Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

10 November 2010

KENABIAN XI (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 
PELAJARAN 35
Akhir Kenabian
Berangkat dari keabadian Islam, tidak ada lagi kemungkinan diutusnya nabi lain yang akan menghapus syariat Islam. Akan tetapi, ada sebuah kemungkinan diutusnya seorang nabi untuk melakukan dakwah dan penyebaran Islam, sebagaimana pada para nabi terdahulu, baik mereka hidup sezaman dengan pemegang syariat seperti: Nabi Luth as yang hidup sezaman dengan Nabi Ibrahim as dan mengikuti syariatnya, atau para nabi yang diutus setelah nabi pemegang syariat, akan tetapi mereka mengikutinya, seperti kebanyakan nabi-nabi Bani Israil.
Untuk itu, kita harus membahas akhir dan ditutupnya kenabian oleh Nabi Muhammad saw secara khusus, sehingga tidak ada lagi kemungkinan diutusnya nabi selain beliau.
Dalil Al-Qur'an atas Akhir Kenabian
Salah satu doktrin pasti Islam ialah berakhirnya mata rantai kenabian dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, dan tidak akan diutus lagi nabi setelah beliau. Bahkan non-muslim pun mengetahui bahwa kenyataan ini merupakan bagian akidah Islam yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Karenanya, masalah ini sama dengan masalah-masalah pasti agama lainnya yang tidak membutuhkan dalil. Meski demikian, kita dapat mengambil kesimpulan dari Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang mutawatir. Allah SWT berfirman, "Muhammad bukanlah ayah seseorang dari laki-laki kalian, ia hanyalah rasul Allah dan penutup para nabi." (QS. Al-Ahzab: 40)
Ayat ini menerangkan dengan jelas bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup seluruh nabi. Sebagian musuh-musuh Islam melontarkan dua kritik sehubungan dengan ayat tersebut:
Pertama, bahwa kata al-khatam mengandung arti selain makna penutup, yaitu khatamul yad, artinya cincin hiasan di jari tangan. Jadi, maksud dari khatam dalam ayat ini ialah penghias, yakni bahwa Nabi Muhammad saw itu adalah penghias para nabi sebelumnya, bukan sebagai penutup.
Kedua, kalaupun al-khatam diartikan dengan arti konvensionalnya (yakni penutup), berarti mata rantai kenabian ditutup oleh Nabi Muhammad saw, tetapi tidak menunjukkan diakhirinya mata rantai kerasulan para rasul oleh beliau.
Terhadap kritik pertama perlu ditegaskan bahwa makna al-khatam adalah sesuatu yang digunakan untuk mengakhiri sesuatu lainnya. Maka itu, cincin pun dinamakan sebagai al-khatam, karena ia digunakan untuk mengakhiri surat-surat atau yang semacamnya. Yakni, al-khatam bisa berarti tanda tangan atau stempel, maka Nabi Muhammad saw adalah stempel atau pemungkas para nabi sebelumnya.


Jawaban atas kritik kedua ialah bahwa setiap nabi itu memiliki kedudukan sebagai rasul di samping kedudukan mereka sebagai nabi. Dan dengan berakhirnya mata rantai para nabi, berakhir pula mata rantai kerasulan mereka. Sebagaimana telah disinggung pada pelajaran 29, bahwa meskipun pengertian an-nabi tidak lebih umum (luas) dari pengertian ar-rasul, akan tetapi dari sisi wujud di luar, yang pertama lebih umum daripada yang kedua.
Dalil Riwayat atas Diakhirinya Kenabian
Terdapat ratusan riwayat yang menegaskan diakhirinya kenabian oleh nabi Muhammad saw. Di antaranya adalah hadis Al-Manzilah.[1] Hadis ini diriwayatkan oleh Syi'ah mau-pun Ahli Sunnah dari Rasul saw secara mutawatir, sehingga tidak ada keraguan sedikit pun bahwa hadits-hadits tersebut merupakan sabda beliau. Yaitu ketika beliau keluar menuju perang Tabuk dan meninggalkan Imam Ali as untuk menggantikan beliau di kota Madinah. Ketika itu, Imam Ali as menangis. Kemudian Rasul saw berkata kepadanya, "Wahai Ali, tidakkah engkau senang bahwa kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku."
Dalam riwayat yang lain Nabi saw bersabda, "Wahai manusia, ketahuilah, tidak ada nabi lagi setelahku dan tidak ada umat lagi setelah kalian."[2]
Di dalam hadis yang lainnya lagi Nabi saw bersabda, "Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi lagi setelahku dan tidak ada sunnah lagi setelah sunnahku."[3]
Kandungan hadist-hadis semacam ini pun banyak dinukil di dalam khutbah-khutbah Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah,[4] juga di dalam berbagai riwayat, doa-doa dan ziarah-ziarah para Imam suci as yang tidak dapat kami sampaikan pada tempat yang terbatas ini.
Falsafah Diakhirinya Kenabian
Telah kami singgung pada pelajaran 29 bahwa hikmah dan falsafah banyaknya para nabi dan diutusnya mereka secara bertahap adalah bahwa dari satu sisi, tidak mungkin bagi satu orang untuk menyampaikan risalah Ilahi dan meyebarkannya—pada masa-masa dahulu—ke seluruh penjuru dan ke segenap bangsa.
Dari sisi lain, semakin luas dan rumitnya komunikasi dan terjadinya berbagai fenomena sosial yang baru menuntut undang-undang yang baru pula, atau menuntut perubahan undang-undang yang lama. Sebagaimana perubahan dan penyelewengan akibat campur tangan individu atau kelompok orang-orang yang bodoh menuntut perbaikan ajaran-ajaran Ilahi melalui nabi lainnya.
Namun begitu, dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan seorang nabi sehingga ia dapat menyampaikan risalah Ilahi ke seluruh umat manusia di muka bumi ini dengan bantuan para pengikut dan khalifahnya, dan syariat, hukum-hukum dan ajaran-ajarannya dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat pada masa itu dan untuk masa yang akan datang, serta meliputi seluruh tuntutan yang penting sesuai dengan konteks kontemporer, serta terjaminnya keutuhan dan keterjagaan risalah dari berbagai perubahan dan penyimpangan, maka tidak perlu lagi diutusnya nabi yang lain.
Akan tetapi, pengetahuan manusia biasa tidak mungkin dapat menentukan situasi, kondisi dan faktor-faktor semacam itu. Adapun Allah SWT dengan ilmu-Nya yang tak terbatas dan meliputi segala sesuatu, tentu dapat menentukan kapan terealisasinya kondisi tersebut. Oleh karena itu, hanya Allahlah yang dapat mengabarkan diakhirinya kenabian, sebagaimana hal itu Dia lakukan di dalam kitab samawi-Nya yang terakhir.
Hanya saja diakhirinya kenabian tidak berarti terputusnya hubungan hidayah—sama sekali—dari Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya di bumi. Sesungguhnya Allah SWT melimpahkan ilmu gaib-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang saleh tatkala maslahat-Nya menuntut demikian, kendati tidak melalui jalur wahyu kenabian.
Sebagaimana diyakini oleh Syi'ah, bahwa ilmu-ilmu gaib itu telah Allah SWT anugerahkan kepada para imam maksum as poin penting ini akan kita bahas pada pelajaran-pelajaran mengenai "Imamah dan Kepemimpinan" yang akan datang selekas ini, Insya Allah.
Menjawab Beberapa Keraguan
Dari uraian-uraian di atas kita dapat menarik beberapa kesimpulan mengenai falsafah dan hikmah diakhirinya kenabian, yaitu:
Pertama, dengan bantuan para khalifah dan pengikut-pengikut setia, Nabi Muhammad saw dapat menyampaikan risalahnya ke seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Kedua, kitab samawi Nabi Muhammad saw senantiasa terjamin utuh dari penyelewengan dan perubahan.
Ketiga, syariat Islam dapat memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia hingga akhir masa.
Berkenaan dengan kesimpulan ketiga, terdapat tanggapan kritis, yaitu bahwa pada masa-masa dahulu tampak kesulitan-kesulitan dalam interaksi dan komunikasi sosial yang menuntut dibuatnya hukum-hukum yang baru atau diubahnya hukum-hukum yang lama, sehingga diutuslah nabi yang lain. Kenyataan ini pun tetap berlaku sekalipun Nabi Muhammad saw itu telah diutus, sebab telah terjadi berbagai perubahan yang drastis dan cepat yang membuat hubungan sosial menjadi semakin rumit.
Lalu, bagaimana mungkin kondisi semacam ini—yakni setelah wafat Nabi saw—tidak menuntut diturunkannya syariat yang baru?
Jawab: sebagaimana telah kami singgung pada pelajaran yang lalu, bahwa manusia biasa tidak dapat menentukan berbagai perubahan yang menuntut diubahnya syariat Islam yang prinsipal, sebab kita tidak mengetahui dasar-dasar hukum, syariat serta hikmah-hikmahnya. Bahkan—melalui argumen-argumen atas langgengnya Islam dan ditutupnya kenabian oleh Nabi Muhammad saw—kita dapat menyingkap tidak perlunya mengubah syariat dan hukum-hukum Islam secara mendasar.
Memang benar, kita tidak dapat mengingkari adanya fenomena-fenomena sosial yang baru yang menuntut hukum-hukum yang baru pula. Akan tetapi, bukankah di dalam syariat Islam telah tersedia dasar-dasar dan kaidah-kaidah umum, sehingga—berbekal pada dasar-dasar tersebut—dapat dirumuskan hukum-hukum yang bersifat juz'i (parsial) oleh pihak-pihak yang berwenang untuk kemudian diterapkan. Penjelasan terinci poin terakhir ini secara khusus dapat dijumpai di dalam Fiqih Islam, yaitu pada tema "Kewenangan-kewenangan Pemerintahan Islam (Imam Maksum as dan Wali Faqih).[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Setelah keabadian Islam dapat dibuktikan, apakah urgensi isu diakhirinya kenabian?
2. Bagaimana kita dapat membuktikan diakhirinya kenabian dengan dalil-dallil Qur'an?
3. Jelaskan keraguan-keraguan yang dilontarkan sekitar dalil tersebut beserta jawabannya!
4. Sebutkan tiga riwayat yang menjelaskan diakhirinya kenabian!
5. Mengapa mata rantai kenabian itu ditutup dengan datangnya Nabi Muhammad saw?
6. Apakah berakhirnya kenabian berarti ditutupnya jalan untuk memperoleh pengetahuan Ilahi? Mengapa?
7. Apakah perubahan-perubahan sosial pascahidup Nabi saw. menuntut dibuatnya syariat yang baru? Mengapa?
8. Apakah cara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kepada hukum-hukum yang dapat mengatasi berbagai kasus kontemporer?

[1] Biharul Anwar, jilid 37/254-289, Sahih al-Bukhari, jilid 3/58, Sahih Muslim, jilid 2/323, Sunan Ibnu Majah, jilid 1/28, Mustadrakul Hakim, jilid 3/109, dan Musnad Ibnu Hambal, jilid 1/28, 331 dan jilid 2/ 369, 437.
[2] Lihat Wasail asy-Syi'ah, jilid 1/15 dan Al-Khishal, jilid 1/ 322dan  jilid 2/487.
[3] Lihat Wasail asy-Syi'ah, jilid 18/555, Man La Yahdlarahul Haqih, jilid 4/163, Kasyful Ghumah, jilid1/21, dan Biharul Anwar , jilid 22/531.
[4] Lihat Nahjul Balaghah , khutbah no. 1, 69, 83, 87, 129, 168, 193, dan 230.

PELAJARAN 33

Keutuhan Al-Qur'an dari Perubahan

Mukaddimah
Argumentasi atas pentingnya kenabian—sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan yang telah lalu—menuntut sampainya risalah Ilahi kepada umat manusia dalam bentuknya yang tetap utuh; tidak mengalami distorsi (tahrif), sehingga mereka dapat memanfaatkannya demi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Maka itu, tidak perlu lagi membahas terjaganya Al-Qur'an sejak diturunkan hingga disampaikan kepada umat manusia, sebagimana kitab-kitab samawi lainnya. Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui, semua kitab samawi mengalami perubahan setelah sampai di tangan manusia, atau ditinggalkan setelah disampaikan lalu hilang. Kita saksikan pada zaman sekarang ini, bahwa kitab Nabi Nuh as dan Ibrahim as telah hilang sama sekali. Sementara kitab Nabi Musa as dan Nabi Isa as yang asli sudah tidak ditemukan lagi. Kenyataan seperti ini menimbulkan pertanyaan berikut ini: "Melalui jalan apakah kita dapat mengetahui bahwa kitab yang ada pada kita sekarang ini, yang bernama Al-Qur'an, adalah satu-satunya kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang tidak tersentuh oleh perubahan dan penyimpangan, dan tidak mengalami penambahan ataupun pengurangan?
Tentunya, setiap orang yang tahu—walaupun sedikit—akan sejarah Islam, serta kepedulian Rasul saw dan para khalifahnya yang maksum terhadap penulisan dan pencatatan ayat-ayat Al-Qur'an, dan kepedulian kaum muslimin dalam menghafal ayat-ayat Al-Qur'an—sebagaimana dinukil bahwa dalam sebuah peperangan telah terbunuh sebanyak 70 orang laki-laki penghafal Al-Qur'an—dan juga setiap orang yang tahu bahwa Al-Qur'an dinukil secara mutawatir selama 14 abad, dan tahu akan kepedulian mereka dalam menghitung ayat-ayat, kalimat-kalimat dan huruf-hurufnya, tentu tidak akan terlintas di benaknya kemungkinan terjadinya perubahan dan penyelewengan di dalam Al-Qur'an.
Akan tetapi, terlepas dari bukti-bukti sejarah yang meyakinkan tersebut, kita dapat membuktikan keutuhan Al-Qur'an dari perubahan dengan dua dalil, yaitu dalil akal dan dalil wahyu. Dalil pertama adalah untuk membuktikan tidak adanya tambahan pada Al-Qur'an. Setelah itu, kita akan membuktikan tidak adanya kekurangan padanya berdasarkan ayat-ayatnya sendiri. Oleh karena itu, kami akan membahas masalah keutuhan Al-Qur'an dari perubahan melalui dua sisi, penambahan dan pengurangan, secara terpisah.
Al-Qur'an Tidak Mengalami Penambahan
Seluruh kaum muslimin percaya bahwa Al-Qur'an tidak mengalami penambahan, bahkan hal ini adalah kesepakatan antara orang-orang yang telah mengetahuinya di seluruh dunia, karena tidak ada satu faktor pun yang memungkinkan terjadinya tambahan pada kitab tersebut, juga tidak ada bukti sama sekali atas kemungkinan seperti itu. Kendati demikian, kita dapat menggugurkan asumsi adanya penambahan melalui dalil akal, sebagaimana berikut ini:
Apabila disumsikan adanya tambahan satu poin utuh ke dalam Al-Qur'an, ini berarti adanya kemungkinan untuk diciptakan yang serupa dengannya. Asumsi semacam ini tidaklah sesuai dengan kemukjizatan Al-Qur'an, dan dengan ketidakmampuan manusia untuk menciptakan padanannya.
Bahkan, jika kita berasumsi bahwa Al-Qur'an mengalami tambahan pada satu kalimat atau satu ayatnya yang pendek seperti kata mudhammatan, hal itu merusak kepaduan bahasanya, keluar dari bentuk aslinya dan dari kemukjizatannya. Jika demikian halnya, maka Al-Qur'an akan dapat ditiru dan dibuatkan padanannya, sebab tata ungkap Al-Qur'an dan susunan bahasa yang mengandung mukjizat amat terkait pula dengan pemilihan kata dan kalimat, sehingga kemukjizatannya hilang dengan asumsi perubahan, walaupun sedikit.
Jadi, dalil atas kemukjizatan Al-Qur'an itu sendiri merupakan dalil atas keutuhan Al-Qur'an dari penambahan. Begitu pula dengan dalil tersebut, akan ternafikan kekurangan pada kata-kata dan kalimat-kalimat, hal yang mengeluarkan ayat-ayat Al-Qur'an dari kemukjizatannya. Adapun tidak hilangnya satu surat atau satu poin penuh yang tidak membuat seluruh ayat-ayatnya itu keluar dari kemukjizatannya, maka hal ini memerlukan argumen yang lain.
Al-Qur'an Tidak Mengalami Pengurangan
Ulama Islam dari Ahli Sunnah maupun Syi'ah telah menegaskan bahwa Al-Qur'an tidak mengalami pengurangan ataupun penambahan. Untuk membuktikan kebenaran tersebut mereka mengajukan berbagai dalil. Sayangnya, lantaran penukilan sebagian riwayat palsu ke dalam kitab-kitab hadis kedua madzab itu, penafsiran yang keliru dan pemahaman yang salah terhadap sebagian riwayat yang muktabar, sebagian mereka menganggap atau malah meyakini bahwa sebagian ayat Al-Qur'an itu telah raib. Namun, selain adanya berbagai bukti sejarah yang akurat atas keutuhan Al-Qur'an dari berbagai perubahan, penambahan atau pengurangan, juga adanya dalil mukjizat yang menafikan raibnya sebagian ayat-ayat yang dapat merusak sistem bahasa Al-Qur'an, kita pun dapat membuktikan keutuhannya dari keraiban satu ayat atau satu surat berdasarkan Al-Qur'an sendiri.
Setelah dapat dibuktikan bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an yang ada sekarang ini adalah Kalamullah yang masih otentik, maka seluruh kandungan ayat-ayatnya—yang merupakan dalil wahyu yang paling kuat—pun menjadi bukti. Salah satu kesimpulan yang dapat diambil dari ayat-ayat Al-Qur'an ialah bahwa Allah SWT telah berjanji untuk menjaga kitab suci ini dari berbagai perubahan. Tidak seperti dengan kitab-kitab samawi yang lain; yang penjagaannya dibebankan ke atas umat manusia itu sendiri. Allah berfirman, "Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikr, dan sung-guh Kami pula yang akan menjaganya." (QS. Al-Hijr: 9)
Ayat ini terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama, "Sungguh Kami telah menurunkan Adz-Dzikra", menekankan bahwa Al-Qur'an ini diturunkan oleh Allah SWT, dan di dalam penurunannya tidak mengalami perubahan apapun. Dan, kalimat kedua, "sungguh Kami pula yang akan menjaganya" kata "sungguh" (inna) diulang kembali, dan bentuk kalimatnya (haiat)—yang menunjukkan kontinuitas (istimrar)—menekankan bahwa Allah SWT benar-benar berjanji untuk menjaga Al-Qur'an dari berbagai distorsi (tahrif) sepanjang masa.
Namun begitu, perlu diperhatikan bahwa meskipun ayat ini menunjukkan tidak adanya penambahan pada Al-Qur'an, namun menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk menafikan adanya tambahan adalah istidlal dauri (pembuktian berputar-putar tanpa henti), karena bisa juga ayat ini diasumsikan sebagai sebagai tambahan pada Al-Qur'an, maka itu menafikan asumsi tersebut berdasarkan ayat ini tidaklah benar. Karenanya, kita dapat menggugurkan asumsi penambahan itu melalui dalil yang membuktikan kemukjizatan Al-Qur'an. Setelah itu barulah kita dapat menggunakan ayat ini untuk membuktikan keutuhan Al-Qur'an dari hilangnya satu ayat atau satu surat penuh (dengan bentuk yang tidak mengakibatkan rusaknya kemukjizatan struktur bahasanya). Jadi, kita dapat memastikan keutuhan Al-Qur'an dari perubahan; penambahan maupun pengurangan, berdasarkan penjelasan komplikatif dari dalil akal dan dalil wahyu di atas ini.
Akhirnya, kami perlu menekankan bahwa terjaganya Al-Qur'an dari berbagai perubahan tidak berarti bahwa setiap kitab Al-Qur'an yang beredar sekarang ini dianggap terjaga pula sepenuhnya dari kesalahan tulis dan baca, tidak juga berarti bahwa Al-Qur'an tidak mengalami kesalahan penafsiran atau penyelwengan makna, atau ayat-ayat dan surat-suratnya telah disusun sesuai dengan runutan penurunannya. Jadi, maksud dari keterjagaan Al-Qur'an dari berbagai perubahan ialah bahwa kitab suci itu tetap utuh di tengah umat manusia sehingga setiap pencari kebenaran akan dapat menjumpai seluruh ayat-ayatnya seperti saat ia diturunkan, tanpa adanya penambahan atau pengurangan.
Dengan demikian, terjadinya kekurangan atau kesalahan cetak pada sebagian kitab Al-Qur'an, atau terdapat perbedaan cara baca, perbedaan urutan ayat-ayat dan surat-suratnya dengan urutan penurunannya, atau terjadi penyelewengan makna dan penafsiran yang beraneka-ragam, ini semua tidak menafikan terjaganya Al-Qur'an dari penyimpangan dan perubahan yang telah kami jelaskan.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Mengapa keutuhan Al-Qur'an dari berbagai perubahan itu perlu dibahas?
2. Apakah bukti-bukti sejarah atas terjaganya Al-Qur'an dari perubahan?
3. Apakah argumentasi atas keutuhan Al-Qur'an?
4.Apakah dalil atas tiadanya penambahan pada Al-Qur'an?
5.Apakah dalil atas tiadanya pengurangan pada Al-Qur'an?
6. Apakah dalil itu juga dapat membuktikan ketiadaan penambahan pada Al-Qur'an? Mengapa?
7. Jelaskan statemen berikut ini: "Adanya kekurangan dan kesalahan di sebagian Al-Qur'an, terjadinya perbedaan qirâat (bacaan), atau perbedaan urutan ayat-ayat dan surat-suratnya dengan urutan penurunannya, atau adanya penafsiran yang menyimpang dan maknanya yang diselewengkan, ini semua tidak menafikan terjaganya Al-Qur'an dari perubahan"!

PELAJARAN 34

Universalitas dan Keabadian Islam

Telah kita ketahui dari pelajaran yang lalu bahwa mengimani seluruh nabi dan membenarkan semua risalah mereka adalah perkara yang penting. Mengingkari salah seorang dari mereka, atau salah satu hukum dan syariat mereka berarti mengingkari seluruh syariat Ilahi, dan hal ini sama dengan kekufuran Iblis. Karenanya, setelah terbukti risalah nabi Islam saw, hal penting lainnya ialah mengimani risalah beliau tersebut dan segenap ayat yang turun kepadanya serta seluruh hukum dan ajaran yang datang dari Allah SWT. Akan tetapi, beriman kepada setiap nabi dan kitabnya tidak berarti kita pun harus menjalankan syariatnya.
Yang perlu diperhatikan ialah bahwa seluruh kaum muslimin diwajibkan beriman kepada seluruh nabi as dan semua kitab samawi mereka, kendati tidak mungkin dan bahkan tidak boleh mengamalkan syariat-syariat yang telah lalu tersebut. Sebagaimana pada pelajaran yang lalu, kewajiban setiap umat ialah mengamalkan syariat dan ajaran nabi yang diutus kepada mereka. Maka itu, seluruh umat manusia diwajibkan untuk mengamalkan syariat Islam itu apabila telah terbukti bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw itu tidak hanya untuk satu umat saja (bangsa Arab), juga tidak ada nabi lain yang akan diutus setelahnya untuk menghapus risalahnya itu.
Dengan kata lain, Islam adalah agama yang universal dan abadi. Untuk itu, poin yang perlu kita bahas berikutnya adalah: apakah risalah Nabi Muhammad saw itu bersifat universal dan abadi? Ataukah khusus untuk satu kaum atau pada zaman tertentu saja?
Yang jelas, masalah ini tidak dapat dibahas hanya dengan jalur akal, tetapi harus mengikuti metode kajian di dalam ilmu-ilmu naqli dan sejarah. Artinya, kita harus merujuk referensi-referensi yang valid. Tentu, bagi orang yang telah membuktikan dan meyakini kebenaran Al-Qur'an, kenabian Muhammad saw dan kemaksuman beliau, tidak ada sumber dan referensi yang lebih valid selain Al-Qur'an dan Sunnah.
Universalitas Islam
Universalitas Islam dan ketakterbatasannya untuk satu kaum atau kawasan tertentu, adalah salah satu kepercayaan yang dharuri (jelas dan pasti) dalam agama Ilahi ini. Bahkan orang-orang nonmuslim pun mengetahui bahwa risalah Islam itu mendunia, tidak terbatas pada suatu daerah saja.
Di samping itu, banyak bukti-bukti sejarah yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw telah mengirimkan surat dakwahnya kepada penguasa-penguasa dunia pada saat itu, seperti Kaisar Romawi, Kisra Iran, raja-raja di Mesir, Syam (Suriah), Habasyah dan para pemimpin suku-suku Arab. Beliau juga mengutus duta-duta khusus kepada setiap penguasa itu untuk mengajak mereka kepada Islam, dan memberikan peringatan kepada mereka akan dampak buruk dari pengingkaran mereka terhadap agama suci ini.
Jika Islam bukan agama universal, dakwah seluas itu tidak akan dijalankan, dan setiap bangsa mempunyai alasan yang kuat tatkala mereka tidak memeluk Islam. Maka itu, tidak bisa dipisahkan antara iman pada kebenaran Islam dan keharusan beramal sesuai dengan syariatnya. Dan tidak ada pengecualian bagi siapa pun untuk konsisten pada agama Ilahi ini.
Dalil-dalil Al-Qur'an atas Universalitas Islam
Telah kami singgung pada pelajaran yang telah lalu, bahwa Al-Qur'an itu sendiri—yang telah dibuktikan validitasnya—merupakan dalil dan referensi yang paling akurat untuk membuktikan persoalan ini. Dan setiap orang yang secara global saja menelaah kitab suci Ilahi ini, akan mengetahui dengan jelas bahwa dakwah Al-Qur'an itu bersifat universal, tidak khusus untuk suatu kaum atau suatu bahasa saja.
Di antara dalil Al-Qur'an atas universalitas Islam ialah ayat-ayat yang berbicara kepada umat manusia dengan ungkapan "ya ayyuhannas" (wahai sekalian manusia!), atau "ya Bani Adam" (wahai anak-anak Adam). Dan Al-Qur'an memandang bahwa petunjuknya itu tertuju kepada seluruh umat manusia (an-nas) dan seluruh alam (al-'alamin). Bahkan serta menegaskan Al-Qur'an telah menekankan melalui satu ayatnya ihwal risalah Nabi Muhammad saw.sebagai misi dunia untuk segenap manusia yang mendengarnya.[1]
Dari sisi lain, dengan nada kecaman, Al-Qur'an berbicara kepada pengikut agama-agama yang lain dengan ungkapan ahlulkitab dan membuktikan kebenaran risalah Nabi saw atas mereka.[2] Al-Qur'an juga memandang bahwa tujuan penurunannya kepada Nabi saw adalah untuk mengangkat Islam dan mengunggulkannya di atas seluruh agama.[3] Dengan mempelajari ayat-ayat tersebut, tidak ada lagi keraguan akan universalitas dakwah Al-Qur'an dan Islam yang suci ini.
Keabadian Islam
Selain sebagai argumentasi atas universalitas Islam seperti ungkapan umum Bani Adam, an-nas, al-'alamin, dan ungkapan umum lainnya yang ditujukan kepada umat-umat selain bangsa Arab serta kepada pengikut agama lainnya seperti ungkapan "ya ahlal kitab, ayat-ayat itu juga—secara ithlaq zamani (kemutlakan waktu)—menafikan batasan masa tertentu, terutama pada ungkapan "liyudhhirahu 'aladdini kullih" (demi mengunggulkan Islam di atas segenap agama), sehingga tidak tersisa lagi keraguan akan hal ini. Kenyataan ini pun dapat disimak pada dua ayat 41 dan 42 dari surah Fushilat, "Dan Al-Qur'an itu sungguh kitab yang mulia, yang tak tersentuh kebatilan, dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Mahabijaksana dan Mahaagung."
Ayat ini menunjukkan bahwa kitab suci Al-Qur'an sama sekali tidak pernah mengalami kehilangan validitas dan akurasinya. Begitu pula dalil-dalil yang membuktikan diakhirinya kenabian oleh Nabi Muhammad saw—sebagaimana akan dibahas pada pelajaran berikutnya—menggugurkan seluruh dugaan tentang dihapusnya agama Ilahi ini melalui nabi atau syariat yang lain.
Sehubungan dengan keabadian Islam ini, terdapat riwayat yang banyak sekali, seperti "Halal Muhammad adalah halal sampai hari kiamat, dan haramnya adalah haram sampai hari kiamat."[4]
Di samping itu, kelanggengan Islam—sebagaimana keuniversalannya—termasuk daruriyat (doktrin yang jelas dan pasti) agama Ilahi ini, dan tidak perlu kepada dalil selain dalil-dalil yang membuktikan kebenaran Islam.
Menjawab beberapa Keraguan
Aneka ragam peraguan dari musuh-musuh Islam yang berusaha keras menentangnya dan mencegah penyebarannya, telah diupayakan untuk membuktikan bahwa Islam hanya diturunkan untuk bangsa Arab saja, dan risalahnya tidak meliputi segenap umat manusia. Dalam rangka melontarkan keraguan-keraguan tersebut, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw hanya diperintah oleh Allah untuk memberikan hidayah kepada keluarga, kerabat dan kabilahnya atau warga Mekkah dan sekitarnya saja.[5]
Misalnya, setelah menyinggung orang-orang Yahudi, Shabiin dan Nasrani, ayat 69 Al-Ma'idah menyatakan bahwa sumber kebahagiaan itu terletak pada iman dan amal saleh saja, tanpa menyinggung peran Islam dalam meraih kebahagiaan tersebut. Di samping itu, Fiqih Islam tidak mengakui ahlulkitab itu sama dengan kaum musyrikin. Bahkan, Fiqih Islam menganggap bahwa apabila ahlulkitab membayar jiz'yah (pajak) sebagai ganti dari khumus (khums) atau zakat yang diwajibkan atas kaum muslimin, mereka mendapatkan jaminan keamanan di dalam negara Islam dan dibolehkan mengamalkan syariat mereka. Ini adalah dalil atas kebenaran seluruh agama.
Menjawab keraguan ini kami katakan bahwa ayat-ayat yang berkenaan dengan keluarga Nabi saw atau penduduk Mekkah, hendak menjelaskan tahap-tahap dakwah, dimana dakwah beliau dimulai dari keluarga terdekat, lalu meningkat sampai ke seluruh warga Mekkah dan sekitarnya, kemudian meluas sampai ke seluruh manusia di muka bumi ini. Dan ayat-ayat ini tidak mempersempit (takhsis) makna ayat-ayat yang menunjukkan universalitas risalah Nabi Muhammad saw, karena—di samping bentuk ungkapan ayat-ayat tersebut (berkenaan dengan keluarga Nabi) menolak penyempitan atas makna ayat-ayat yang menunjukkan universalitas risalah Nabi saw—penyempitan ini justru melazimkan penyempitan yang lebih banyak, yang ganjil dan keliru menurut opini masyarakat luas (urful 'uqola').
Adapun ayat 69 Al-Ma'idah hendak menjelaskan kenyataan bahwa sekedar memeluk agama ini atau agama itu tidaklah cukup untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Akan tetapi, faktor utama kebahagiaan ialah iman yang hakiki dan melakukan tugas-tugas yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya. Sesuai dengan argumen-argumen yang menunjukkan atas universalitas dan keabadian Islam, tugas seluruh umat manusia setelah datangnya Nabi Muhammad saw adalah mengamalkan syariat dan hukum Islam.
Adapun keutamaan yang diberikan Islam kepada ahlulkitab di atas seluruh orang-orang kafir tidak berarti mereka dibolehkan untuk tidak memeluk Islam dan tidak melaksanakan hukum-hukumnya, akan tetapi keutamaan itu hanyalah belas-kasih duniawi (irfaq duniawi) Islam terhadap hak-hak mereka demi beberapa maslahat. Dan dalam pandangan Syi'ah, belas-kasih itu bersifat sementara, dan pada saat kehadiran Imam Mahdi afs nanti akan diputuskan hukum final mereka, dan sikap Islam terhadap mereka kelak sama dengan sikapnya terhadap orang-orang kafir. Kesimpulan ini dapat diambil dari firman Allah SWT: "liyudhhirahu 'Aladdini Kulih" (untuk mengunggulkan Islam di atas segenap agama).[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Dalam kondisi bagaimanakah seluruh umat manusia itu diwajibkan mengikuti syariat Islam?
2. Jelaskan dalil-dalil Al-Qur'an atas keuniversalan dan kelanggengan Islam!
3. terangkan dalil-dalil yang lain atas keuniversalan dan kelanggengan Islam!
4. Jelaskan statemen berikut ini: "Sesungguhnya ayat-ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk memberikan hidayah kepada keluarga dan kerabatnya yang paling dekat kemudian kepada penduduk Mekkah tidak menunjukkan dikhususkannya risalah tersebut hanya kepada mereka saja"!
5. Jelaskan bahwa ayat 69 Al-Ma'idah tidak menunjukkan diampuninya umat apapun meskipun tidak mengikuti Islam!
6. Jelaskan statemen berikut ini: bahwa diizinkannya Ahli Dzimmah (orang kafir yang mendapatkan perlindungan di dalam pemerintahan Islam) untuk mengamalkan syariat mereka tidak berarti bahwa mereka itu dibolehkan untuk tidak mengikuti syariat Islam"!

[1] Lihat surah Al-'An'am: 19.
[2] Lihat surah Ali 'Imran: 64, 70, 71, 98, 99, 110, dan Al-Ma'idah: 15, 19.
[3] Lihat At-Taubah: 33, Al-Fath: 28, dan Ash-Shaff: 9.
[4] Riwayat ini bisa Anda lihat pada Al-Kâfi, jilid 1/58 dan jilid 2/17, Biharul Anwar jilid 2/260 dan jilid 4/288, dan Wasaiul asy-Syi'ah, jilid18/124.
[5] Lihat surah Asy-Syu'ara: 7 dan 214, Al-An'am: 92, As-Sajadah: 3, Al-Qashahs: 46, Yasin: 5-6, dan Al-Ma'idah: 69.

Tidak ada komentar: