Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

10 November 2010

MA’AD/HARI KEBANGKITAN IX (M. Taqi Mizbah Yazdi)


PELAJARAN 58

Beberapa Keistimewaan Kaum Mukmin

Mukaddimah
Telah jelas pada bagian Tauhid, bahwa Kehendak Allah itu secara esensial dan langsung berhubungan dengan semua kebaikan dan kesempurnaan. Sedangkan keburukan dan kekurangan, Kehendak Allah hanya berurusan dengannya secara aksidental dan tak langsung.
Kaitannya dengan manusia, jelas bahwa Kehendak Allah berhubungan secara esensial dengan kesempurnaan dan proses mereka menuju kebahagiaan hakiki dengan segenap kelengkapan nikmat yang abadi.Adapun siksaan dan kesengsaraan para pendurhaka sebagai dampak dari buruknya usaha mereka sendiri, terkait dengan Kehendak Ilahi yang bijak secara tak langsung. Apabila siksa dan bencana Ilahi itu bukan kelaziman dari buruknya usaha mereka, tentu rahmat Ilahi yang luas mengharuskan ketidaan siksa bagi seluruh makhluk.
Akan tetapi, justru rahmat Ilahi yang luas itu menuntut penciptaan manusia yang dilengkapi dengan ciri-ciri khas, yaitu usaha bebas yang mengunikkan-nya dari makhluk-makhluk. Dan konsekwensi dari usaha bebas dan memilih salah satu dari dua jalan; jalan iman dan jalan kufur, ialah keberakhiran mereka di tempat yang mulia atau di tempat yang hina dengan catatan, bahwa keberakhiran mereka di tempat mulia terkait dengan Kehendak Ilahi secara esensial, sedangkan tempat hina, gelap dan menyakitkan itu terkait dengan Kehendak Ilahi secara aksidental.

Perbedaan itu sendiri meniscayakan pengutamaan sisi kebaikan dalam tata cipta dan tata tinta (syariat). Artinya, secara kodrat cipta, manusia itu diciptakan sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan mulia itu lebih banyak pengaruhnya dalam membentuk kepribadiannya. Dan secara kodrat kebebasannya, ia dibebani tugas-tugas syariat yang mudah dan ringan, sehingga tidak lagi perlu menjalankan tugas-tugas berat dan melelahkan untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan dari siksa abadi.
Begitu juga berkenaan dengan pahala dan siksa. Bahwa sisi pahala dan rahmat akan diutamakan, dan bahwa rahmat Allah SWT itu mendahului murka-Nya. Pengutamaan dan pendahuluan sisi rahmat Ilahi ini tampak pada beberapa perkara yang sebagiannya akan kami singgung di sini:
Melipatgandakan Pahala
Keistimewaan pertama yang diberikan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang mencari jalan kebahagiaan adalah kedudukan pahala. Yakni, Allah tidak hanya memberi mereka pahala setimpal amal mereka, bahkan melipatgandakannya. Disebutkan di dalam Al-Qur'an:
"Siapa yang membawa kebaikan, ia memperoleh (balasan) yang lebih baik darinya." (QS. An-Naml: 89)
"Dan siapa yang mengerjakan kebaikan, akan kami tambahkan baginya kebaikan di atas kebaikannya itu." (QS. Asy-Syura': 23)
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (syurga) dan tambahannya." (Qs. Yunus: 26)
"Sesunguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walau-pun sekecil atom, dan jika ada kebajikan sekecil atom, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." (Qs. An-Nisa': 40)
"Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat, ia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya." (QS. Al-An'am: 160)
Memaafkan Dosa-dosa Kecil
Keistimewaan lainnya adalah bahwa jika orang-orang mukmin menjauhi dosa-dosa besar, Allah Yang Mahasayang akan mengampuni dosa-dosa kecil mereka dan menghapus resiko dan dampak-dampak buruknya.
"Jika kamu menjahui dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia [syurga]." (Qs. An-Nisa': 31)
Jelas bahwa pemberian maaf atas dosa-dosa kecil mereka tidak mensyaratkan taubat, karena taubat juga dapat menurunkan pengampunan atas dosa-dosa yang besar.
Memanfaatkan Amal-amal Orang Lain
Keistimewaan lain yang diberikan kepada orang-orang mukmin adalah bahwa Allah SWT menerima permohonan ampun (istighfar) malaikat dan hamba-hamba-Nya yang terpilih untuk orang-orang mukmin. Begitu juga, doa dan istighfar di antara sesama orang mukmin. Bahkan pahala amal-amal yang dihadiahkan seorang mukmin untuk saudaranya akan sampai kepada yang kedua itu.
Keistimewaan-keistimewaan ini telah disebutkan di dalam ayat-ayat dan riwayat yang banyak. Akan tetapi, karena ini secara langsung berkaitan dengan masalah syafa'at, kami akan membahasnya di sana secara luas dan terperinci. Untuk itu isyarat yang sederhana ini kami cukupkan sekian pada pelajaran ini.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Apakah rahasia diutamakannya rahmat Ilahi?
2. Jelaskan bagaimana kenyataan pengutamaan itu dalam tata cipta dan tata tinta!
3. Jelaskan contoh-contoh konkret pengutamaan itu dalam kaitannya dengan pemberian pahala dan siksa manusia!

 

PELAJARAN 59

Syafa'at

Mukaddimah
Di antara keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada kaum mukmin ialah bahwa jika seorang mukmin menjaga imannya hingga akhir hayatnya, tidak melakukan dosa-dosa yang menyebabkan hilangnya taufik darinya, tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan su'ul khatimah, dan tidak condong kepada keraguan atau pengingkaran, singkatnya jika ia meninggal dunia dalam keadaan mukmin, maka ia tidak akan mengalami siksa yang abadi, dosa-dosa kecilnya akan diampuni lantaran ia menjauhi dosa besar, dan akan diampuni pula dosa-dosa besarnya jika ia melakukan taubat dengan segenap syarat-syaratnya.
Namun, jika ia tidak sempat melakukan taubat, ketabahannya dalam menanggung berbagai musibah dan kesulitan dunia dapat meringankan beban dosa-dosanya, berbagai kesulitan dan goncangan alam barzakh serta tahap-tahap awal nusyur (kebangkitan) dan Hari Kiamat. Apabila dosa-dosa dan kesalahannya itu masih juga belum bisa disucikan dengan itu semua, syafa'at akan melakukan perannya untuk menye-lamatkannya dari neraka. Syafa'at ini merupakan manifestasi rahmat Tuhan yang paling besar yang dianugerahkan kepada para kekasih-Nya, khususnya Rasul saw. dan Ahlul Baitnya yang mulia.
Dari beberapa riwayat, Al-Maqamal mahmud (kedudukan nan mulia) yang dijanjikan kepada Rasul saw di dalam Al-Qur'an adalah kedudukan syafa'at. Begitu juga, ayat yang berbunyi, "Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas." (QS. Adh-Dhuha: 5) mengisyaratkan ampunan Allah SWT yang mencakup orang-orang yang berhak mendapatkannya melalui syafa'at Rasul saw.
Maka itu, harapan terbesar dan tempat penantian terakhir kaum mukmin yang berdosa adalah syafa'at. Akan tetapi, pada saat yang sama, mereka tidak boleh merasa aman dari murka Allah. Hendaknya mereka waspada sehingga tidak melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan mereka su'ul khatimah dan tercabutnya iman pada saat ajalnya datang menjemput. Dan hendaknya mereka tidak terikat dengan perkara-perkara duniawi, dan jangan sampai mengakar di dalam hati-hati mereka sebegitu rupa sehingga mereka meninggalkan dunia ini dalam keadaan benci kepada Allah SWT. Karena Dialah yang—dengan kematian—memisahkan mereka dari apa yang mereka cintai itu.
Pengertian Syafa'at
Syafa'at berasal dari kata dasar as-syaf'u, artinya genap dan sesuatu yang digabungkan dengan yang ganjil. Umumnya, syafaat biasa diungkapkan untuk permohonan pribadi yang mulia kepada sosok yang lebih besar supaya berkenan memberikan maaf terhadap kesalahan orang ketiga, atau melipatgandakan upah sebagian para pekerja dan pembantu. Barangkali rahasia digunakannya kata syafa'at pada masalah-masalah ini adalah bahwa seseorang yang bersalah itu sebenarnya tidak berhak mendapatkan ampunan, atau seperti pekerja dan pembantu yang pada dasarnya mereka tidak berhak mendapatkan kelipatan upah, akan tetapi berkat permohonan si pemberi syafa'at (pribadi yang mulia), mereka menjadi berhak untuk itu.
Dalam kehidupan sosial, seseorang akan menerima syafaat dari syafi' (pemberi syafa'at) karena merasa kuatir; jika ia tidak menerima syafaatnya, maka pemberi syafaat akan merasa sakit hati. Akibatnya, ia tidak merasa nyaman dan akrab lagi ketika bergaul atau berkhidmat kepadanya. Bahkan terkadang jika tidak menerima syafaatnya, ia akan menerima gangguan dan ancaman bahaya dari sang pemberi.
Kita amati bahwa orang-orang musyrik yang meyakini bahwa Tuhan memiliki sebagian sifat-sifat manusia seperti: butuh ketentraman, bergaul dengan istri, menyesal, atau membutuhkan pembantu yang menyertainya dalam bekerja, atau gelisah akan disaingi oleh sekutu-Nya, sesungguhnya mereka itu—demi mendapatkan perhatian dan belas kasihan dari Sang Pencipta Yang Mahabesar, atau supaya selamat dari murka-Nya—berwasilah kepada-Nya dengan tuhan-tuhan buatan, atau menyembah malaikat dan jin, atau merendahkan diri di depan patung-patung. Mereka berkata:
"Mereka adalah penolong-penolong kami disisi Allah." (QS.Yunus: 18, Rum: 13)
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS. Az-Zumar: 3)
Sehubungan dengan kepercayaan jahiliyah ini, Al-Qur'an mengatakan, "Sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'at pun selain dari pada Allah." (QS. Al-An'am:51)
Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa mengingkari para pemberi syafa'at atau penafian syafa'at seperti ini bukan berarti mengingkari syafa'at secara mutlak. Di dalam Al-Qur'an sendiri terdapat ayat-ayat yang menunjukkan adanya syafa'at (dengan izin Allah) dan dijelaskan pula syarat-syarat para pemberi syafa'at dan mereka yang berhak disyafa'ati.
Layak untuk diketahui bahwa Allah SWT menerima syafa'at dari para pemberi syafa'at yang telah diizinkan itu bukan lantaran takut atau butuh kepada mereka, tetapi sebagai sebuah jalan yang Allah berikan kepada orang-orang yang tidak berhak memdapatkan rahmat abadi kecuali segelintir hamba-Nya. Untuk mendapatkan hak syafa'at tersebut, Allah SWT telah menentukan syarat-syarat khusus. Sebenarnya, perbedaan antara syafa'at yang benar dan syafa'at yang batil itu tidak ubahnya dengan perbedaan antara kepercayaan terhadap wilayah (otoritas) atau pengaturan dengan izin Allah dan wilayah dan pengaturan yang mandiri, sebegaimana telah dijelas pada bagian Tauhid.
Terkadang kata syafa'at juga digunakan untuk makna yang lebih luas dari makna tersebut di atas, sehigga ia meliputi setiap pengaruh baik pada seseorang melalui orang lain. Sebagaimana syafa'at (pertolongan) kedua orang tua kepada putra-putrinya atau sebaliknya, dan syafa'at para guru kepada anak-anak didiknya. Bahkan, syafa'at ini juga meliputi syafa'at seorang muadzin kepada orang-orang yang hendak melaksanakan salat, yang ketika mendengar suara adzan, mereka segera bergegas menuju masjid. Sebenarnya pengaruh kebaikan pada diri mereka yang terdapat di dunia ini sendiri akan tampak pada Hari Kiamat nanti dalam bentuk syafa'at dan pertolongan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa permohonan ampun untuk orang-orang yang bermaksiat di dunia ini termasuk ke dalam kategori syafa'at pula. Bahkan, do'a untuk orang lain dan tawassul kepada Allah agar dikabulkan hajat-hajatnya, sebenarnya ini pun merupakan syafa'at Allah. Sebab, semua itu merupakan wasilah Allah SWT untuk menyampaikan kebaikan kepada seseorang atau untuk menolak bencana darinya.
Ketentuan-ketentuan Syafa'at
Sebagaimana telah disinggung, bahwa syarat-syarat utama pada pemberi syafa'at atau diterimanya syafa'at bagi yang disyafaati adalah izin Allah SWT.
"Tidak ada seorangkan yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa seizin-Nya." (QS. Al-Baqarah: 255)
"Tiada seorang pun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin dari-Nya." (QS. Yunus: 3)
"Pada hari itu tidak berguna syafa'at kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Ia telah meridhai perkataannya." (QS. Thaha: 109)
"Dan tiadalah berguna syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa'at itu ...." (QS. Saba': 23)
Dari ayat-ayat tersebut dapat dibuktikan secara global syarat izin Allah bagi terlaksananya syafa'at. Akan tetapi, dari ayat-ayat tersebut tidak dapat disimpulkan ciri-ciri orang yang mendapatkan izin-Nya. Namun, terdapat ayat-ayat lain yang dapat memberikan penjelasan secara gamblang mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak; yaitu sang pemberi syafa'at dan yang berhak disyafa'ati. Allah SWT berfirman, "Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa'at akan tetapi [orang yang dapat memberi syafa'at adalah] orang yang mengakui yang hak dan mereka mengetahui[nya]." (Qs.Az-Zukhruf: 86)
Mungkin maksud dari Man syahida bil haq (orang yang mengakui yang hak) adalah para saksi perbuatan yang—berkat petunjuk Ilahi—mengetahui perbuatan dan niat pelakunya, dan mereka dapat memberikan kesaksian terhadap cara dan kualitas perbuatan tersebut. Sebagaimana atas dasar kesesuaian predikat dan subjeknya, dapat pula dikatakan bahwa para pemberi syafa'at harus memiliki pengetahuan sedemikian rupa sehingga mereka dapat menentukan orang-orang yang berhak mendapatkan syafa'at dari mereka. Setidak-tidaknya mereka yang memenuhi kedua syarat itu adalah para imam maksum as.
Dari sisi lain, dari sebagian ayat dapat dipahami pula bahwa orang-orang yang memberi syafaat adalah mereka yang diridai oleh Allah SWT.
"Dan mereka itu tidak dapat memberikan syafaat kecuali orang-orang yang diridhai Allah." (QS. Al-Anbiya': 28)
"Berapa banyak malaikat di langit yang syafaat mereka tidak berguna sedikitpun kecuali setelah Allah memberikan izin kepada orang yang dikehendaki dan diridhai-Nya." (QS. An-Najm: 26)
Jelas bahwa maksud dari "orang yang disyafa'at itu diridai oleh Allah" tidak berarti seluruh amal mereka itu diridai oleh-Nya. Karena jika demikian, tentu mereka tidak lagi membu-tuhkan syafa'at. Maksudnya, agama dan iman orang tersebut diridhai oleh Allah SWT, sebagaimana riwayat-riwayat menafsirkan demikian.
Di tempat lain, sebagian ayat menyebutkan sifat-sifat orang yang tidak berhak syafa'at, seperti dinyatakan melalui lisan orang-orang musyrik:
"Maka kami tidak mempunyai pemberi syafa'at seorang pun." (QS. Asy-Syu'ara': 100)
Dalam surat Al-Muddatstsir ayat 40-48, ketika para pendosa ditanya tentang sebab mereka masuk ke dalam neraka, disebutkan bahwa mereka telah meninggalkan salat, tidak memberi makan orang-orang miskin, dan mendustakan Hari Pembalasan. Setelah itu, Al-Qur'an mengatakan, "Maka tidak bermanfaat untuk mereka syafaat para pemberi syafa'at."

 

PELAJARAN 60

Beberapa Keraguan dan Jawaban seputar Syafa'at

Sekaitan dengan masalah syafa'at, banyak sekali keraguan dan kritik yang telah dilontarkan oleh sebagian orang. Pada pelajaran ini, kami akan mempelajari beberapa keraguan yang penting sekaligus memberikan jawaban-jawabannya.
Keraguan Pertama:
Sebagian ayat Al-Qur’an menjelaskan bahwa kelak di Hari Kiamat, syafa'at siapapun tidak akan diterima oleh Allah:
“Takutlah kalian pada hari yang seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun, sebagaimana pula tidak diterima syafa'at dan tebusan darnya, dan tidak pula mereka itu akan ditolong.” (QS. Al-Baqarah: 48)
Jawab: sesungguhnya ayat-ayat semacam ini diturunkan untuk menafikan syafa'at yang batil, yaitu syafa'at yang tidak memenuhi syarat, seperti yang diyakini oleh sebagian orang. Di samping itu, ayat-ayat itu bersifat umum yang ditafsirkan secara spesifik oleh ayat-ayat yang menyatakan diterimanya syafa'at yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan atas dasar izin Allah SWT., sebagaimana telah kami singgung pada pela-jaran yang lalu.
Keraguan Kedua:
Syafa'at melazimkan ketaklukkan Allah SWT di bawah pengaruh para pemberi syafa'at. Dengan kata lain, syafa'at mereka mengharuskan pengampunan, padahal pengampunan ini merupakan urusan Allah SWT.
Jawab: bahwa Allah menerima syafa'at tidak berarti Dia takluk dan tunduk di bawah pengaruh para pemberi syafa'at, sebagaimana menerima taubat dan mengabulkan doa seorang hamba tidak menunjukkan adanya konsekuensi batil semacam itu. Sebab, semua perbuatan hamba-hamba dalam hal-hal tersebut memberi peluang dan kelayakan untuk menerima rahmat Allah. Secara teknis dinyatakan bahwa "Syafa'at adalah syarat kelayakan sesuatu itu sebagai penerima, bukan syarat kelayakannya sebagai pemberi".
Keraguan Ketiga:
Syafa'at berarti bahwa pemberi syafa'at itu lebih banyak rahmat dan belas kasihnya daripada Allah Yang Mahapenyayang. Karena itulah timbul asumsi bahwa seandainya tidak ada syafa'at mereka, pasti orang-orang yang pernah berbuat maksiat itu akan mendapatkan siksa atau akan menetap kekal di dalam neraka.
Jawab: sesungguhnya belas kasih para pemberi syafa'at merupakan limpahan dari rahmat Allah yang tak terbatas. Dengan kata lain, syafa'at itu sebagai perantara dan jalan yang Allah jadikan untuk memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Justru pada hakikatnya, syafa'at mencerminkan keagungan rahmat Allah yang tampak pada hamba-hamba-Nya yang saleh dan dekat kepada-Nya. Sebagaimana juga doa dan taubat itu merupakan wasilah dan jalan lain yang telah Allah tetapkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, atau untuk memaafkan segala dosa hamba-hamba-Nya yang beriman.
Keraguan Keempat:
Apabila menjatuhkan siksa ke atas orang-orang yang berbuat maksiat adalah keputusan Allah yang sejalan dengan keadilan, maka adanya syafa'at bagi mereka bertentangan dengan keadilan tersebut. Dan apabila selamatnya mereka dari siksa itu—dengan diterimanya konsep syafa'at—sesuai dengan keadilan, maka keputusan yang dijatuhkan sebelum terjadinya syafa'at itu merupakan keputusan yang bertentangan dengan keadilan.
Jawab: Setiap keputusan Allah—baik keputusan siksa sebelum adanya syafa'at, ataupun keputusan selamat dari siksa setelah adanya syafa'at—sejalan dengan hikmah dan keadilan Ilahi. Kesesuaian dua masalah ini dengan hikmah dan keadilan Ilahi itu tidak berarti semacam bertemunya dua kontradiksi. Karena, objek keduanya berbeda.
Penjelasannya: keputusan siksa itu merupakan akibat dari maksiat, tanpa bergantung pada terpenuhi atau tidaknya hal-hal yang membuat pemaksiat berhak disyafa'ati. Dan keputusan selamat dari siksa itu akan dijatuhkan lantaran terpenuhinya hal-hal tersebut. Dalam tata penciptaan ataupun tata syariat Islam, kita dapati begitu banyak fakta bahwa perubahan suatu hukum cipta atau syariat mengikuti perubahan ciri-ciri objek (qayd maudhu'). Begitu pula, keputusan suatu hukum yang adil yang telah di-nasakh dan diubah—sehubungan dengan masa berlakunya—tidaklah bertentangan dengan keadilan suatu hukum yang baru (nasikh) yang turun di masa setelah terjadinya perubahan itu. Kebijakan ditetapkannya suatu bencana atas seseorang sebelum ia berdo'a atau bersedekah tidaklah bertentangan dengan kebijakan diangkatnya bencana tersebut setelah ia berdo'a atau bersedekah. Demikian pula, keputusan diampuninya dosa-dosa seorang hamba setelah pemberian syafa'at tidak bertentangan dengan keputusan dijatuhkannya siksa ke atasnya sebelum pemberian tersebut.
Keraguan Kelima:
Allah SWT menganggap bahwa mengikuti bujukan setan akan menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka. Dia berfirman, “Sesungguhnya engkau wahai iblis tidak mempunyai kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, kecuali mereka yang mengikuti kesesatanmu. Sungguh jahanam adalah tempat yang dijanjikan untuk mereka.” (QS. Al-Hijr: 42-43)
Pada hakikatnya, menyiksa para pemaksiat di akhirat kelak merupakan bagian dari sunnatullah yang tidak akan mengalami perubahan:
“Engkau tidak akan menemukan perubahan pada sunnatullah dan engkau pun tidak akan melihat adanya pergantian padanya.” (QS. Al-Fathir: 43)
Jika benar demikian, lalu bagaimana sunnatullah ini bisa mengalami perubahan dalam perkara syafa'at.
Jawab: diterimanya syafa'at oleh Allah untuk pemaksiat yang memenuhi syarat-syaratnya merupakan bagian dari sunnatullah yang tidak akan berubah.
Penjelasannya: sunnatullah itu berdasar pada batasan-batasan riel. Dan setiap sunnah (hukum) cipta Ilahi itu tidak akan menerima perubahan sedikit pun jika segenap syarat-syarat ada dan tiadanya terpenuhi. Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa pernyataan-pernyataan yang menekan-kan sunnah-sunnah itu biasanya bukan pada konteks menjelaskan seluruh macam ciri dan syarat suatu objek. Oleh karena itu, kita akan temukan sebagian kasus yang disinggung oleh zahir-zahir ayat Al-Qur’an dikaitkan dengan sejumlah sunnatullah. Sementara, wujud konkret di luar dari kandangan ayat-ayat tersebut lebih spesifik dan tunduk pada batasan dan syarat yang lebih dominan.
Dengan demikian, setiap sunnatullah itu tetap dan tidak akan berubah jika dicermati pula ciri-ciri dan syarat-syarat faktual objeknya, tidak sekedar mengamati ciri-ciri dan syarat-syarat terungkap di dalam ayat-ayat tersebut. Dan, salah satu sunnatullah ialah syafa'at. Sebagaimana sunnatullah yang lain, syafaat juga tetap dan tidak akan berubah; diberikan kepada orang-orang berdosa tertentu, yaitu mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula dan ditentukan oleh batasan-batasan yang khas.
Keraguan Keenam:
Adanya janji syafa'at itu akan membuat manusia berani melakukan maksiat dan menyimpang dari jalan yang lurus.
Keraguan ini juga dilontarkan sekaitan dengan penerimaan taubat dan pengampunan dosa. Jawaban atas keraguan ini adalah bahwa pemberian syafa'at dan ampunan kepada seseorang bergantung pada berbagai syarat yang tidak dapat dipastikan pemenuhannya oleh pelaku dosa. Di antara syarat pemberian syafa'at ialah hendaknya ia menjaga imannya sampai akhir hidupnya. Kita sadar bahwa tidak seorang pun dapat memastikan terpenuhinya syarat ini.
Dari sisi lain, kita tahu bahwa jika pelaku dosa kehilangan harapan akan ampunan Ilahi, ia akan dicekam oleh rasa putus asa. Pada gilirannya, putus asa ini akan melemahkan motifasinya untuk menjauhi maksiat, atau malah mendorongnya untuk berlarut-larut di dalam dosa, maksiat dan penyimpangan.
Oleh karena itu, metode pendidikan para pendidik Ilahi, para nabi dan ulama sejati dalam membimbing umat ialah senantiasa menjaga mereka di atas keseimbangan cemas dan harap. Mereka tidak menanamkan harapan penuh akan rahmat Ilahi dalam diri setiap individu, sedemikian rupa sehingga mereka benar-benar merasa aman dari murka Allah. Mereka juga tidak menggugah rasa takut seseorang akan siksa Allah sampai-sampai ia putus asa dari rahmat Allah SWT. Jelas bahwa kedua kondisi ini merupakan dosa besar.
Keraguan Ketujuh:
Pengaruh syafa'at dalam menentukan keselamatan seseorang dari siksa Ilahi berarti adanya pengaruh para pemberi syafa'at terhadap kebahagiaan dan keselamatan dari kesengsaraan. Padahal, Allah SWT berfirman, "Dan bahwasanya seseorang tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. An-Najm: 39)
Secara tegas ayat ini menerangkan bahwa hanya usaha dan kesungguhan seseoranglah yang akan membawanya kepada kebahagiaan dan keselamatan.
Jawab: untuk sampai kepada tujuan yang harapkan, terkadang usaha seseorang dapat dilakukannya sendiri dan berlangsung terus sampai akhir perjalanannya. Terkadang juga ia melakukan usahanya secara tak langsung; melalui penyediaan berbagai syarat dan perantara. Seseorang yang akan mendapatkan syafa'at pun harus berusaha keras untuk mengusahakan syarat-syarat kebahagiaan. Sebab, iman dan kesungguhan memenuhi syarat syafa'at merupakan usaha-usaha guna mencapai kebahagiaan, walaupun usaha itu masih dianggap kurang sempurna. Oleh karena itu, ia akan mengalami kesusahan dan goncangan di alam barzakh serta di tahap-tahap awal kiamat.
Bagaimanapun, ia telah menaburkan benih-benih kebahagiaan dengan usahanya sendiri, yaitu keimanan di dalam hatinya yang terkadang ia sirami dengan amal-amal yang saleh, sehingga tidak kering sampai kematiannya.
Dengan demikian, puncak kebahagiaan seseorang itu dicapai dari usaha dan kesungguhannya sendiri, di samping para pemberi syafat itu mempunyai kekuatan agar ia dapat memperoleh buah dari pohon tersebut, sebagaimana tampak di dunia ini, yaitu sebagian orang yang mempunyai kekuatan dalam mendidik dan memberi hidayah kepada umat manusia. Tentu saja, kekuatan mereka itu tidak berarti menafikan usaha seseorang dalam mencapai kebahagiaan dan keselamatan.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Banyak sekali ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kebatilan syafa'at. Bila benar demikian, bagaimana mungkin meyakini ihwal syafa'at tersebut?
2. Apakah syafa'at itu meniscayakan pengaruh seorang pemberi syafa'at terhadap dzat Allah SWT?
3. Apakah syafa'at itu berarti bahwa para pemberi syafa'at memiliki rahmat dan belas kasih yang lebih banyak daripada Allah SWT?
4. Jelaskan hubungan antara syafa'at dan keadilan Ilahi!
5. Apakah syafa'at itu menyebabkan perubahan pada sunnatullah?
6. Apakah janji syafa'at itu menjadikan semakin beraninya para pendosa dalam bermaksiat?
7. Jelaskan bahwa syafa'at itu tidak bertentangan dengan penisbahan kebahagiaan setiap orang kepada usahanya sendiri!

Tidak ada komentar: