Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

14 November 2010

Seri Syafaat bag.2 Mereka Yg Tidak Akan Mendapatkan Syafaat (oleh Markaz Arrisalah)


Bagian Kedua


Syafaat Menurut Ulama Islam

Hampir seluruh ulama Islam bersepakat bahwa syafaat memang ada di hari kiamat dan akan diberikan kepada kaum mukminin. Hanya saja, sebagian dari mereka berselisih pendapat mengenai seberapa luas makna syafaat ini. Mayoritas ulama dari berbagai mazhab dan aliran dalam Islam berpendapat bahwa syafaat akan berguna untuk menghindarkan seseorang dari bahaya dan siksa neraka.

Pertama: Pendapat Ulama Mengenai Makna Syafaat

1. Syeikh Mufid, Muhammad bin Nu’man Al-‘Akbari (wafat tahun 413 H) berkata,
“Syi’ah Imamiyyah bersepakat bahwa Rasulullah kelak di hari kiamat akan memberikan syafaatnya kepada sekelompok orang dari umatnya yang berlumuran dengan dosa besar. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa Amirul Mukminin Ali a.s. akan memberikan syafaatnya kepada para pecinta dan pengikutnya yang memikul dosa, demikian juga para Imam Ma’sum lainnya dari Ahlul bait a.s. Berkat syafaat manusia-manusia suci ini, Allah SWT menyelamatkan banyak orang yang semestinya masuk ke neraka karena dosa yang mereka perbuat.”
Di bagian lain beliau mengatakan, “Seorang mukmin yang saleh dapat memberikan syafaat untuk sabahat mukminnya yang berdosa. Allah akan menerima syafaat yang ia berikan itu. Demikianlah keyakinan seluruh kaum Syi’ah Imamiyyah kecuali beberapa gelintir orang.”[42]
2. Syeikh Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi (wafat tahun 460 H) dalam kitab tafsir Al-Tibyan mengatakan,
“Hakikat syafaat menurut kami adalah menghindar-kan bahaya bukan mendatangkan keuntungan. Di hari kiamat nanti, kaum mukminin akan mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAWW. Dengan diterimanya syafaat tersebut oleh Allah, banyak sekali orang yang semestinya masuk ke neraka akan selamat dari siksa, seperti yang telah disabdakan oleh Nabi SAWW,
إدّخرت شفاعتي لأهل الكبائر من أمتي
Artinya: Aku menyimpan syafaatku untuk kuberikan nanti kepada umatku yang berdosa.
Kami meyakini bahwa syafaat adalah hak yang dimiliki oleh Nabi SAWW, sebagian sahabat beliau, seluruh Imam Ma’sum, dan banyak hamba Allah yang saleh…” [43]
3. Allamah Muhaqqiq Fadhl bin Al-Hasan Al-Thabarsi (wafat tahun 548 H) berkata,
“…Menurut kami kewenangan memberi syafaat adalah hak yang dimiliki oleh Nabi SAWW, para sahabatnya yang setia, Imam-Imam ma’sum Ahlul bait a.s., dan kaum mukminin yang saleh. Dengan syafaat mereka ini, Allah akan menyelamatkan banyak sekali orang yang seharusnya masuk ke dalam neraka karena dosa mereka…” [44]
4. Allamah Syeikh Muhammad Baqir Al-Majlisi (wafat tahun 1110 H) mengatakan,
“Ketahuilah, bahwa syafaat adalah satu hal yang telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai masalah yang prinsipil dalam agama Islam. Mereka bersepakat bahwa Rasulullah SAWW di hari kiamat nanti akan memberikan syafaat kepada umatnya, bahkan umat-umat yang lain. Sedangkan hal yang menjadi ajang perselisihan pendapat adalah mengenai makna syafaat ini dan hasil yang didapatkan darinya, apakah syafaat berarti bertambahnya pahala seseorang ataukah hanya berarti penghapusan dosa?
Kaum Syi’ah Imamiyyah berpendapat bahwa syafaat berarti penghapusan dosa meskipun dosa itu tergolong sebagai dosa besar. Mereka juga meyakini bahwa hak memberi syafaat ini tidak hanya dimiliki oleh Nabi SAWW dan para Imam a.s. saja, tapi orang-orang saleh juga bisa memberi syafaat kepada orang lain dengan izin Allah SWT…” [45]
Apa yang telah kami sebutkan di atas adalah pernyataan beberapa ulama terkenal dari kalangan Syi’ah Imamiyyah mengenai syafaat. Berikut ini kami nukilkan pernyataan dari beberapa ulama besar mazhab-mazhab Islam lainnya.
1. Abu Mansur Al-Maturidi Al-Samarqandi (wafat tahun 333 H) saat menafsirkan ayat ولا يقبل منها شفاعة “Syafaat mereka tidak akan diterima”[46]dan ayat ولا يشفعون إلاّ لمن ارتضى  “Mereka tidak akan bisa memberikan syafaat kecuali kepada orang yang telah diridhai” [47] mengatakan,
“Ayat pertama meskipun menafikan syafaat, akan tetapi kita meyakini adanya syafaat yang diterima dalam Islam yaitu syafaat yang dimaksudkan oleh ayat ini.” [48] (Yang beliau maksudkan dengan ayat ini adalah ayat ke-28 dari surat Al-Anbiya’.)
2. Abu Hafsh Al-Nasafi (wafat tahun 538 H) dalam kitabnya yang dikenal dengan Al-‘Aqaid Al-Nasafiyyah mengatakan,
“Syafaat adalah fakta yang tidak dapat diragukan lagi dan merupakan hak yang dimiliki oleh para rasul dan orang-orang saleh sesuai dengan apa yang disebutkan dalam banyak hadis.” [49]
3. Nashiruddin Ahmad bin Muhammad bin Al-Munir Al-Iskandari Al-Maliki dalam kitab Al-Intishaf menulis,
 “Mereka yang mengingkari syafaat sangat layak untuk tidak menerimanya di hari kiamat nanti. Sedangkan yang percaya dan meyakininya, yaitu kelompok Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, mereka adalah orang-orang yang selalu berharap akan rahmat Allah. Mereka percaya bahwa syafaat bisa diberikan kepada orang-orang mukmin yang telah melakukan dosa, dan syafaat ini adalah hak Nabi Muhammad SAWW yang disimpan untuk mereka…” [50]
4. Qadhi ‘Iyadh bin Musa (wafat tahun 544 H) mengatakan,
“Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa masalah syafaat secara akal bisa diterima dan kebenarannya didukung oleh banyak ayat dan riwayat. Banyak sekali hadis, yang jumlahnya telah sampai ke batas hadis mutawatir, menyebutkan bahwa syafaat bakal diterima oleh kaum mukminin yang berlumuran dosa. Salaf Shalih (mereka yang hidup di awal Islam) dan ulama-ulama Ahlus Sunnah setelah mereka bersepakat akan kebenaran hal ini….”[51]
Masih banyak lagi ulama-ulama Islam dari kalangan Ahlus-Sunnah dan Syi’ah yang menekankan akan kebenaran syafaat di hari kiamat, yang tentunya tidak dapat kami nukilkan semuanya di sini.
Dengan melihat ayat-ayat Al Quran Al-Karim, hadis-hadis Nabi Muhammad SAWW dan para Imam Ahlul Bait a.s., juga pernyataan-pernyataan para ulama di atas, dapat kita simpulkan bahwa masalah syafaat termasuk dari serangkaian permasalahan yang telah diterima dan diyakini oleh mayoritas kaum muslimin dari berbagai mazhab yang berbeda. Meski demikian, tidak dapat kita pungkiri adanya perselisihan di kalangan para ulama mengenai makna syafaat.
Berbeda dengan pendapat para ulama di atas, kelompok Mu’tazilah menolak konsep syafaat. Abul Hasan Al-Khayyath, salah seorang tokoh kelompok ini, saat menafsirkan ayat berikut ini,
أفمن حقّ عليه كلمة العذاب أفأنت تنقذ من في النار ...
Artinya: Apakah (engkau hendak merubah nasib) orang yang telah pasti akan disiksa? Apakah engkau akan menyelamatkan orang yang berada di dalam neraka?[52]
mengatakan,
“Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa Rasulullah SAWW tidak mungkin dapat menyelamatkan orang yang sudah pasti masuk ke dalam api neraka….”
Syeikh Mufid dalam menjawab pernyataan tersebut mengatakan,
 “Semua orang yang menerima konsep syafaat tidak pernah mengklaim bahwa Rasulullah SAWW dapat menyelamatkan orang yang berada di neraka. Mereka hanya mengatakan bahwa Allahlah yang menyelamatkan orang tersebut dari siksaan-Nya sebagai penghormatan atas Nabi SAWW dan keluarganya yang suci (yang memberinya syafaat). Di sisi lain, para mufassir (ahli tafsir Al Quran) berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat ini dengan “mereka yang pasti masuk neraka” adalah kaum kafir, dan dalam pembahasan-pembahasan yang lalu telah dijelaskan bahwa Nabi SAWW tidak akan memberikan syafaatnya kepada mereka.” [53]
Dengan penjelasan ini, dapat disimpulkaan bahwa ayat tersebut tidak tepat untuk menjadi argumen dalam menolak konsep syafaat.

Kedua: Diskusi Seputar Masalah Syafaat

Meskipun konsep syafaat dengan jelas telah disebutkan di dalam Al Quran Al-Karim, akan tetapi dengan semakin berkembangnya ilmukalam, diskusi dan perbincangan seputar masalah syafaat ini semakin marak pula dan permasalahannya merambah ke banyak sisi. Dari sinilah muncul beberapa kritik atas konsep syafaat ini yang semuanya berpulang kepada konsep-konsep yang telah diyakini dan diterima oleh mayoritas kaum muslimin dengan berbagai mazhabnya.
Dalam buku kecil ini, setelah menyebutkan beberapa kritik tersebut, kami berusaha untuk menjawab dan menunjukkan kelemahannya.

Kritik Pertama

Dosa yang diperbuat oleh seorang mukmin sama dengan dosa yang diperbuat oleh  orang kafir. Sedangkan pahala atau siksa Allah diberikan kepada hamba-Nya karena perbuatan yang ia lakukan. Jika kita katakan bahwa dengan perantaraan syafaat, seorang mukmin yang telah berbuat dosa akan terbebas dari siksa, sedangkan orang kafir tidak akan selamat, hal ini bertentangan dengan keadilan Allah, Mahasuci Allah dari ketidakadilan. Kritik pertama ini dapat kita sebut dengan “problem dualisme balasan untuk satu dosa”.

Jawaban atas Kritik Pertama

Ada dua permasalahan yang harus kita jelaskan di sini. Pertama, apakah dosa yang dilakukan oleh seorang mukmin sama dengan yang dilakukan oleh orang kafir? Kedua, apakah dengan diterimanya syafaat Nabi SAWW kepada seorang mukmin yang berdosa padahal orang kafir yang melakukan hal sama tidak berhak mendapatkannya, berarti ada dualisme dalam pembalasan ataukah tidak?
Jelas bahwa sebuah dosa, siapapun pelakunya, adalah sebuah hal tercela dan pelakunya pantas untuk mendapat siksa. Sebagaimana halnya perbuatan baik, siapapun pelakunya, adalah hal terpuji dan pelakunya berhak untuk mendapatkan pahala. Jika tidak demikian tidak ada lagi perbedaan antara orang yang baik dan orang yang berdosa.
Hanya saja, Allah SWT membedakan antara dosa --di sini pembicaraan kita mengenai masalah dosa-- yang dilakukan oleh orang mukmin dengan yang dilakukan oleh orang kafir. Allah memberikan kesempatan bagi orang mukmin yang berdosa untuk mendapatkan syafaat sebagaimana juga membuka pintu taubat baginya. Di saat yang sama orang kafir bisa mendapatkan dua kesempatan tersebut dengan syarat harus terlebih dahulu beriman kepada-Nya.  Sama halnya dengan kebajikan yang mereka lakukan. Selagi mereka belum beriman, seluruh amal kebajikannya tidak akan dibalas dengan pahala sama sekali.
Memang, kebohongan yang dilakukan oleh seorang mukmin dengan yang dilakukan oleh orang kafir bisa saja sama, tetapi dalam hukumnya tetap berbeda. Perbedaan hukum ini telah dijelaskan oleh Sang Pembuat Syariat, Allah SWT. Ketika Dia mengatakan bahwa bohong merupakan dosa dan maksiat kepada-Nya, Dia juga menjelaskan bahwa hukum orang mukmin berbeda dengan hukum orang kafir.
Sebenarnya, kritik ini berasal dari anggapan bahwa dosa kedua orang tadi sama. Padahal seperti yang telah kami jelaskan, meskipun secara lahiriah keduanya sama, akan tetapi dari sisi hukumnya berbeda dan yang menentukan perbedaan tersebut adalah Allah.
Al-Qur’an Al-Karim melalui ayat-ayat sucinya membagi umat manusia di hari kiamat nanti ke dalam beberapa kelompok, diantaranya, kelompok mukminin dan kelompok kafirin.
Orang-orang kafir adalah mereka yang selama hidup di dunia tidak beriman kepada Allah SWT atau menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Al Quran dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak akan memperoleh syafaat.
 أم اتخذوا من دون الله شفعاء قل أَوَلَوْ كانوا لا يملكون شيئا ولا يعقلون
Artinya: Apakah mereka menjadikan selain Allah sebagai pemberi syafaat bagi mereka. Katakanlah, apakah kalian melakukannya meskipun mereka ini tidak bisa berbuat apa pun dan mereka tidak bisa berpikir? [54]
والذين كفروا أولياؤهم الطاغوت يخرجونهم من النور إلى الظلمات أولئك أصحاب النار هم فيها خالدون
Artinya: Dan orang-orang kafir, pelindung mereka adalah thaghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kepada kegelapan. Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya[55]
 Jelas, bahwa kekekalan di dalam neraka bertentangan dengan makna yang terkandung dalam syafaat. Masih banyak lagi ayat Al Quran yang menekankan hal yang sama.
Penentuan balasan bagi orang mukmin dan kafir adalah hak mutlak yang dimiliki oleh Allah SWT semata. Selain itu, Allah SWT juga telah menentukan bahwa orang mukmin akan mendapatkan pahala dan orang kafir akan mendapat siksa karena perbuatan masing-masing. Di lain pihak, tidak ada satu pun ayat Al Quran Al-Karim yang menyebutkan bahwa orang kafir memiliki kesempatan untuk mendapat syafaat, bahkan sebaliknya, yang kita dapatkan adalah ayat yang menyebutkan bahwa mereka kekal di dalam neraka.
Dari sini kita katakan bahwa tidak adanya kesempatan bagi orang kafir untuk mendapatkan syafaat dikarenakan Allah SWT menepati janji  yang Dia berikan melalui lisan para nabi dan utusan-Nya untuk menyiksa mereka di hari akhir nanti.
Sedangkan untuk orang mukmin, Allah SWT telah memberinya kesempatan untuk bertaubat. Jika berbuat dosa, ia memiliki kesempatan untuk bertaubat. Tentu saja, taubat yang benar dan diterima adalah jika disertai dengan rasa penyesalan atas perbuatannya dan bersungguh-sungguh untuk tidak mengulanginya lagi. Hal ini dikarenakan penyesalan atas perbuatan maksiat akan membuat orang jera untuk mengulanginya. Sebaliknya, mengulangi perbuatan dosa berarti senang terhadapnya. Jika orang mukmin meninggal dunia dalam keadaan berlumuran dosa, ia masih dapat diampuni dengan perantaraan syafaat yang disediakan oleh Allah SWT untuk orang-orang yang beriman. Dengan demikian, syafaat yang hanya dikhususkan bagi kaum mukminin yang berlumuran dosa adalah termasuk janji Ilahi yang dibawa oleh para nabi dan rasul.
Di bawah ini, kami bawakan beberapa contoh ayat suci Al Quran mengenai dua macam janji Tuhan tersebut.
إنّ الذين كفروا وماتوا وهم كفّار أولئك عليهم لعنة الله والملائكة والناس أجمعين خالدين فيها لا يخفّف عنهم العذاب ولا هم ينظرون
Artinya: Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka yang mati dalam keadaan kafir akan mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat tersebut. Mereka tidak akan mendapatkan keringanan siksa dan tidak akan dilihat dengan pandangan rahmat[56]
... ومن يرتدد منكم عن دينه فيمت وهو كافر فأولئك حبطت أعمالهم في الدنيا و الآخرة و ألئك أصحاب النار هم فيها خالدون
Artinya: …Jika seorang di antara kalian keluar dari agamanya lalu ia mati dalam kekafiran maka orang-orang seperti itulah yang amalannya sia-sia di dunia dan di akhirat. Merekalah penghuni neraka dan kekal di dalamnya[57]
Kedua ayat di atas menjelaskan janji Tuhan kepada mereka yang mati dalam keadaan kafir. Tuhan menyatakan bahwa mereka akan kekal di neraka. Tentunya, kekekalan di neraka tidak sesuai dengan makna syafaat.
Allah SWT berfirman,
إنّما التوبة على الله للّذين يعملون السّوء بجهالة ثم ّيتوبون من قريب فأولئك يتوب الله عليهم
Artinya: Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang melakukan kejahatan lantaran kebodohan mereka dan kemudian mereka segera bertaubat. Taubat mereka itulah yang diterima oleh Allah.[58]
فمن تاب من بعد ظلمه وأصلح فإنّ الله يتوب عليه إنّ الله غفور رحيم
Artinya: Seseorang yang bertaubat setelah melakukan kesalahannya dan memperbaiki diri pasti  akan diterima Allah taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[59]
Banyak ayat lainnya mengenai taubat yang tidak mungkin kami sebutkan semuanya di sini.
Setelah menyebutkan dalil-dalil di atas, kita kembali kepada kritik pertama ini. Kini, bisa kita katakan bahwa dualisme dalam pembalasan terjadi karena dosa yang dilakukan oleh dua orang tadi berbeda hukumnya. Sejak semula, Allah SWT telah membedakan antara dosa orang mukmin dan dosa orang kafir. Dengan begitu, orang kafir tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan syafaat. Sebaliknya, bagi orang mukmin pintu syafaat terbuka lebar, sebagaimana ia juga bisa bertaubat akan dosa-dosanya. Singkatnya, pembalasan yang akan diterima oleh keduanya itu sesuai dengan janji-Nya kepada seluruh umat manusia melalui lisan para nabi dan para imam a.s..
Dalam hadis nabawi disebutkan bahwa syafaat tidak akan didapatkan oleh mereka yang menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Abu Dzarr meriwayatkan bahwa suatu malam Rasulullah SAWW salat dengan membaca sebuah ayat sampai waktu subuh tiba, lalu ruku’ dan sujud dengan membaca ayat yang sama yang berbunyi,
إنّ تعذّبهم فإنّهم عبادك وإن تغفر لهم فإنّك أنت العزيز الحكيم
Artinya: Jika Engkau menyiksa mereka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Namun jika Engkau mengampuni mereka maka itu karena Engkau Mahamulia lagi Mahabijaksana[60]
Pagi harinya, Abu Dzar berkata kepada Rasulullah SAWW, “Ya Rasulullah, Anda selalu mengulangi ayat ini dalam salat, ruku’ dan sujud sampai pagi.” Beliau SAWW menjawab,
... إنّي سألت ربّي عزّ وجل الشفاعة لأمتي فأعطانيها فهي نائلة إن شاء الله لمن لا يشرك بالله عزّ وجل شيئا
Artinya:…Aku memohon kepada Tuhanku SWT untuk memberiku hak syafaat bagi umatku dan Allah mengabul-kan permintaanku itu. Syafaatku akan didapatkan oleh umatku yang tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya, Insya Allah[61]
Diriwayatkan juga bahwa Rasululah SAWW pernah bersabda,
شفاعتي لمن شهد أن لا اله إلاّ الله مخلصا يصدق قلبه لسانه ولسانه قلبه ..
Artinya: Syafaatku akan didapatkan oleh mereka yang bersaksi dengan sepenuh hatinya bahwa tidak ada tuhan selain Allah, yang kesaksian hatinya sama dengan kata-katanya…[62]

Kritik Kedua

Penghapusan siksa yang semestinya menimpa orang mukmin yang berdosa pada hari kiamat, padahal sebelumnya Allah telah menjanjikannya, tidak keluar dari dua kemungkinan. Pertama, hal itu sebagai perwujudan sifat keadilan, atau kedua, terhitung sebagai tindakan zalim dan semena-mena.
Jika penghapusan siksa tersebut dianggap sebagai perbuatan adil, berarti dengan menyiksa hamba-Nya, Allah SWT bertindak semena-mena. “Mahasuci Allah dari tindakan yang demikian itu.”
Namun, jika penghapusan siksa  adalah tindakan yang tidak benar (zalim) --dengan memohonkan syafaat bagi mereka yang berdosa-- berarti para nabi, rasul, dan orang-orang saleh melakukan suatu tindakan yang tidak benar dan zalim. Hal ini tentu tidak sesuai dengan kesucian dan ke-maksum-an mereka dari segala kesalahan.

Jawaban atas Kritik Kedua

Kritik kedua ini berpulang kepada kontradiksi antara dua hal yang bisa terjadi jika konsep syafaat ini kita terima. Hal yang pertama, penghapusan siksa adalah suatu tindakan bijaksana dan menyiksa hamba yang berdosa berarti suatu kezaliman yang tidak mungkin dilakukan oleh Allah SWT. Kedua, penghapusan siksa adalah tindakan yang tidak benar (zalim) --karena di dunia, ancaman akan siksaan akhirat sudah diberikan-- dan ini berarti bahwa permohonan ampunan di akhirat (syafaat) yang dilakukan oleh para nabi dan syafi’ (pemberi syafaat) lainnya tergolong permohonan atas suatu kezaliman dan hal ini tidak sesuai dengan kepribadian mereka.
Pada pembahasan yang lalu, telah kami singgung bahwa perbuatan dosa yang dilakukan oleh seorang mukmin bukan merupakan kausa atau sebab yang sempurna untuk mendapat siksaan. Dosa hanya merupa-kan sebuah jalan menuju siksa. Jika antara dosa tersebut dan turunnya siksaan tidak ada penghalang yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah SWT, seperti taubat dan syafaat, maka dosa itu akan meninggalkan kesannya, yang berbentuk siksaan bagi sang pelaku.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda,
إذا قمت المقام المحمود تشفّعت في أصحاب الكبائر من أمتي فيشفّعني الله فيهم والله لا تشفّعت فيمن آذى ذريتي
Artinya: Saat aku berada di kedudukan yang mulia, aku berikan syafaatku kepada semua orang dari umatku yang telah melakukan dosa besar dan Allah akan menerima syafaatku untuk mereka. Demi Allah, aku tidak akan memberikan syafaatku kepada orang yang telah menyakiti keturunanku[63]
Atas dasar ini kita katakan bahwa tindakan Allah menyiksa seorang hamba yang mukmin karena dosa yang ia lakukan merupakan tindakan yang benar dan sesuai dengan keadilan-Nya, sama seperti saat Dia memberikan pahala kepada seorang mukmin yang berbuat kebajikan. Jika seorang pendosa tidak berhak untuk disiksa maka tidak akan ada perbedaan antara dia dengan orang yang taat. Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa meskipun ia berhak untuk disiksa, tapi terkadang siksaan tersebut tidak jadi ia terima karena adanya suatu penghalang, seperti taubat dan syafaat.
Dengan demikian, jelaslah bahwa antara teori keadilan Ilahi dengan konsep syafaat tidak terdapat satupun sisi kontradiktif.
Kesimpulannya, syafaat adalah kemurahan dan rahmat dari Allah SWT untuk kaum mukminin dan merupakan pembeda antara mukmin dan kafir. Syafaat adalah rahmat. Adakah kontradiksi antara rahmat dan keadilan?
Janji Allah untuk menerima syafaat bagi sebagian hamba-Nya hanya dikhususkan bagi mereka yang memiliki kriteria tertentu yang telah Dia tetapkan, yaitu mereka yang beriman kepada-Nya serta beriman kepada kitab-kitab dan para utusan-Nya.
Rasulullah SAWW bersabda,
خيّرت بين الشفاعة و بين أن يدخل نصف أمتي الجنة فاخترت الشفاعة لأنها أعم و أكفى أترونها للمتقين ؟ لا , ولكنّها للمذنبين الخطائين المتلوّثين
Artinya: Aku diberi dua pilihan, hak syafaat ataukah separuh dari umatku masuk ke dalam surga. Aku memilih syafaat karena lebih umum dan lebih luas jangkauannya. Apakah kalian mengira bahwa syafaat akan diberikan kepada mereka yang bertakwa? Tidak, syafaat hanyalah untuk mereka yang berdosa dan kotor oleh noda maksiat.[64]
Imam Hasan a.s. berkata,
إنّ النبي قال في جواب نفر من اليهود سألوه عن مسائل : و أما شفاعتي ففي أصحاب الكبائر ما خلا أهل الشرك و الظلم
Artinya: Dalam menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh sekelompok orang Yahudi, Nabi SAWW bersabda, “Mengenai syafaatku, kelak di hari kiamat aku akan memberikannya kepada mereka yang berlumuran dosa kecuali orang-orang musyrik dan zalim.”[65]
Mengenai siksaan atas orang-orang kafir dan musyrik, kita katakan bahwa hal tersebut sesuai dengan ancaman yang telah Allah berikan sebelumnya. Karena itu, para nabi, rasul, dan washi serta mereka yang diberi izin oleh Allah SWT untuk menjadi syafi’ di hari kiamat tidak akan memohon syafaat dan ampunan bagi kaum kafir dan musyrik, serta mereka yang disebut oleh Al Quran sebagai penghuni abadi neraka jahanam. Ringkasnya, dalam masalah ini ada dua golongan, yaitu mereka yang beriman tapi berlumuran dosa dan mereka yang kafir dan ingkar kepada Allah SWT. Menyamakan kedua golongan ini dalam menerima hasil perbuatan di akhirat nanti adalah tindakan yang keliru.
Kritik kedua ini bisa dibenarkan jika seseorang dari golongan pertama selamat dari siksaan karena syafaat namun di saat yang sama orang lain dari kelompok yang sama tidak mendapatkan syafaat tersebut, padahal keduanya memiliki kriteria yang sama.
Di sisi lain, “Adanya syafaat dan penghapusan siksa setelah melewati banyak sebab seperti rahmat, ampunan, hukuman, pengadilan, pengembalian hak kepada orang yang berhak, semuanya itu tidak bertentangan dengan sunnah Allah dan tidak membuka pintu kesesatan.”[66]

Kritik Ketiga

Dalam kacamata masyarakat pada umumnya, syafaat dipahami sebagai permintaan syafi’ kepada yang menerima permohonan itu untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan berkenaan dengan orang yang diberi syafaat. Hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali jika si penerima permohonan syafaat tadi kemudian menjadi tahu akan sesuatu yang membuatnya menerima permohonan sang syafi’. Makna kedua syafaat seperti yang dipahami oleh kebanyakan orang adalah bahwa penerima permohonan syafaat (dalam hal syafaat di akhirat berarti Allah SWT) menahan diri untuk memberlakukan suatu ketentuan terhadap seseorang demi menghargai kedudukan si pemberi syafaat, meskipun ketentuan yang semestinya ia berlakukan itu sangat tepat, adil, dan bijaksana. Kedua makna syafaat ini tidak layak kita nisbatkan kepada Allah SWT.

Jawaban atas Kritik Ketiga

Apa yang disebutkan dalam kritik ketiga ini sudah salah dari dasarnya. Sebab, ketentuan (baca: azab atau siksaan) yang semestinya diberlakukan oleh Allah SWT bukannya sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari dosa. Sebagimana yang telah kami jelaskan sebelum ini, dosa hanyalah jalan menuju siksa. Sedangkan syafaat adalah sesuatu yang telah dijanjikan dan Al Quran Al-Karim sendiri dalam banyak ayatnya telah menjelaskan bentuk, batasan, dan kriteria mereka yang berhak menerimanya.
Jadi, dengan menerima permohonan syafaat, tidak berarti Allah SWT mengurungkan niat menyiksa hamba-Nya yang berdosa. Tetapi hal itu berarti bahwa Dia menepati janji kepada para hamba-Nya. Dengan demikian syafaat juga tidak berarti bahwa dengan permohonan syafaat yang diajukan oleh para syafi’ berarti Allah mendapat pengetahuan yang baru akan hal itu. Sebab, jauh hari Allah telah mengetahui fenomena syafaat, bahkan Dia sendirilah yang menyebutkan hal itu dan menjelaskan bagaimana seorang mukmin yang berdosa bisa meraihnya untuk kemudian sampai kepada ridhwan (keridhaan) Allah SWT.
Di sisi lain, Allah SWT Yang Mahatahu telah mengetahui segala hal yang terjadi pada hamba-hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan ilmu-Nya yang mencakup segala sesuatu maka tidak ada lagi arti ilmu yang baru bagi Allah dengan menerima syafaat.
Penjelasan di atas bisa kita simpulkan dari ayat yang berbunyi,
.. يمحو الله ما يشاء ويثبت وعنده أمّ الكتاب
Artinya: Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menentukan (apa yang Dia mau). Dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab.[67]
Allamah Thabathaba’i mengatakan, “…Perubahan ilmu dan kehendak yang mustahil terjadi pada Allah SWT adalah ketidakcocokan ilmu dan kehendak tadi dengan obyeknya masing-masing, padahal keduanya tidak mengalami perubahan sama sekali. Ketidakcocokan yang berkenaan dengan ilmu dapat disebut dengan kesalahan sedangkan yang berkenaan dengan kehendak kita sebut dengan faskh (pembatalan). Misalnya, dari kejauhan seseorang melihat sebuah bayangan yang ia yakini sebagai bayangan manusia. Namun setelah mendekat, tampaklah bahwa bayangan itu bukan manusia melainkan seekor kuda. Atau, seseorang hendak melakukan suatu pekerjaan untuk suatu mashlahah (kebaikan). Tapi, tidak lama kemudian  ia sadar bahwa lebih baik ia meninggalkannya. Kedua perubahan (ilmu dan kehendak) seperti ini mustahil terjadi pada Allah SWT. Sedangkan syafaat dan penghapusan siksa melalui syafaat tidak termasuk dari dua hal di atas, seperti yang telah Anda ketahui.”[68]

Kritik Keempat

Jika masyarakat umum mengetahui bahwa di akhirat nanti para nabi, rasul, dan orang-orang saleh akan memohonkan ampunan bagi mereka yang telah melakukan dosa selama hidupnya di dunia lewat syafaat, niscaya mereka akan berani melakukan maksiat dan menumpuk dosa dengan harapan akan mendapatkan syafaat di hari kiamat. Dan bila ini terjadi maka semua hukum dan aturan yang telah ditetapkan oleh agama akan menjadi sia-sia. Hal ini akan mengakibatkan tergoncangnya kondisi sosial kemasyarakatan, tercabiknya norma-norma yang ada di tengah masyarakat, dan terinjak-injaknya hukum Allah.

Jawaban atas Kritik Keempat

Kelemahan dan masalah terbesar yang ada pada kritikan di atas adalah ketidaktelitian dalam menangkap satu poin penting pada ayat-ayat Al Quran yang menerangkan masalah syafaat secara langsung dan ayat-ayat yang menyebutkan tentang kekalnya kaum kafir di neraka. Poin yang kami maksudkan itu adalah bahwa semua ayat tadi tidak menyebutkan secara jelas siapa saja yang bakal menerima syafaat. Selain itu, ayat-ayat tersebut juga tidak menjelaskan jenis dosa yang bisa disyafaati.
Jika demikian keadaannya, bagaimana mungkin seseorang bisa merasa yakin akan menerima syafaat dan bagaimana mungkin ia yakin bahwa dosa yang ia lakukan adalah dosa yang bisa disyafaati?
Keadaan yang seperti ini menuntut orang untuk bersikap hati-hati, jangan sampai melakukan maksiat. Karena, mungkin saja ia tidak termasuk mereka yang berhak mendapatkannya atau mungkin saja dosanya tidak termasuk dosa yang bisa disyafaati.
Ayat-ayat suci Al Quran yang menerangkan bahwa orang-orang kafir kekal di neraka dengan segala macam siksaan yang akan mereka alami dan bahwa dosa-dosa mereka tidak akan diampuni, semuanya menerangkan kriteria umum mereka yang kelak akan masuk ke dalam neraka. Sebagai contoh, Allah SWT berfirman, 
إنّ الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء
Artinya: Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki[69]
Sebagaimana yang Anda saksikan, ayat ini berbicara mengenai ampunan di hari kiamat yang tidak akan didapat oleh mereka yang mati dalam keadaan musyrik (syirik/menyekutukan Allah SWT).
Dengan melihat kenyataan yang demikian ini, bagaimana bisa dikatakan bahwa konsep syafaat dapat mendorong banyak orang untuk berani melakukan perbuatan maksiat? Sementara itu, seorang mukmin berkewajiban untuk segera bertaubat setelah melakukan perbuatan dosa demi mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Orang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari akhir akan memiliki perilaku suka bertaubat dan selalu menjaga dirinya agar tidak jatuh ke jurang maksiat. Oleh karena itu, jika suatu saat setan berhasil menggodanya sehingga melakukan perbuatan dosa maka ia akan segera sadar dan bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenarnya dan tidak mengulangi lagi perbuatan dosa tersebut.
Iman bukanlah sebuah warna yang kita lekatkan pada diri seseorang, tetapi ia merupakan bagian dari jiwa insan mukmin dan wujud dari hubungannya dengan Tuhan. Keimanan seseorang dan akan tampak dalam perilaku sosialnya dengan ketaatannya dalam melakukan semua perintah Allah SWT dan meninggalkan semua larangan-Nya.
Mungkin, hal inilah yang dimaksudkan oleh ayat berikut ini.
والذين إذا فعلوا فاحشة أو ظلموا أنفسهم ذكروا الله فاستغفروا لذنوبهم ومن يغفر الذنوب إلاّ الله ولم يصرّوا على ما فعلوا وهم يعلمون
Artinya: Dan mereka yang jika telah melakukan dosa atau menzalimi diri sendiri segera mengingat Allah dan meminta ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui[70]
Ayat ini menjelaskan tentang adanya sekelompok orang dengan kriteria tertentu tanpa menyebutkan identitas mereka dengan jelas. Ayat ini juga tidak menyebutkan dengan jelas jenis dosa dan kezaliman tersebut. Hanya saja, Allah menjelaskan bahwa kelompok ini setelah melakukan perbuatan dosa segera mengingat Allah dan meminta ampunan-Nya dengan tidak meneruskan perbuatan keji tersebut. Mereka adalah orang-orang yang dosa-dosanya  pasti akan diampuni Allah SWT. Jika mereka tidak ber-istighfar (memohon ampunan), maka janji ampunan dari Allah ini tidak akan mereka terima.
Hal yang sama juga disinggung oleh hadis berikut ini. Ali bin Ibrahim meriwayatkan dari Muhammad bin Isa dari Yunus, dari Abdullah bin Sinan. Dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah Imam Ja’far Shadiq a.s. mengenai seorang yang melakukan perbuatan dosa besar lalu meninggal dunia. Apakah dosanya itu bisa mengeluarkannya dari agama Islam? Jika kelak ia mendapat siksa, apakah siksaannya sama dengan siksaan kaum kaum kafir dan musyrik, atau mungkin ia hanya sementara berada di neraka? Beliau a.s. menjawab,
من ارتكب كبيرة من الكبائر فزعم أنّها حلال أخرجه ذلك من الإسلام وعذّب أشدّ العذاب , وإن كان معترفا أنّه أذنب ومات عليه -أي مصرّا على الذنب- أخرجه من الإيمان ولم يخرجه من الإسلام وكان عذابه أهون من عذاب الأول
Artinya: Jika seorang melakukan dosa besar dan menganggapnya sebagai suatu perbuatan halal,  ia sudah keluar dari Islam dan akan mendapat siksaan yang sangat pedih. Namun, jika ia melakukannya dengan mengakui bahwa perbuatannya itu salah, lalu meninggal dunia –dalam keadaan terus-menerus melakukannya-- dia telah kehilangan keimanannya tapi tidak keluar dari agama Islam. Siksaan yang akan ia dapat lebih ringan dari siksaan orang yang pertama. [71]

Kritik Kelima

Memang secara logis, konsep syafaat bisa dibenarkan dengan merujuk ayat-ayat suci Al Quran Al-Karim. Tetapi, dalam prakteknya hal itu tidak mungkin terjadi. Sebab, Al Quran dalam ayat yang lain menafikan syafaat secara mutlak, seperti firman Allah SWT,
..لا بيع فيه ولا خلّة ولا شفاعة
Artinya: …hari itu tidak ada jual-beli, persahabatan dan syafaat.[72]
Ayat yang lain memberikan catatan bahwa syafaat harus disertai izin Allah, (إلاّ بإذنه .. ) [73] atau dengan catatan bagi mereka yang telah Dia ridhai ( إلاّ لمن ارتضى .. ) [74]. Ayat-ayat tersebut tidak dengan jelas menunjukkan bahwa dalam prakteknya syafaat memang akan ada di akhirat nanti. Singkatnya, Al Quran Al-Karim terkadang menafikan syafaat secara mutlak dan terkadang dengan catatan keridhaan Allah SWT, dan ada pula ayat yang menyebutkan bahwa syafaat tidak berguna sama sekali di akhirat, seperti firman Allah,
... فما تنفعهم شفاعة الشّافعين
Artinya: …maka tidak berguna bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberi syafaat.[75]

Jawaban atas Kritik Kelima

Jawaban singkat untuk kritik kelima ini adalah bahwa ayat-ayat tersebut di atas tidak menafikan syafaat secara mutlak. Ayat-ayat tadi hanya mengecualikan syafaat bagi sebagian orang. Pengecualian seperti ini kita dapatkan dalam banyak ayat suci Al Quran Al-Karim.
Berkenaan dengan pernyataan bahwa syafaat hanya bisa berlaku dengan izin Allah dan diberikan kepada orang yang Dia ridhai, hal ini justeru menguatkan klaim kita tentang syafaat yang benar-benar akan diperoleh di hari kiamat. Kesimpulan yang kita ambil ini, berlawanan dengan apa yang dipahami oleh mereka yang menafikan syafaat, dengan berdalilkan ayat, فما تنفعهم شفاعة الشّافعين “…maka tidak berguna bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberi syafaat."
Berargumen dengan ayat ini untuk menafikan syafaat adalah tindakan yang salah. Sebab, ayat-ayat sebelumnya menerangkan tentang keadaan kaum durjana yang berada di neraka Saqar. Mari kita simak bersama-sama ayat-ayat tersebut.
كلّ نفس بما كسبت رهينة , إلاّ أصحاب اليمين , في جنّات يتساءلون عن المجرمين , ما سلككم من سقر , قالوا لم نك من المصلّين , و لم نك نطعم المسكين , و كنّا نخوض مع الخائضين , وكنّا نكذّب بيوم الدّين , حتى أتانا اليقين , فما تنفعهم شفاعة الشّافعين .
Artinya: Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya, kecuali Ashhabul Yamin (golongan kanan). Mereka di dalam surga bertanya-tanya mengenai keadaan orang-orang yang durjana. “Apakah gerangan yang memasukkan kalian ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat. Kami tidak pula memberi makan orang-orang miskin. Kami selalu membicarakan sesuatu yang bathil. Dan kami telah mendustakan hari pembalasan, hingga kematian datang kepada kami.” Maka tidaklah berguna bagi mereka syafaat para pemberi syafaat[76]
Dengan melihat kesemua ayat ini jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ayat “Maka tidak berguna syafaat para pemberi syafaat” adalah orang-orang yang tinggal di Saqar. Mereka adalah kaum durjana yang tidak mengerjakan salat dan mendustakan hari pembalasan sampai ajal menjemput mereka. Setelah masuk ke dalam Saqar karena dosa-dosa tersebut, saat itu syafaat tidak lagi berguna bagi mereka.
Kesimpulan dari semua kritik dan jawaban yang telah kami berikan adalah bahwa syafaat tidak berarti dualime dalam balasan yang diberikan Tuhan atas satu perbuatan. Seperti halnya syafaat juga tidak bertentangan dengan keadilan Allah, bahkan syafaat menunjukkan akan keadilan Ilahi tersebut sebab ia adalah janji-Nya. Dengan menepati janji tersebut berarti Allah telah bersikap adil.
Selain itu, syafaat tidak berarti adanya ilmu baru bagi Allah atau urungnya niat Allah dalam melakukan sesuatu. Syafaat telah telah diketahui oleh Allah SWT sejak azal (awal). Mengetahui konsep syafaat tidak mendorong seseorang untuk berbuat maksiat bahkan menuntutnya untuk selalu berhati-hati agar tidak terjatuh ke dalam lumpur maksiat dan dosa, sebab Al Quran tidak menerangkan dengan jelas dosa-dosa apakah yang dapat disyafaati.
Selain secara konsep syafaat bisa diterima, juga dalam prakteknya hal itu pasti akan terjadi. Namun, ada beberapa kelompok yang disebut oleh Al Quran sebagai kelompok yang tidak akan menerimanya. Syafaat tidak akan berguna atau diberikan kecuali dengan izin dan keridhaan Allah SWT.
Imam Ali bin Musa Al-Ridha a.s. meriwayatkan dari ayah dan kakeknya bahwa Rasulullah SAWW bersabda,
من لا يؤمن بشفاعتي فلا أناله شفاعتي - إلى قوله - إنما شفاعتي لأهل الكبائر من أمتي فأما المحسنون فما عليهم من سبيل
Artinya: Orang yang tidak percaya akan syafaatku, ia tidak akan mendapatkannya –sampai kemudian beliau SAWW bersabda- Sesungguhnya syafaatku diperuntukkan bagi para pendosa dari umatku. Sedangkan umatku yang baik dan tidak berdosa, mereka tidak lagi memerlukannya.
Husain bin Khalid berkata, “Aku bertanya kepada Imam Ridha a.s., “Wahai putra Rasulullah, lalu apa arti dari firman Allah SWT ولا يشفعون إلاّ لمن ارتضى “Mereka tidak memberikan syafaat kecuali kepada orang yang telah diridhai”.[77] Beliau menjawab,
لا يشفعون إلاّ لمن ارتضى الله دينه
Artinya: Mereka tidak memberikan syafaat kecuali kepada orang yang Allah telah meridhai agamanya. "[78]

Tidak ada komentar: