Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

10 November 2010

MA’AD/HARI KEBANGKITAN II (M. Taqi Mizbah Yazdi)

 

PELAJARAN 42

Kaitan antara Ma'ad dan Masalah Ruh

Standar Kesatuan pada Makhluk Hidup
Tubuh manusia itu tersusun dari sekelompok sel-sel sebagaimana pada seluruh hewan. Dan setiap sel senantiasa berubah dan berganti. Misalnya, jumlah sel itu tidak tetap sejak seseorang itu dilahirkan sampai akhir hidupnya. Kita tidak akan menemukan manusia yang unsur-unsur tubuhnya tidak mengalami perubahan sepanjang hidupnya, atau jumlah sel yang berada dalam tubuhnya itu tetap utuh.
Perubahan dan pergantian pada tubuh manusia, dan hewan pada umumnya, menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya standar untuk menilai kelompok yang berubah-ubah ini sebagai wujud yang satu (wahid)? Sebab, kita amati bahwa bagian-bagiannya itu dapat berubah-ubah dan berganti sepanjang hidupnya lebih dari satu kali.
Jawaban sederhana atas pertanyaan ini adalah bahwa standar kesatuan pada setiap mahluk hidup ialah adanya hubungan bagian-bagian itu dalam satu masa atau pada masa yang berbeda-beda. Walaupun sel-sel itu mengalami kematian secara berangsur lalu digantikan oleh sel-sel baru, akan tetapi mengingat adanya hubungan antara satu sel dengan sel lainnya, dapat dikatakan bahwa kelompok yang non-permanen itu sebenarnya realitas yang satu.
Jawaban ini tidaklah memuaskan, karena kalau kita berasumsi akan adanya satu bangunan yang tersusun dari sekelompok batu-batu, lalu batu-batu ini mengalami perubahan secara berangsur sehingga tidak tersisa lagi wujud batu-batu yang terdahulu lantaran posisinya digantikan oleh batu-batu yang baru, dalam asumsi ini kita sulit menganggap sekelompok batu yang baru ini adalah bangunan yang awal itu. Perumpamaan material ini dibawakan sebagai pendekatan dalam persoalan ini, khususnya bagi orang yang tidak mengetahui adanya perubahan dan pergantian pada bagian-bagian kelompok tersebut.


Jawaban itu dapat disempurnakan sebagai berikut: bahwa perubahan yang terjadi secara gradual itu tidaklah mengganggu kesatuan kelompok tersebut pada bentuknya yang baru, karena adanya faktor alami dan internal, sebagaimana hal ini dapat kita amati pada makhluk-makhluk hidup. Namun, tatkala batu-batu bangunan itu berubah dan berganti akibat faktor-faktor eksternal dan internal, kita tidak dapat menisbahkan kesatuan yang hakiki kepadanya sepanjang adanya bagian-bagian yang senantiasa berganti dan berubah pada mahluk-mahluk hidup karena faktor alami.
Jawaban ini didasari oleh pengakuan terhadap adanya satu faktor alami yang senantiasa utuh sepanjang fase-fase perubahan, dan ia pula yang menjaga keutuhan antarbagian-bagian yang membentuk tubuh. Dari sinilah timbul satu pertanyaan mengenai faktor itu sendiri: Apakah faktor itu? Apakah standar kesatuan pada dirinya?
Menurut sebuah teori populer filsafat, standar kesatuan pada setiap realitas adalah hakikat yang sederhana (tak tersusun) dan non-indrawi yang dinamakan dengan thabi’ah atau forma (shuroh), yang tidak mengalami perubahan meski maddah (materi)-nya berubah-ubah. Hakikat permanen ini dinamakan dengan ruh (nafs), khususnya pada makhluk hidup yang melakukan berbagai aktifitas hidup seperti: makan, tumbuh dan berkembang.
Para filsuf klasik menganggap bahwa ruh yang ada pada tumbuhan dan hewan itu bersifat materi (maddi). Adapun ruh yang ada pada manusia adalah non-materi (mujarrad). Namun, kebanyakan filsuf Islam, seperti Sadrul Muta’allihin Syirazi (Mulla Sadra) dan selainnya menganggap bahwa ruh hewan (nafs hayawani) itu juga memiliki sederajat kenonmaterian, dan bahwa ihwal merasa dan berkehendak itu merupakan kemestian dan ciri khas wujud nonmateri.
Sementara itu, kaum materialis yang membatasi wujud ini hanya pada materi dan sifat-sifat khasnya, mengingkari adanya ruh yang bersifat non-materi. Tipe pembaharu dari Materialisme, seperti Positivisme, mengingkari segala sesuatu yang tak dapat diindera. Mereka percaya bahwa sesuatu yang tidak dapat diindera itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Oleh karena itu, mereka tidak menerima keberadaan forma yang abstrak (non-materi) itu. Dengan demikian, mereka pada dasarnya tidak menawarkan solusi yang tuntas dalam menentukan standar kesatuan pada makhluk hidup.
Dengan kata lain, standar kesatuan pada tumbuhan adalah forma atau ruh tumbuh (nafs nabati). Maka itu, kehidupan tumbuhan tergantung pada keberadaan ruh tumbuh yang terdapat khusus pada materi-materi yang memiliki potensi. Ketika potensi itu sirna dari meteri-materi tersebut, ruh tumbuh itu pun menjadi sirna. Lalu, apabila kita mengasumsikan adanya potensi pada materi-materi tersebut untuk menerima kembali ruh tumbuh, maka ruh ini akan dicurahkan kepada mereka. Namun berdasarkan pandangan ini, tidak akan ada kesatuan hakiki antara tumbuhan yang lama dengan tumbuhan yang baru, walaupun terdapat kemiripan di antara keduanya itu. Yakni, bila dicermati secara teliti, kita tidak akan menganggap lagi bahwa tumbuhan yang baru ini adalah tumbuhan yang lama itu.
Adapun pada hewan dan manusia, mengingat ruh mereka adalah non-materi, ruh tersebut bisa tetap utuh meskipun tubuh mereka telah hancur lebur. Dan ketika ruh itu berhubungan kembali dengan tubuh, ia akan menjaga kesatuan seseorang, sebagaimana hal itu demikian sebelum kematiannya, yaitu bahwa kesatuan ruh merupakan standar kesatuan seseorang. Adapun pergantian materi tubuh tidak menyebabkan keberbilangan (katsroh) dirinya.
Lain halnya orang itu berkeyakinan bahwa wujud hewan dan manusia itu terbatas pada tubuh yang materi dengan sifat-sifat khasnya dan menganggap bahwa ruh itu merupakan ciri khas tubuh, bahkan sekalipun ia menganggap bahwa ruh itu merupakan bentuk yang tidak bisa diindera akan tetapi ia adalah materi yang akan sirna ketika anggota tubuh itu hancur luluh, orang seperti ini tidak akan mempunyai pengertian yang tepat tentang Ma’ad. Karena jika diasumsikan bahwa tubuh itu memperoleh potensi barunya untuk hidup, akan tampak adanya ciri-ciri khas dan sifat-sifat yang baru pula. Atas dasar ini, ia tidak mungkin menjadi standar yang hakiki bagi kesatuannya, karena ciri-ciri khusus yang terdahulu—berdasarkan asumsi itu—akan sirna sama sekali ketika ciri-ciri khas yang baru telah muncul.
Alhasil, kita dapat menggambarkan kehidupan setelah kematian dengan benar jika kita menganggap bahwa ruh itu bukanlah tubuh dan tidak memiliki ciri-ciri serta sifat-sifat tubuh. Lebih dari itu, kita mesti tidak menganggap bahwa ruh itu adalah bentuk material yang menempati tubuh dan ia akan sirna ketika tubuh itu hancur.
Oleh karena itu pertama, kita harus mengakui adanya ruh. Kedua, kita harus percaya bahwa ruh itu merupakan hakikat yang substansial; bukan sifat-sifat tubuh. Ketiga, kita harus meyakini bahwa ruh itu mandiri dan tetap utuh meskipun tubuh telah hancur luluh. Ia tidaklah seperti forma-forma tercetak pada materi, yang akan sirna ketika tubuh itu hancur luluh.
Ihwal Ruh pada Wujud Manusia
Hal lain yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa tersusunnya manusia dari ruh dan raga tidak seperti zat kimia yang terdiri dari dua unsur, semisal tersusunnya air dari oksigen dan hidrogen, yang apabila salah satunya berpisah dari yang lainnya, wujud susunan tersebut akan sirna berikut seluruh sifat-sifat susunannya. Sementara ruh adalah unsur substansial dan hakikat manusia. Selama ruh itu ada, kemanu-siaan manusia dan kepribadiannya tetap ada dan utuh dengan sendirinya. Oleh karena itu, perubahan dan pergantian sel-sel tubuh tidak merusak kesatuan pribadi, karena standar kesatuan hakiki manusia adalah ruhnya yang satu.
Hal ini telah disinggung oleh Al-Qur’an tatkala menjawab para pengingkar Ma’ad yang bertanya-tanya: Bagaimana mungkin manusia itu mendapatkan kehidupannya yang baru setelah organ tubuhnya itu hancur luluh?
"Katakanlah sesungguhnya yang mematikan kalian adalah malaiakat maut yang diwakilkan oleh Allah untuk tugas itu." (QS. As-Sajdah: 11)
Dengan demikian, hakikat setiap manusia itu didasari oleh sesuatu yang dicabut oleh Malaikat Maut, yakni ruh, bukan bagian-bagian tubuhnya yang telah hancur di dalam bumi.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Dapatkah kita menganggap adanya hubungan bagian-bagian yang berubah pada satu kelompok sebagai standar kesatuannya dan mengapa?
2. Apakah standar lain yang dapat diasumsikan bagi adanya kesatuan pada susunan tubuh?
3. Apakah teori populer filsafat mengenai kesatuan wujud yang tersusun, khususnya makhluk hidup?
4. Apakah perbedaan antara forma natural dan ruh?
5. Apakah perbedaan antara ruh tumbuhan dan ruh hewani dan ruh insani? Dan apakah pengaruh perbedaan tersebut terhadap masalah Ma’ad?
6. Apakah dasar-dasar yang diperlukan untuk dapat memberikan pengertian yang tepat mengenai Ma’ad?
7. Apakah perbedaan antara susunan manusia yang terdiri dari ruh dan raga dengan susunan kimiawi?
 
PELAJARAN 43
Kenonmaterian Ruh
Pelajaran yang lalu telah menerangkan bahwa masalah Ma'ad itu berkaitan erat dengan masalah ruh. Artinya, seseorang yang dihidupkan setelah kematian adalah pribadinya itu sendiri yang hidup sebelumnya. Ini menjadi mungkin bila ruhnya tetap ada, meskipun tubuhnya telah hancur. Dengan kata lain, setiap manusia itu memiliki substansi (jauhar) yang nonmateri dan mandiri dari tubuhnya, dimana hakikat kemanusiaannya terkait erat dengannya. Jika tidak demikian, asumsi kehidupan yang baru bagi seseorang tidaklah logis. Karenanya, sebelum kami membahas Ma’ad, kita harus mengkaji masalah ruh itu yang akan diupayakan dalam pelajaran ini. Untuk hal ini, ada dua dalil yang bisa diajukan; dalil akal dan dalil wahyu.
Dalil Akal
Sejak dahulu, para ulama telah banyak membahas masalah ruh. Dalam Filsafat Islam, ruh yang disebut dengan istilah nafs, menjadi fokus penting, sehingga para filsuf menulis secara khusus bagian-bagian yang berkaitan dengan masalah ini. Bahkan, mereka menulis kitab-kitab dan risalah-risalah tersendiri, lalu mengkritisi—dengan sekian banyak dalil—pandangan yang menyatakan bahwa ruh itu merupakan aksiden ('aradh) bagi tubuh atau forma material (shurah maddiyyah) yang ada pada tubuh material. Tentunya, pembahasan luas mengenai masalah ini tidak sesuai dengan buku ini. Untuk itu, kami berusaha membahasnya secara ringkas, jelas dan padu.
Pembahasan ini menyinggung sebagian dalil-dalil akal yang akan kami mulai dari premis-premis berikut ini:
Kita menyaksikan warna kulit dan bentuk tubuh kita dengan mata kepala kita sendiri. kitapun dapat merasakan kasar-lembutnya bagian-bagian tubuh kita dengan indra sentuhan, dan kita tidak dapat mengetahui bagian dalam tubuh kita kecuali secara tidak langsung. Namun begitu, kita dapat mengetahui rasa kuatir, cinta, benci, kehendak, dan pikiran kita tanpa melalui indra. Begitu pula, kita dapat mengenal "aku" kita yang memiliki perasaan-perasaan dan berbagai keadaan tersebut tanpa menggunakan indra. Jadi, manusia itu memiliki dua macam pengetahuan; pengetahuan melalui indra dan pengetahuan tak melalui indra.
Premis lainnya ialah terjadinya kekeliruan-kekeliruan pada pengetahuan melalui indra. Maka itu, juga sangat mungkin terjadi kekeliruan pada pengetahuan macam pertama. Berbeda dengan pengetahuan macam kedua, yang tidak mengalami kekeliruan keraguan. Seseorang bisa ragu terhadap warna kulitnya; apakah senyatanya memang demikian apa yang ia lihat. Akan tetapi, ia tidak akan ragu; apakah ia itu berpikir atau tidak, menghendaki sesuatu atau tidak, dan merasa ragu atau tidak.
Premis ini dinyatakan sebagai berikut: bahwa pengetahuan hudhuri[1] itu bersentuhan langsung dengan hakikat wujud objeknya. Oleh karena itu, ia tidak mengalami kesalahan. Adapun ilmu hushuli, lantaran diperoleh melalui gambaran perseptual di benak, ia pada dasarnya bisa mengalami keraguan dan kesalahan.
Artinya, kebanyakan pengetahuan pasti manusia adalah pengetahuan hudhuri dan syuhudi, termasuk di dalamnya ialah pengetahuan kita akan jiwa (nafs), perasaan, emosi dan keadaan-keadaan jiwa lainnya. Oleh karena itu, "aku" yang mengetahui, berfikir, dan berkehendak tidak akan mengalami keraguan sedikit pun, sebagaimana keadaan atau rasa takut, cinta, benci, berfikir, dan berkehendak tidak dapat diragukan faktanya.
Dari uraian tersebut timbul satu pertanyaan: Apakah "aku" ini adalah tubuh fisikal yang terindra itu? Apakah keadaan-keadaan jiwa berlaku sebagai aksiden (aradh) bagi tubuh? Ataukah hakikatnya berbeda dengan realitas tubuh sekalipun, walaupun "aku" memiliki hubungan yang erat dengan tubuh, dimana "aku" ini banyak melakukan berbagai aktifitas melalui tubuh, dan sebagaimana ia mempengaruhi tubuh, ia pun dapat dipengaruhi olehnya?
Jadi, perdasarkan premis di atas ini, jawaban atas pertanyaan itu dapat dirumuskan secara lebih mudah. Pertama, kita mengetahui "aku" masing-masing secara hudhuri. Adapun tubuh kita ini diketahui melalui bantuan indra. Dengan demikian, "aku" (nafs atau ruh) bukanlah tubuh.
Kedua, "aku" adalah hakikat yang tetap dan utuh selama puluhan tahun dengan sifat kesatuan dan identitas dirinya sendiri. Kesatuan dan identitasnya dapat diketahui melalui pengetahuan hudhuri yang tidak akan bisa keliru. Adapun bagian-bagian tubuh mengalami perubahan dan pergantian berulang kali, sehingga ia tidak mempunyai standar kesatuan hakikatnya di antara bagian-bagiannya yang terdahulu dan yang baru.
Ketiga, sesunguhnya "aku" ini bersifat sederhana (tak tersusun) yang tidak mungkin dapat dipecah. Misalnya, kita tidak dapat memecah "aku" menjadi dua bagian. Ini berbeda dengan anggota tubuh yang berbilang dan dapat dipecah.
Keempat, mengingat bahwa seluruh keadaan jiwa seperti perasaan, kehendak dan selainnya itu tidak memiliki ciri-ciri dasar materi, yakni ekstensi dan keterpecahan, maka kita tidak dapat menganggap hal-hal yang nonmateri itu sebagai aksiden (aradh) bagi materi (tubuh). Oleh karena itu, subyek hal-hal nonmateri itu adalah substansi (jauhar) yang nonmateri (mujarrad).[2]
Di antara dalil-dalil yang dapat meyakinkan seseorang terhadap keberadaan, kemandirian, keutuhan ruh setelah kematiannya, adalah mimpi benar. Sebagian orang yang telah meninggal dapat memberikan sebagian informasi yang benar kepada orang yang sedang tidur. Dalil lainnya ialah cara menghadirkan ruh yang diiringi dengan bukti-bukti yang pasti dan meyakinkan.
Demikian pula, kita dapat membuktikan kenonmaterian ruh itu melalui karomah-karomah para wali Allah, bahkan bisa juga dengan sebagian perbuatan petapa, yogi dan semacamnya. Tentunya, studi mengenai masalah ini memerlukan buku tersendiri.
Dalil Wahyu
Al-Qur’an memandang bahwa ruh manusia itu ada.Pandangan qur’anik ini tidak mungkin dapat diragukan. Ruh adalah hakikat yang dinisbatkan kepada Allah SWT lantaran begitu mulia dan agungnya. Ketika berbicara tentang penciptaan manusia, Al-Qur’an menyatakan, “Dan ia meniupkan ke dalamnya dari ruh-Nya.” (QS. As-Sajdah: 9)
Hal ini tidaklah berarti—wal'iyadzu billah—bahwa ada sesuatu yang terpisah dari dzat Allah lalu berpindah ke dalam tubuh manusia.
Sehubungan dengan pembahasan mengenai penciptaan Adam, Allah berfirman, “Dan aku tiupkan ke dalamnya dari ruh-Ku." (QS. Al-Hijir: 29, Ash-Shad: 72)
Begitu pula, dari bebarapa ayat lainnya kita dapat memahami bahwa ruh itu bukanlah tubuh, bukan pula sebagai sifat-sifat dasar dan ciri-ciri khasnya, dan sesunguhnya ruh itu—tanpa raga—memiliki potensi untuk tetap kekal. Di antara ayat-ayat tersebut adalah sebagaimana dinukilkan oleh Al-Qur’an berdasarkan ucapan orang-orang kafir, "Apakah kalau kami sesat di muka bumi ini kami akan diciptakan kembali?" (QS. As-Sajdah: 10)
Yakni, manakala bagian-bagian tubuh kami melebur di dalam tanah. Al-Qur’an menjawab, "Katakanlah sesungguhnya yang mematikan kalian adalah malaikat maut yang diberikan tugas untuk itu pada kalian kemuian setelah itu kalian dikembalikan pada Tuhan kalian." (QS. As-Sajdah: 11)
Dengan demikian, standar hakikat manusia itu adalah ruhnya yang dicabut oleh Malaikat Maut dan senantiasa kekal, bukan bagian-bagian tubuh yang mengalami kehancuran dan melebur di dalam tanah.
Di tempat lain, Allah SWT berfirman, "Allah memegang jiwa seseorang ketika matinya dan memegang jiwa seseorang yang belum mati diwaktu tidurnya, maka Ia menahan jiwa orang yang telah Ia tetapkan kematiannya dan Ia melepaskan jiwa yang lain sa-mpai pada waktu yang ditentukan." (QS. Az-Zumar: 42)
Sehubungan dengan kematian orang-orang yang zalim, Allah SWT berfirman, "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat diwaktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut sedang para malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata, 'Keluarkanlah nyawamu.'" (QS. Al-An’am: 93)
Dari ayat-ayat di atas serta ayat-ayat yang lain, kita dapat memahami bahwa jiwa setiap manusia itu identik dengan suatu hakikat yang dicabut oleh Malaikat Maut atau malaikat-malaikat yang diberikan kekuasaan untuk mencabut ruh, dan ketiadaan tubuh itu tidak ada pengaruhnya terhadap kekalnya ruh dan satunya jiwa manusia.
Yang dapat disimpulkan dari penjelasan di atas adalah:
Pertama, di dalam diri manusia terdapat suatu hakikat yang dinamakan ruh.
Kedua, sesungguhnya ruh manusia itu dapat kekal dan mandiri dari tubuhnya. Ruh bukan layaknya aksiden dan forma dari materi, yang akan sirna ketika subjek yang menampungnya itu hancur.
Ketiga, sesungguhnya hakikat setiap orang itu terletak pada ruhnya. Dengan ungkapan yang lain, hakikat setiap manusia itu adalah ruhnya. Adapun tubuh manusia hanya berperan sebagai alat bagi ruh.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah definisi pengetahuan hudhuri dan hushuli dan jelaskan perbedaan antara keduanya?
2. Jelaskan dalil-dalil akal atas kenonmaterian ruh!
3. Apakah cara-cara lain yang dapat digunakan untuk membuktikan kenonmaterian ruh?
4. Sebutkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah ini!
5. Apakah kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari ayat-ayat tersebut?

[1] Mengenai hudhuri dan hushuli, bisa dirujuk ke Pelajaran 5—peny.
[2] M.T.Misbah Yazdi, Omuzesye Falsafeh, Jilid 2, Pelajaran 44 & 49.

Tidak ada komentar: