula khalifah kedua, Umar bin Khattab. Kepadanya Umar mengucapkan selamat dan berkata, “Engkau beruntung sekali wahai Ali. Kini engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin seluruh masyarakat yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan.”
Pada hari yang agung tersebut, turunlah ayat yang berbunyi, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian, dan telah Aku lengkapi pula nikmat-Ku atas kalian, dan Aku pun rela Islam sebagai agama kalian.
Dengan turunnya ayat ini, Rasul saw mengucapkan takbir lalu berkata, “Kesempurnaan kenabianku dan kesempurnaan agama Allah itu terletak pada wilayah Ali sepeninggalku.”
Seorang ulama Ahlusunah terkemuka bernama Al-Juwaini menukil sebuah riwayat, “Ketika ayat tersebut turun, Abu Bakar dan Umar berkata, ‘Ya Rasul Allah, apakah kepemimpinan ini dikhususkan untuk Ali?’
Rasul menjawab, 'Ya, wilayah (kepemimipinan) ini diturunkan untuknya dan untuk para washi-ku sampai Hari Kiamat.’
Lalu kedua orang itu berkata lagi, ‘Ya Rasul Allah, jelaskanlah kepada kami siapa sajakah mereka itu?’
Beliau menjawab, ‘Mereka itu adalah Ali, ia adalah saudaraku, wazirku, pewarisku, washiku dan khalifahku bagi umatku, dan dialah wali (pemimpin) setiap mukmin sepeninggalku, kemudian setelahnya adalah cucuku Al-Hasan, kemudian cucuku Al-Husein dan kemudian sembilan orang dari putra-putra keturunan Al-Husein secara berurutan. Al-Qur’an senantiasa bersama mereka, sebagaimana mereka selalu bersama Al-Qur’an, keduanya itu tidak akan pernah berpisah hingga mereka menjumpaiku di telaga Surga."[1]
Kalau kita mengkaji secara seksama beberapa riwayat yang berhubungan dengan pengangkatan Ali as sebagai imam, wali dan washi Rasul saw, kita dapat memahami bahwa Rasul saw sebelum itu telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengumumkan secara resmi kepada masyarakat umum tentang Imamah dan wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Akan tetapi, beliau merasa kuatir terhadap protes dan penentangan mereka dalam melakukan perintah Ilahi itu. Beliau kuatir akan anggapan mereka bahwa hal itu adalah ambisi pribadi beliau semata, karenanya ada kemungkinan mereka akan menolaknya.
Untuk itu, Rasul saw menunggu kesempatan yang tepat untuk menyampaikan pesan penting tersebut hingga turunlah ayat ini, “Wahai Rasul, sampaikanlah pesan dan wahyu yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, maka berarti kamu tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya. Dan janganlah kamu takut, karena Allah akan menjagamu dari kejahatan manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 67)
Sejauh yang dapat kita cermati, tampak sebegitu besarnya penekanan Allah SWT atas pentingnya menyampaikan perintah Ilahi itu yang tidak kurang pentingnya daripada perintah-perintah Ilahi lainnya. Bahkan jika perintah tersebut tidak disampaikan, ini sama artinya dengan tidak pernah menyampaikan semua risalah Allah. Lebih dari itu, di dalam ayat di atas terdapat kabar gembira, bahwa Allah senantiasa akan menjaga dan melindungi Nabi saw dari berbagai kejahatan dan perlakuan buruk yang mungkin direncanakan oleh musuh-musuh Allah tatkala mereka mendengar perintah tersebut.
Berbarengan dengan turunnya ayat tersebut, Rasul saw memperoleh kesempatan yang sangat tepat untuk menyampaikan perintah Ilahi yang amat penting itu. Ketika melihat bahwa tidaklah bijak menunda perintah itu, beliau pun segera mengumpulkan kaum muslimin di padang Ghadir Khum untuk menerima pesan-pesan dan wasiat beliau.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa keistimewaan hari "Ghadir" ini terletak pada diumumkannya secara resmi pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib as di hadapan khalayak umat, sekaligus pengambilan baiat dari mereka. Karena sebelum itu, Rasul saw seringkali memberikan isyarat tentang khilafah Ali as dengan berbagai ungkapan dan dalam berbagai kesempatan sepanjang masa kenabian beliau.
Sebagai contoh, pada masa-masa awal bi'tsah (kenabian) Muhammmad saw sebuah ayat turun kepada beliau, "Berikanlah peringatan kepada keluargamu yang terdekat" (QS.As-Syu'ara: 214)
Lantas beliau berseru kepada keluarganya, "Siapakah di antara kalian yang siap menjadi penolongku dalam urusan agamaku ini, aku akan jadikan ia sebagai saudaraku, washi-ku dan khalifahku atas kalian."
Kedua mazhab besar Ahlusunah dan Syi'ah sepakat, bahwa ketika itu tidak seorang pun dari keluarga Nabi saw yang memberikan jawaban kecuali Imam Ali bin Abi Thalib as.[2]
Demikian juga ketika turun ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan taati pula Ulil Amri (para Imam) di antara kalian." (QS. An-Nisa’: 59)
Secara tegas Allah SWT mewajibkan semua orang-orang yang beriman untuk mentaati "Ulil Amri" secara mutlak. Dan, menaati mereka sama dengan mentaati Rasulullah saw.
Sekaitan dengan ayat di atas, Jabir bin Abdillah bertanya, "Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang wajib ditaati seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini?"
Rasulullah saw menjawab, "Yang wajib ditaati adalah para khalifahku wahai Jabir, yaitu para imam kaum muslimin sepeninggalku nanti. Imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang telah dikenal di dalam kitab Taurat dengan nama "Al-Baqir" dan engkau akan berjumpa dengannya wahai Jabir. Apabila engkau nanti berjumpa dengannya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian setelah itu As-Shadiq Ja'far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja'far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang terakhir ialah Al-Mahdi bin Hasan bin Ali sebagai Hujjatullah di muka bumi ini dan Khalifatullah yang terakhir."[3]
Sebagaimana yang baru saja kita simak, Nabi saw telah mengabarkan kepada sahabat beliau yang bernama Jabir bin Abdillah Al-Anshari, bahwa dia kelak akan dapat berjumpa dengan Imam Muhammad Al-Baqir as Dan sejarah mencatat bahwa Allah mengaruniai Jabir umur panjang, ia hidup sampai pada masa Imam Baqir as Ketika berjumpa, ia begitu senang sampaikan salam Rasul saw kepada Imam as.
Abu Bashir dalam sebuah hadis yang diriwayatkannya berkata, "Aku pernah bertanya kepada Aba Abdillah Ja'far Ash-Shadiq as tentang firman Allah SWT, ‘Athi'ullaha Wa Athi'urrasula Wa Ulil Amri minkum.’
Beliau menjawab, "Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan khilafah Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein."
Kembali aku bertanya, "Akan tetapi mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan Ahlulbaitnya di dalam Al-Qur'an?"
Imam Ja'far Ash-Shadiq as menjawab, "Katakanlah kepada mereka, 'Bahwa ayat-ayat tentang shalat yang turun kepada Nabi sama sekali tidak menjelaskan tentang jumlah rakaatnya; tiga atau pun empat, akan tetapi Nabilah yang menjelaskan ayat-ayat tersebut kepada mereka. Begitu pula ketika turun ayat ini, beliaulah yang menjelaskan bahwa Ulil Amri itu adalah Ali bin Abi Thalib as, dan para imam dari keturunannya. Bahkan ketika Rasulullah saw berwasiat kepada mereka agar tetap berpegang teguh kepada "Kitabullah" dan Ahlubaitnya, yang keduanya itu tidak akan berpisah sampai akhir masa. Nabi saw menambahkan, 'Janganlah kalian menggurui mereka, karena mereka itu lebih alim dari kalian, dan mereka tidak akan mengeluarkan kalian dari pintu petunjuk dan tidak akan menjerumuskan kalian ke dalam lembah kesesatan.'"
Kalau kita amati dengan baik sabda-sabda Nabi saw yang berhubungan dengan masalah wasiat, akan kita dapati betapa seringnya Nabi saw mengulang-ulang wasiatnya itu. Bahkan di akhir hayat, Nabi saw masih saja mengulang wasiatnya tersebut, "Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka berharga untuk kalian, yaitu Kitabullah dan Ahlilbaitku. Keduanya itu tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di telaga Surga kelak."
Perlu diketahui bahwa hadis mengenai wasiat tersebut merupakan hadis yang mutawatir, baik dari Syi'ah Imamiyah maupun dari jalur Ahlusunah wal Jamaah.
Di antara tokoh-tokoh Ahlusunah yang meriwayatkan hadis tersebut adalah At-Turmudzi, An-Nasa'i, Al-Hakim, dll. Ulama yang belakangan ini pun meriwayatkan sebuah hadis lainnya, bahwa Nabi saw. telah bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku bagaikan bahtera Nuh as, siapa yang turut naik bersamanya, ia akan selamat. Dan siapa yang menolaknya, maka ia akan karam."[4]
Termasuk hadis yang sering diulang-ulang oleh Nabi saw ialah "Wahai Ali, engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelah wafatku nanti."[5]
Dan puluhan hadis lainnya yang pernah disampaikan oleh beliau sehubungan dengan wasiat mengenai wilayah Imam Ali as Kami kira bukan pada tempatnya untuk menukil semua hadis tersebut di tempat yang terbatas ini.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah ayat yang berkaitan dengan penentuan Imam? Jelaskan argumentasi ayat tersebut!
2. Terangkan peristiwa pengangkatan Ali bin Abi Thalib as sebagai imam!
3. Mengapa Nabi saw tidak segera menyatakan imamah Ali as? Dan bagaimana Nabi saw. melaksanakan tugas tersebut?
4. Sebutkan riwayat-riwayat yang menunjukkan imamah seluruh imam maksum as!
5. Jelaskan riwayat-riwayat yang menunjukkan imamah Ahlulbait as!

[1] Ghayatul Maram, bab 58, hadis ke-4.
[2] Bisa dirujuk ke 'Abaqat Al-Anwar dan Al-Ghadir.
[3] Rujuk ke Ghayah al-Maram, jilid 10, hal. 267, Itsbat al-Hudat, jilid 3/123 dan Yanabi' al-Mawaddah, hal. 494.
[4] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/151.
[5] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/111, 134, Ash-Shawa'iq Al-Muhriqah, hal. 103, dan Musnad Ibnu Hanbal, jilid 1/331 dan jilid 4/438.
 
 

PELAJARAN 39

Kemaksuman Dan Ilmu Imam

Sebagaimana pada pelajaran 36, bahwa titik perbedaan antara Syi'ah dan Ahlusunah sekaitan dengan Imamah berkisar pada tiga poin penting, yaitu: pertama, keharusan pengangkatan imam dari sisi Allah SWT. Kedua, seorang imam harus memiliki kemaksuman. Ketiga, seorang imam harus memiliki ilmu ladunni dari Allah.
Pada pelajaran 37 pun kami telah menjelaskan—dengan dalil-dalil rasional—ketiga masalah tersebut. Bahkan pada pelajaran 38, tidak hanya dalil-dalil itu, telah kami lengkapi pula pembahasan tersebut dengan dalil-dalil wahyu, yaitu ketika kami menjelaskan penunjukkan para imam yang suci dari sisi Allah SWT. Studi kita selanjutnya adalah mengenai kemaksuman dan ilmu ladunni mereka dari Allah SWT.
Kemaksuman Seorang Imam
Setelah dapat dibuktikan bahwa sebenarnya masalah Imamah terfokus pada pengangkatan Ilahi yang telah Allah anugerahkan kepada Ali bin Abi Thalib as dan sebelas keturunannya, kita pun dapat menetapkan kemaksuman mereka melalui ayat ini, “Sesungguhnya janji Kami tidak akan meliputi orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 142)
Ayat ini secara tegas menafikan kedudukan karuniawi Ilahi (Imamah) itu bagi orang-orang yang telah tersentuh noda maksiat dan dosa, sekecil apa pun dosa itu.
Selain ayat ini, kita pun dapat menetapkan kemaksuman mereka dengan ayat Ulil Amri di pelajaran lalu. Di dalam ayat itu, Allah SWT mewajibkan ketaatan kaum muslimin kepada mereka secara mutlak, dan menggandengkannya dengan ketaatan kepada Rasul-Nya. Artinya, ketaatan kepada mereka itu tidak akan bertentangan dengan ketaatan kepada Allah SWT. Jadi, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa perintah mentaati mereka secara mutlak berarti Allah SWT telah menjamin kemaksuman mereka, dan mereka itu adalah orang-orang yang sungguh memiliki kemaksuman.
Ayat lain yang dapat dijadikan sebagai argumen atas kemaksuman para Imam Ahlulbait as adalah "Ayat Tathir" yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kenistaan dari kalian wahai Ahlu Bait Nabi dan mensucikan kalian dengan sesuci-sucinya." (QS. Al-Ahzab: 33)
Penjelasannya, kehendak Allah dalam ayat ini bukan berupa iradah tasyri'iyah (kehendak tinta Ilahi), karena iradah tasyri'iyah ihwal mensucikan hamba-hamba-Nya bersifat dan berlaku secara umum, artinya tidak khusus hanya kepada orang-orang tertentu saja. Sedangkan kehendak Allah dalam ayat ini khusus untuk Ahlulbait Nabi saw. Dengan demikian, kehendak Allah dalam ayat ini tidak lain adalah iradah takwiniyah (kehendak cipta Ilahi) yang tidak mungkin akan mengalami perubahan, sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya "amr" Allah apabila ia menghendaki sesuatu, ia berkata, 'Jadilah', maka terjadilah ia." (QS.Yasin: 82)
Penyucian secara mutlak dan pembersihan segala bentuk kotoran, kenistaan dan keburukan adalah kemaksuman. Kita telah mengetahui, bahwa tidak ada satu pun dari mazhab-mazhab Islam yang mengklaim adanya kemaksuman bagi seorang pun yang silsilah keturunannya bersambung kepada Nabi saw selain mazhab Syi'ah Imamiyah. Penganut Syi'ah meyakini bahwa Siti Fatimah Az-Zahra as, putri Rasul saw, dan 12 Imam dari keturunannya menyandang sifat maksum.
Perlu kami tekankan di sini, bahwa terdapat lebih dari 70 hadis yang kebanyakan diriwayatkan oleh ulama Ahlusunah, yang menunjukkan bahwa "Ayat Tathir" tesebut diturunkan kepada lima manusia agung, yaitu Rasulullah saw., Imam Ali as, Fatimah as, Al-Hasan as dan Al-Husein as.
Syeikh Ash-Shaduq menukil sebuah riwayat dari Amirul Mukminin Ali as, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Wahai Ali, sesungguhnya ayat tathir ini diturunkan untukmu dan kepada kedua putramu dan para Imam dari putra-putramu."
Aku berkata, "Wahai Rasulullah, berapa orangkah jumlah imam setelahmu?"
Rasul saw menjawab, "Para Imam itu adalah engkau sendiri wahai Ali, kemudian setelah itu kedua putramu Al-Hasan dan Al-Husein. Setelah Al-Husein adalah Ali putranya. Setelah Ali adalah Muhammad putranya. Setelah Muhammad adalah Ja'far putranya. Setelah Ja'far adalah Musa putranya. Setelah Musa adalah Ali putranya. Setelah Ali adalah Muhammad putranya. Setelah Muhammad adalah Ali putranya. Setelah Ali adalah Al-Hasan putranya. Dan setelah Al-Hasan adalah Al-Hujjah putranya. Demikianlah aku dapatkan nama-nama mereka tertulis di kaki 'Arsy. Ketika itu aku bertanya kepada Allah tentang nama-nama tersebut. Allah berfirman, 'Wahai Muhammad, mereka adalah para Imam setelahmu, mereka itu suci dan terjaga dari segala dosa, kesalahan dan kealpaan. Sedang musuh-musuh mereka adalah orang-orang yang terkutuk.’”
Demikian pula hadis "Tsaqalain" (dua pusaka berharga). Dalam hadis ini, Rasul saw menggandengkan Ahlulbaitnya dengan Al-Qur'an. Beliau sangat menekankan, bahwa keduanya itu tidak akan berpisah selama-lamanya. Hadis ini merupakan argumen yang jelas atas kemaksuman mereka. Karena, apabila mereka melakukan maksiat, walau sekecil apa pun dan sekali pun karena kelupaan, berarti mereka itu secara praktis telah berpisah dari Al-Qur'an.
Dengan kata lain, tidak terpisahnya mereka sekejap mata pun dari Al-Qur'an menunjukkan bahwa segala perkataan, perbuatan, tingkah laku dan apa saja yang keluar dari mereka itu sejalan dengan Al-Qur'an, sesuai dengan kehendak Allah SWT, dan berarti mereka tidak pernah berbuat dosa dan lupa. Inilah yang dimaksud dari kemaksuman mereka.
Ilmu Imam
Tidak diragukan lagi bahwa Ahlulbait as telah menimba ilmu dari Nabi saw jauh lebih luas dan mendalam dibandingkan para sahabat mana pun dan siapa pun. Sebagaimana Nabi saw telah bersabda, "Janganlah kalian mengajari mereka, karena mereka itu jauh lebih pandai daripada kalian."
Terutama Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, yang tumbuh dan besar dalam asuhan Rasul saw sejak masa kecilnya dan senantiasa menyertai beliau sampai akhir hayatnya.
Ali as adalah orang yang paling dekat dengan Nabi saw dan senantiasa menimba berbagai ilmu dari beliau, hingga ia menyandang gelar "bab 'ilmu an-nabi" (gerbang ilmu Nabi). Sehubungan dengan itu, Rasul saw bersabda, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya."[1]
Hadis ini telah diakui kesahihannya, baik oleh ulama Ahlusunah maupun ulama Syi'ah. Bahkan seorang ulama Ahlusunah telah menulis sebuah buku yang berjudul "Fath al-Malik al-'Aly bi Sihhati Hadis Madinatil Ilmi 'Ali". Buku tersebut ditulis pada tahun 1354 H. dan dicetak di Mesir.
Dalam sebuah riwayat, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, "Sesungguhnya Rasulullah telah mengajarkanku seribu pintu ilmu, dan setiap pintu dari ilmu tersebut terbuka bagiku seribu pintu ilmu lainnya, maka aku memiliki sejuta pintu ilmu, sehingga aku mengetahui segala apa yang telah terjadi dan segala apa yang akan terjadi sampai hari kiamat. Dan aku pun mengetahui 'ilmu manaya' (tentang kematian seseorang), 'ilmu balaya' (tentang terjadinya bencana) dan 'Fashlul khithab' (tentang mengadili dan memberikan keputusan)."[2]
Meski begitu, ilmu Ahlulbait as tidak terbatas hanya pada apa yang mereka dengar dari Rasulullah saw, baik secara langsung ataupun melalui perantara. Mereka juga memiliki potensi untuk mendapatkan ilmu dari Allah SWT dengan cara-cara lainnya, bukan hanya dengan cara-cara yang biasa dan wajar. Cara lain itu ialah ilham atau tahdist,[3] sebagaimana ilham yang diterima oleh Hidir as dan Dzul Qarnain as,[4] juga Siti Maryam as dan ibu Nabi Musa as.[5] Bahkan terkadang Al-Qur'an menggunakan istilah wahyu untuk sebagian ilham tersebut, akan tetapi maksudnya tentu bukanlah wahyu kenabian.
Dengan cara inilah sebagian para imam as telah mencapai kedudukan imamah sejak masa kecil. Oleh karena itu, mereka dapat mengetahui berbagai masalah, tanpa proses belajar dan bimbingan dari orang lain. Kenyataan ini dapat kita temukan dan kita buktikan di dalam riwayat-riwayat yang tidak sedikit jumlahnya, yang datang dari para imam suci itu sendiri. Dengan mengkaji riwayat-riwayat tersebut, akan dapat dibuktikan kemaksuman mereka.
Sebelum menunjukkan riwayat-riwayat tersebut, kami akan memberikan isyarat dari ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan seseorang atau beberapa orang yang memiliki "Ilmu Kitab" (Man 'indahu ilmul kitab). Allah SWT berfirman, "Katakanlah wahai Muhammad, cukuplah hanya Allah dan seseorang yang memiliki "ilmu kitab" sebagai saksi antaraku dan antara kalian."
Pertama, ayat tersebut menjelaskan bahwa Rasul saw berada dalam hak dan kebenaran melalui kesaksian Allah SWT dan seorang imam maksum, yaitu Ali bin Abi Thalib as.
Kedua, menjelaskan bahwa kesaksian seseorang yang digandengkan dengan kesaksian Allah SWT, ditambah pula dengan ilmu kitab yang dimilikinya, tidak diragukan lagi bahwa orang tersebut (Ali as) telah mencapai derajat tinggi di sisi Allah SWT.
Dalam ayat lainnya, telah disinggung pula bahwa Imam Ali as sebagai saksi yang mengiringi Rasul saw. Allah SWT berfirman, "Bukankah ia (Muhammad saw) berada dalam bayyinah dari sisi Tuhannya dan diiringi oleh seorang "Syahid" (saksi, yaitu Imam Ali as) dari kerabatnya." (QS. Hud: 17)
Kata "minhu" (darinya) dalam ayat ini menunjukkan bahwa saksi tersebut adalah dari keluarga dan Ahlulbait Nabi saw sendiri. Sehubungan dengan ini, telah dinukil riwayat yang jumlahnya tak terbilang, baik melalui jalur Syi'ah atau pun jalur Ahlusunah. Riwayat-riwayat tersebut menjelaskan bahwa saksi tersebut tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib as.
Adapun riwayat-riwayat yang dapat kami nukilkan di sini sebagai bukti ketinggian ilmu Imam Maksum as adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi'i dari Abdullah bin 'Atha' bahwa ia pernah berkata, "Ketika aku sedang duduk di sisi Abu Ja'far (Imam Baqir as), lewat di hadapan kami Ibnu Abdillah bin Salam (Abdullah adalah seorang ulama Ahli Kitab yang telah masuk Islam pada masa hayat Rasulullah saw), aku berkata, "Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu, inikah dia putra seseorang yang memiliki ilmu kitab?"
Imam Al-Baqir as menjawab, "Bukan, akan tetapi (yang memiliki ilmu kitab) adalah Ali bin Abi Thalib as yang telah Allah turunkan ayat-ayat Al-Qur'an berkenaan dengan ketinggian derajatnya, yaitu ayat: "Wa man 'indahuu ilmu al-kitab" dan ayat: "afaman kaana 'alaa bayyinatin min rabbihii wa yatluuhu syaahidun minhu" dan ayat: "Innamaa waliyyukumullahu wa Rasuluhu walladziina aamanuu …."
Ayat yang terakhir tadi artinya, "Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah, Rasul-Nya (Muhammad Saw) dan orang-orang yang betul-betul beriman (Imam Ali As dan 11 orang putra keturunannya) ...."
Kedua mazhab Ahlusunah dan Syi'ah telah menukil beberapa riwayat, bahwa yang dimaksudkan Asy-Syahid dalam surat Hud itu ialah Ali bin Abi Thalib as Dan kenyataannya memang, apabila kita mengamati dengan teliti kata "minhu" dalam ayat tersebut, jelas bahwa yang dimak-sudkan dari kata "minhu" (darinya) itu tidak lain ialah Imam Ali bin Abi Thalib as.
Adapun masalah Ilmu kitab, kita akan dapat mengetahui betapa pentingnya hal tersebut ketika kita mengkaji kisah Nabi Sulaiman as dan kehadiran istana Ratu Balqis di sisinya. Al-Qur'an telah menukil kisah tersebut.
"Dan berkata orang yang memiliki ilmu dari al-kitab, 'Akulah yang akan menghadirkan singgana Balkis itu ke hadapanmu sebelum matamu berkedip." (QS. An-Naml: 40)
Dari penjelasan ayat tersebut, dapatlah kita pahami bahwa mengetahui sebagian saja dari ilmu kitab mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat dan luar biasa. Washi atau khalifah Nabi Sulaiman as yang bernama Asif bin Barkhiya itu hanya memiliki ilmun nimal kitab, yakni sebagian dari ilmu kitab saja, sehingga denganya ia mampu memindahkan istana Ratu Balqis hanya dengan sekejap mata, bahkan lebih cepat dari itu. Sementara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as memiliki ilmu kitab, yakni seluruh ilmu kitab. Sungguh kita tidak akan dapat membayangkan kehebatan, ketinggian dan kemuliaan ilmu beliau.
Dalam sebuah riwayat, Sudair berkata, "Aku mengunjungi rumah beliau (Abu Abdillah Ja'far Ash-Shadiq as) bersama Abu Bashir dan Maisar. Kami berkata kepada beliau, 'Diri kami menjadi tebusanmu wahai Imam, kami telah mendengar di majlis tadi ucapan Anda tentang itu (bahwasanya tidak ada yang mengetahui hal-hal yang gaib selain Allah SWT sekaitan dengan budak perempuan engkau yang telah kabur) sedang kami tahu bahwa engkau memiliki ilmu yang sangat banyak dan kami tidak menisbahkan ilmu gaib kepada engkau.'
Sudair berkata, "Kemudian Imam Ja'far as berkata, 'Wahai Sudair, bukankah kamu membaca Al-Qur'an?"
Aku menjawab, "Benar wahai Imam."
Imam as berkata, 'Apakah dari yang kamu baca itu kamu mendapati ayat yang berbunyi, ‘Orang yang memiliki sebagian ilmu kitab itu’, berkata, 'Aku akan mendatangkannya kepadamu sebelum matamu berkedip.'
Sudair berkata, ‘Diriku ini tebusanmu, sungguh aku telah membacanya.'
Imam as berkata, ‘Apakah kamu tahu siapa orang itu? Apakah kamu tahu bahwa ia hanya memiliki sebagian saja dari ilmu kitab?’
Sudair berkata, ‘Beritahukan aku tentang hal itu, wahai Imam!’
Imam as berkata, "Sebagian ilmu yang ia miliki itu hanyalah setetes air lautan saja."
Kemudian Imam Ja'far Ash-Shadiq as melanjutkan sabdanya, "Wahai Sudair, apakah engkau menemukan dari apa yang telah engkau baca itu firman Allah, "Qul kafaa billahi syahiidan baynii wabaynakum waman 'indahuu ilmul kitâb?’
Aku menjawab, "Ya betul, aku telah membacanya."
Lalu beliau berkata lagi, "Apakah orang yang memahami ilmu kitab seluruhnya itu lebih pandai ataukah orang yang hanya memahami sebagiannya saja?"
Aku berkata, ‘Tentu orang yang memahami seluruh ilmu kitab itulah yang lebih pandai.’
Sudair melanjutkan kisahnya, "Kemudian beliau memberikan isyarat dengan tangannya ke dadanya seraya berkata, ‘Demi Allah, seluruh ilmu kitab itu ada pada kami, demi Allah, seluruh ilmu kitab itu ada pada kami.’
Berikut ini kami nukilkan beberapa riwayat lainnya yang berhubungan dengan ilmu Ahlulbait Nabi saw. Imam Ali Ar-Ridha as bersabda dalam salah satu hadisnya yang panjang, “… dan sesungguhnya seorang hamba, jika Allah berkehendak memilihnya untuk mengatasi berbagai urusannya, Dia melapangkan hatinya untuk tugas tersebut, menganugrahkan sumber-sumber hikmah ke dalam hatinya, dan mencurahkan ilmu melalui ilham. Maka setelah itu, hamba tersebut tidak akan merasa lelah untuk menjawab berbagai persoalan, tidak akan merasa bingung dari kebenaran, ia akan selalu ditopang dengan kemaksuman, selalu benar dan diberi taufik, ia senantiasa aman dari segala kesalahan, kekeliruan dan ketergelinciran. Allah mengkhususkan anugerah-Nya itu kepadanya agar ia menjadi hujjah atas hamba-hamba-Nya, dan menjadi saksi bagi segenap makhluk-Nya. Itulah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Maka apakah mereka itu (orang-orang yang berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah ketika Rasulullah saw wafat) mengutamakan hamba yang seperti ini kemudian mereka memilihnya? Ataukah orang-orang yang mereka pilih itu memiliki sifat-sifat semacam ini sehingga mereka mengutamakannya?’”[6]
Hasan bin Yahya Al-Madaini meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Abdillah Ja'far as, dia berkata, "Aku bertanya kepada Abu Abdillah as, 'Wahai Imam, bagaimana (dan dengan ilmu apa) Imam menjawab tatkala ditanya?'
Imam as berkata, ‘Dengan ilham dan sama' ( mendengar dari malaikat), atau mungkin pula dengan kedua-duanya.[7]
Di dalam riwayat lainnya, Imam Ash-Shadiq as bersabda, "Apabila seorang Imam itu tidak mengetahui apa yang benar dan apa yang akan terjadi, maka ia bukanlah Hujjah Allah bagi seluruh makhluk-Nya."
Di dalam beberapa riwayat, Imam Ja'far Ash-Shadiq as bersabda, "Sesungguhnya seorang imam maksum, jika ia berkehendak mengetahui sesuatu, Allah akan memberitahunya."
Dan dalam beberapa riwayat lainnya, beliau ditanya tentang maksud ayat, "Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu "ruh" dari "amr" Kami."

Tidak ada komentar: