Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

14 November 2010

TAKDIR MANUSIA BAG.IVOLEH MURTHADA MUTHAHHARI


BAGIAN KEEMPAT

Penutup


Di Saat Pengetahuan Allah Berbalik Menjadi Ketidaktahuan

Pada akhir pembahasan ini, tidak ada salahnya kita menunjuk kepada kemusykilan-kemusykilan kaum Jabariyah yang paling terkenal, untuk kita analisis bersama agar jawaban atasnya menjadi jelas. Kaum Jabariyah menyebutkan berbagai dalil dan bukti secara aqli (rasional) maupunnaqli (nukilan dari Al-Quran, hadis dan sebagainya), untuk menguatkan anggapan mereka. Mereka berpegang pada beberapa ayat tentang qadhadan qadar dalam Al-Quran dan kadang-kadang beberapa hadis dinukilkan dari Rasul yang mulia saw. ataupun dari para Imam di bidang ini.

Cukup banyak dalil aqli dikemukakan oleh kaum Jabariyah untuk menguatkan anggapan mereka ini.[1] Syubhah (keraguan argumentatif) paling terkenal dari paham Jabariyah ialah yang berkaitan dengan qadha dan qadar dalam pengertian konsep Ilahi atau ilmu Allah. Yaitu bahwa Allah SWT adalah 'Alim (Zat Yang Maha Mengetahui) tentang segala yang telah dan akan terjadi secara azali (sejak permulaan zaman); tak sesuatu pun tersembunyi bagi Allah dan Ilmu-Nya yang azali. Dari segi lainnya pula, ilmu Allah tidak mengalami perubahan ataupun pertentangan dengan yang telah terjadi. Karena itu, suatu kejadian tidak mungkin berubah bentuk menjadi sesuatu lainnya, sebab perubahan seperti itu bertentangan dengan kesempurnaan dan kelengkapan Zat Wajibul Wujud (yakni Allah SWT). Tidak mungkin pula pengetahuan-Nya, sejak azali, bertentangan dengan apa yang terjadi, sebab yang demikian itu berarti bahwa pengetahuan-Nya itu bukan pengetahuan, melainkan ketidaktahuan (kebodohan). Ini pun berlawanan dengan kesempurnaan dan kelengkapan Wujud yang mutlak.
Berdasarkan kedua muqaddimah (premise) ini:
a. bahwa Allah Maha mengetahui segalanya;
b. bahwa ilmu Allah tidak dapat tersentuh perubahan dan tantangan.
Maka tidak diragukan lagi kita beroleh natijah (konklusi) bahwa semua peristiwa dan kejadian di alam ini harus berlangsung dengan cara yang bersesuaian dengan ilmu (pengetahuan) Allah, secara terpaksa dan deterministis.
Khususnya bila kita tambahkan lagi bahwa ilmu Ilahi adalah ilmu yang aktif dan positif, yakni pengetahuan yang merupakan sumber dari segala yang diketahui; bukannya pengetahuan yang reaktif dan pasif, yakni pengetahuan yang memperoleh esensinya dari esensi sesuatu lainnya yang diketahui sebelumnya, seperti pengetahuan manusia akan kejadian-kejadian alamiah.
Berdasarkan itu, seandainya seseorang tertentu; menurut ilmu yang azali, akan melakukan pelanggaran maksiat tertentu pada jam tertentu, maka pelanggaran itu pasti terjadi secara deterministis dan terpaksa dan dengan cara seperti yang telah ditentukan itu. Tak ada kemungkinan bagi si pelaku tersebut untuk mengubahnya ke dalam bentuk yang lain, bahkan tak ada kekuatan apa pun dalam bentuk yang lain, bahkan tak ada kekuatan apapun dalam wujud ini yang mampu mengubahnya. Atau, jika tidak demikian, maka pengetahuan Allah akan beralih menjadi ketidaktahuan (kebodohan)!!
Umar Khayyam berkata dalam syairnya:
Sungguh nikmat mereguk minuman khamr,
bagi mereka yang terbiasa meminumnya.
Allah telah mengetahui perbuatan ini.
Jika Anda kini menolaknya, hai kawan,
Pengetahuan-Nya itu beralih menjadi ketidaktahuan.
Jawaban atas syubhah (keraguan argumentatif) ini sungguh mudah bagi yang telah menguasai pengertian yang benar tentang qadha danqadar. Sebab, syubhah itu muncul hanya setelah diadakannya pertimbangan terpisah antara pengetahuan Allah di satu pihak, dan sistem sebab-akibat di pihak lainnya. Dalam arti bahwa ilmu (pengetahuan) Ilahi, di masa azali, diperkirakan telah berkaitan secara kebetulan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa dan ciptaan-ciptaan. Nah, agar pengetahuan ini benar-benar menjadi pengetahuan, dan agar tidak terjadi sesuatu yang lain daripadanya, haruslah pengetahuan Ilahi ini memaksakan kekuasaannya atas sistem alami, dan menundukannya di bawah pengawasan amat ketat, sehingga ia bersesuaian dengan konsep dan perencanaan yang telah mendahuluinya itu.
Dengan kata lain, diperkirakanlah bahwa pengetahuan Ilahi, dengan mengabaikan sistem sebab-akibat, telah berkaitan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa maupun dengan tidak terjadinya; dan bahwa sudah seharusnya menjadikan pengetahuan ini dengan cara apa pun, bersesuaian antara 'yang diketahui' dan 'yang terjadi'. Untuk itu, haruslah diadakan pengaturan sistem sebab-akibat di alam ini, sehingga pada beberapa konteks kejadian, sistem ini harus dicegah dari aktifitasnya yang menurut wataknya dapat memberikan pengaruh. Atau harus dilakukan pembatalan aktifitas kehendak dan ikhtiar siapa saja yang ingin menggunakan keduanya. Agar dengan demikian, segala sesuatu yang telah ada dalam pengetahuan Allah yang azali, menjadi sesuai dengan apa yang terjadi dan tidak berlawanan dengannya. Untuk itu, haruslah terjadi pencabutan ikhtiar, kebebasan, kemampuan dan kemauan diri manusia, agar semua perbuatannya berada di bawah kekuasaan Ilahi dan agar pengetahuan Allah tidak berubah atau beralih menjadi ketidaktahuan.
Konsep mengenai pengetahuan Ilahi seperti ini, adalah puncak kejahilan dan ketidaktahuan! Mungkinkah pengetahuan Allah berkaitan, secara kebetulan, dengan terjadi atau tidak terjadinya peristiwa-peristiwa. Lagi pula, supaya pengetahuan itu bersesuaian dengan kenyataan yang terjadi, maka ia (yakni pengetahuan Ilahi), harus bertindak mencampuri urusan sistem sebab-akibat yang teratur rapi dan pasti, lalu melakukan perubahan-perubahan padanya serta menghapus beberapa khasiat (karakteristik) berbagai tabiat, atau mencabut ikhtiar dan kebebasan si pelaku yang seharusnya memiliki ikhtiar itu?! [2]
Pada hakikatnya, pengetahuan Ilahi yang azali tidak terpisah dari sistem sebab-akibat yang berlaku atas alam semesta ini. Pengetahuan Ilahi adalah pengetahuan akan sistem tersebut. Dan yang termasuk kepentingan dan keharusan pengetahuan Ilahi adalah seluruh alam ini beserta sistem-sistem tersebut. Pengetahuan Ilahi tidaklah berkaitan dengan terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa secara langsung dan tanpa lantaran. Melainkan, ia berkaitan dengan suatu peristiwa, hanya melalui sebab dan pelaku khususnya. Keterikatannya dengan itu Tidaklah bersifat mutlak, tanpa berkaitan dengan sebab-sebabnya.
Sebab-sebab dan lantaran-lantaran itupun berbeda-beda, di antaranya ada yang kausalitas dan aktifitasnya bersifat alamiah. Ada yang bersifat emosional, ada yang bersifat majbur (terpaksa) dan ada pula yang bersifat berikhtiar (bebas memilih).
Yang diharuskan oleh pengetahuan Ilahi adalah timbulnya pengaruh aktifator yang bersifat alami dari aktifator yang alami itu sendiri, timbulnyapengaruh aktifator emosional dari aktifator yang emosional, timbulnya pengaruh aktifator majbur dari yang majbur, dan timbulnya pengaruhaktifator berikhtiar dari yang berikhtiar. Jadi, tidak ada kepentingan dan keharusan pengetahuan Ilahi pada timbulnya pengaruh aktifator yang sama sekali bebas dai aktifator tersebut, secara paksa dan deterministis.
Dengan kata lain, ilmu (pengetahuan) Ilahi yang azali adalah pengetahuan sepenuhnya akan sistem tersebut, yakni timbulnya akibat-akibat dari sebab-sebabnya yang khusus. Sehubungan dengan itu, dan mengingat adanya perbedaan jenis berbagai sebab itu dalam sistem alam rill atau alam eksternal, yakni yang bersifat alamiah, emosional, berikhtiar ataupun majbur, maka sistem yang berkaitan dengan ilmu Ilahi pun memiliki asas yang sama, dalam arti keharusan adanya setiap aktifator tertentu dalam alam ilmu Ilahi, seperti adanya masing-masing aktifator dalam alam riil. Sebaliknya, mengingat adanya aktifator tersebut di alam ilmu Ilahi, seharusnyalah ia juga ada di alam riil. Ilmu Ilahi yang berkaitan dengan timbulnya pengaruh dari suatu aktifator adalah dalam arti bahwa ia berkaitan dengan timbulnya pengaruh aktifator yang bebas dari suatu aktifator yang bebas, serta pengaruh aktifator yang majbur dari suatu aktifator yang majbur. Adapun yang merupakan kepentingan dan keharusan ilmu Ilahi ialah timbulnya tindakan aktifator yang bebas dari suatu aktifator yang bebas serta tindakan aktifator yang majbur dari aktifator yangmajbur; dan bukannya memaksa aktifator yang bebas menjadi majbur dan yang majbur menjadi bebas.
Manusia dalam sistem alam semesta, seperti yang telah kami uraikan sebelum ini, dari sejak semula telah memiliki sejenis kebebasan dan ikhtiar serta kemampuan tertentu dalam aktifitasnya. Kemampuan-kemampuan seperti itu tidak terdapat pada maujud-maujud lainnya, termasuk binatang. Dan mengingat bahwa eksistensi sistem alam riil bersumber pada sistem ilmu Ilahi, dan bahwa sumber alam ciptaan adalah alam Rabbani (Ketuhanan), maka pengetahuan azali yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia berarti bahwa Ia mengetahui, sejak mula pertama, tentang siapa-siapa yang akan taat, dengan ikhtiar dan kebebasannya, dan siapa-siapa yang bermaksiat, dengan kebebasannya pula. Jadi, yang merupakan keharusan dan konsekuensi ilmu tersebut ialah adanya ketaatan dari orang yang taat, dengan kemauannya sendiri; ataupun maksiat dari si pelaku maksiat, dengan kemauannya sendiri pula. Inilah makna ucapan sebagian orang bahwa "manusia adalah makhluk yangmukhtar dan ijbar", yakni memiliki kebebasan secara terpaksa. Maka ia tak mungkin kecuali menjadi mukhtar (bebas). Ilmu Ilahi yang azali tidak sedikit pun ikut campur dalam mencabut kebebasan dan ikhtiar dari siapa pun yang dalam sistem Ilmu Ilahi dan sistem riil telah ditetapkan menjadimukhtar (memiliki ikhtiar). Ilmu Ilahi itu juga tidak sedikit pun berkepentingan dalam pencabutan ikhtiar dan kebebasan manusia dengan cara memaksanya agar berbuat ketaatan ataupun kemaksiatan.
Berdasarkan ini, maka benarlah kedua muqaddimah (premise) yang telah disebutkan sebelum ini, tiada keraguan lagi padanya. Demikian pula halnya dengan pokok masalah yang kami tambahkan, yaitu bahwa ilmu Allah adalah aktifdan positif bukannya reaktif dan pasif. Akan tetapi hal ini tidak harus berarti bahwa manusia bersifat majbur dan tidak memiliki ikhtiar, dan bahwa disaat melakukan kemaksiatan, ia berada di bawah paksaan untuk bermaksiat, dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi daripadanya. Yang benar ialah bahwa maujud, yang telah dicipta dalam tatanan alam semesta sebagai sesuatu yang memiliki kebebasan, ia pulalah yang dalam tatanan ilmu Ilahi bersifat bebas dan berikhtiar. Jika ia melakukan sesuatu secara deterministis, hal ini justru berarti bahwa pengetahuan Allah telah beralih menjadi ketidaktahuan. Karena itu, kita harus mengajukan pertanyaan kepada si penyair, yang berkata: "....Allah telah mengetahui ini...," apa sebenarnya yang diketahui oleh Allah sejak azali? Apakah perbuatan minum khamr yang bersifat sukarela dan sesuai dengan kecenderungan kemauan serta pilihan pribadi tanpa paksaan, ataukah yang bersifat paksaan oleh suatu kekuatan yang berada di luar keberadaan manusia?
Sesungguhnya yang telah diketahui oleh Allah SWT sejak azali, bukannya adanya perbuatan minum khamr yang dipaksakan, ataupun sebarang minum khamr, melainkan perbuatan minum secara sukarela (ikhtiari). Oleh sebab pengetahuan Allah seperti itulah, maka seandainya orang tersebut dipaksa, dijadikan majbur untuk tidak minum, atau sebaliknya, dipaksa untuk minum, hal ini tentunya mengalihkan dan mengubah pengetahuan Allah menjadi ketidaktahuan.
Kesimpulan yang bisa ditarik berdasarkan hal tersebut adalah, bahwa pengetahuan Allah yang azali tentang perbuatan-perbuatan segala sesuatu yang ada di alam ini, dan yang memiliki kemauan dan ikhtiar, sama sekali bukanlah jabr (determinisme), melainkan justru berlawanan dengan jabr. Sebab, konsekuensi ilmi Ilahi ialah tetapnya sesuatu yang mukhtar (yang memiliki kebebasan memilih) menjadi mukhtar, secara tetap dan pasti.
Karena itu, dapatlah dibenarkan ucapan si penyair:
Menjadikan dosa sebagai sesuatu
yang disebabkan oleh pengetahuan Ilahi.
Menurut anggapan orang berakal
adalah sama dengan ketidaktahuan.
Semua ini perlu disertai catatan seandainya bidang pembahasan kita sekarang ini adalah pengetahuan Ilahi yang azali dan terdahulu, seperti yang disebutkan dalam Al-Quran al-Karim dengan nama Al-Kitab, al-Lauh al-Mahfuzh, Qalam dan lain sebagainya; dan seandainya yang menjadi kemusykilan adalah ilmu ini pula.
Namun seandainya kita tidak menganggap semua maujud serta sistem sebab-akibat di alam ini seluruhnya sebagai suatu obyek yang diketahui oleh Allah SWT dengan ilmu-Nya yang azali pun, pada hakikatnya, sistem yang telah diketahui oleh Allah ini adalah bagian dari ilmu Allah juga.
Alam semesta ini, sengan segala sistemnya adalah ilmu Allah, Sang Pencipta Agung, dan juga merupakan suatu obyek yang diketahui-Nya. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa Zat-Nya meliputi zat-zat segala sesuatu, sejak azali sampai abadi, dan bahwa zat segala sesuatu selalu hadir di hadapan-Nya. Tak mungkin ada suatu maujud, di antara maujud-maujud di seluruh alam semesta ini, yang tersembunyi daripada-Nya. Sungguh, Ia berada di setiap tempat dan meliputi segala sesuatunya (imanen).
Kemanapun kamu berpaling, di sana wajah Allah. (QS 2 :115)
Kami, Allah lebih dekat kepadanya dari urat lehernya. (QS 50 : 16)
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia tahu segala sesuatu. (QS 57 : 3)
Atas dasar ini, alam beserta segala segala karakteristik dan tatananya, termasuk dalam peringkat ilmu pengetahuan Allah SWT. Pada peringkat pengetahuan ini, pengetahuan dan segala obyek yang diketahui adalah satu, tak terbilang, sehingga tidaklah perlu adanya hipotesis tentang ada atau tidaknya keserasian antara pengetahuan yang diketahui, ataupun timbulnya pernyataan: "Jika terjadi yang 'ini', maka pengetahuan Allah adalah benar-benar pengetahuan, tapi jika terjadi yang 'itu', maka hal tersebut menunjukkan ketidaktahuan-Nya...."[]

[1] Kesemuanya telah kami sebutkan dan kami sanggah dalam berbagai catatan pinggir buku Ushulul Falsafah, jilid 3.
[2] Karena itulah, kami meragukan bahwa syair yang telah kami nukilkan sebelum ini benar-benar merupakan ucapan Umar Khayyam yang, paling sedikit, adalah seorang "setengah filosof". Mungkin saja itu adalah syair yang dinisbahkan kepadanya setelah ia tiada. Atau, mungkin saja itu benar-benar merupakan ucapannya, hanya saja waktu itu ia tidak bermaksud berbicara dengan sungguh-sungguh dan secara filosofis, melainkan ia hanya ingin memberikan bentuk syair pada salah satu khayalannya. Memang seringkali kita jumpai banyak peneliti dan pemikir, pada saat memasuki dunia syair, meninggalkan pikiran-pikiran ilmiah dan filosofis, lalu menciptakan selubung-selubung syair yang indah untuk khayalan-khayalan lembut mereka. Dengan kata Lain, mereka berbicara sebagai sastrawan dan bukannya sebagai ilmuwan. Demikian itu yang sering kita lihat pada berbagai syair yang dinisbahkan kepada Umar Khayyam. Kemasyhuran amat luas yang diraih oleh Khayyam adalah berkat penggambaran-penggambaran seperti itu, yang tertuang dalam susunan kata-kata yang indah.

Tidak ada komentar: