Ali disisi Rasulullah Seperti Musa dg Harun hanya Tak ada Nabi Lagi Setelahnya

14 November 2010

BAGIAN KETIGA

Al-Quran, Hadis, dan Ucapan Para Imam Tentang Takdir

Saat TerIaksananya Qadha

Dalam berita-berita yang berkenaan dengan Rasul mulia saw. dan para imam yang tersucikan (aIaihimussalam), tampak bahwa bilamana qadha dan qadar berIangsung, semua sebab dan Iantaran, khususnya akal dan kekuatan-pengeloIaan manusia, akan kehilangan pengaruhnya. Pengertian tentang ini dikenal secara luas dalam kesusasteraan Arab dan Parsi.
Kitab al-Jami' al-Shaghir juga menyebutkan beberapa hadis Rasulullah saw. antara Lain:
Sesungguhnya bilamana Allah SWT menghendaki terIaksananya sesuatu, diperintahkan-Nya agar akal orang-orang yang bersangkutan dicabut sampai terIaksananya hal tersebut. Setelah hal itu selesai terIaksana, dikembahkanIah akal mereka dan timbulIah penyesaIan.
Demikian pula, Imam Ali Ridha (alaihissalam) berkata:[1] "Bilamana Allah SWT menghendaki sesuatu, dicabut-Nya akal para hamba-Nya sampai terIaksananya kehendak-Nya itu; setelah itu dikembalikan-Nya semua akal kepada pemiliknya yang segera akan bertanya-tanya: "Bagaimana hal ini terjadi? Dari manakah ini?".

Penyair Parsi, Hakiim MauIawi, pernah berkata dalam syairnya:
Bila qadha berIaku,
arah pikiran tak menentu jadinya.
Hanya Dialah yang mengetahui segala rahasianya.
Tiada mata mana pun mampu melihat
akal pun gagal memisahkan bawah dari atasnya.
ItuIah sebabnya Ali berujar:
Bila datang qadha, mata tertutup.
Bila segalanya telah berLalu
sesal pun datang waIau tak berguna.
Tiada tampak kecnali kulit yang tipis
Tiada jelas Lagi Iawan atau pun kawan.
Tabib yang mahir dalam kebingungan
Obat yang manjur kehilangan kemanjurannya.

KemusykiIan yang tampak di sini ialah bahwa nash-nash ini menegaskan bahwa takdir dapat membatalkan hukum sebab-akibat yang umum, dan menjadikannya sebagai salah satu dari faktor-faktor penentu di seluruh alam; bahkan lebih kuat daripada semua faktor Lainnya. Hal ini bertentangan dengan apa yang telah disebutkan sebelum ini, yang dikuatkan oleh berbagai riwayat, ayat dan hadis, serta ucapan para imam, yakni bahwa qadha dan qadar tak mengakibatkan sesuatu kecuali lewat saluran sebab-sebab dan Iantaran-Iantaran. Seperti yang pernah diberitakan: "Allah Tidaklah menghendaki berIangsungnya segala sesuatu kecuali dengan sebab-sebabnya." Atau dalam riwayat Lain. "Allah Tidaklah menghendaki kecuali terjadinya segala sesuatu dengan sebab-sebab. Untuk itu, dijadikan-Nya sebab-sebab bagi segala sesuatu. Dijadikan-Nya penjelasan bagi segala sebab, dijadikan-Nya ilmu bagi segala penjelasan, dan 'pintu yang berbicara' bagi setiap ilmu."[2]

KemusykiIan Lainnya yang tampak pada riwayat-riwayat seperti ini ialah bahwa isinya bertentangan dengan berIakunya qadha dan qadar secara umum seperti yang ditegaskan dengan jelas oleh Al-Quran. Jadi, jika segala sesuatu berada di tangan qadha dan qadar Ilahi dan tak sekejap pun berLalu tanpa qadha dan qadar, apakah makna ucapan: "Bila qadha berIaku ..." dan seterusnya? Di samping makna tersebut dalam hadis, ucapan para imam dan dalam ucapan-ucapan Lainnya itu bertentangan dengan sistem kausal, ia juga bertentangan dengan sifat umum qadha dan qadar, sebab makna yang dapat dipahami dari ucapan-ucapan tersebut ialah bahwa qadha dan qadar hanya ikut campur pada beberapa waktu tertentu saja; dan di saat seperti itu, terhentiIah segala sesuatu, akal dalam kebingungan, mata tak Lagi melihat, obat-obat pun kehilangan efektifitasnya!

Apa yang harus kita katakan tentang ini? Apakah riwayat-riwayat ini tidak sejalan dengan ruh Islami dan hanya dibuat-buat (dipalsukan) oleh kalangan Jabariyah, ataukah memiliki penafsiran Lain yang benar?

Aku percaya bahwa riwayat-riwayat ini memandang ke arah topik yang benar, tidak bertentangan dengan sifat umum teori kausal atau qadha dan qadar.
Ia memasukkan ke dalam pertimbangannya, keseluruhan sistem yang berIaku bagi alam ini serta keseluruhan sebab-sebab dan akibat-akibat, baik yang bersifat material atau spiritual, sebagaimana ia juga memandang ke arah fenomena-fenomena yang di dalamnya sebab-sebab spiritual lebih kuat (lebih berkuasa) daripada sebab-sebab material.

Seperti yang telah kami katakan dalam uraian-uraian sebelum ini, sebab-sebab yang berIaku di alam ini bukan hanya bersifat material saja, melainkan, sistem yang paling sempurna ini, terdiri atas keseluruhan sebab dan Iantaran, yang Iahir maupun yang tersembunyi. Sebagaimana sebab-sebab material yang bersifat inderawi dapat saling mempengaruhi atau saling melumpuhkan sehingga tidak Lagi dapat berpengaruh, demikian pula sebab-sebab material itu, pada berbagai fenomena, berhenti bekerja dengan adanya pengaruh faktor-faktor spiritual. Orang yang tidak melihat di hadapannya kecuali sebab-sebab material yang bersifat inderawi saja, membayangkan bahwa sebabnya hanya terbatas pada sebab-sebab material tersebut sambil melupakan bahwa masih ada beribu-ribu sebab dan Iantaran Lainnya yang memiliki keefektifan sesuai dengan hukum qadha dan qadar, dan yang setiap kali ia ikut campur, segera mengakibatkan berhentinya sebab-sebab material dari keefektifannya. Makna seperti ini telah disebutkan dalam Al-Quran dengan uraian yang lebih gamblang dan lebih terpusat daripada yang tersebut dalam hadis-hadis. Misalnya, mengenai beberapa peristiwa perang badr, Allah SWT berfirman:

IngatIah, ketika kamu bertemu dengan musuhmu, Dia memperlihatkan mereka kepadamu sedikit jumIahnya di matamu, dan Ia mengecilkan jumIahmu di mata mereka, supaya Allah meIaksanakan keputusan yang harus dijalankan; dan kepada Allah dikembalikan segala urusan. (QS 8 : 44)
Ayat ini menyebutkan salah satu peristiwa yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang lebih kuatnya sebab-sebab spiritual daripada sebab-sebab material.

Pada saat suatu umat sudah Layak menerima kemenangan dan dukungan Ilahi, sebagai hasil telah berjalannya mereka di atas jalan kebenaran dan keadiIan, sementara di hadapannya ada umat Lainnya yang Layak untuk diteIantarkan dan dimusnahkan, maka sistem yang cermat dan sempurna di alam ini akan berdiri di samping barisan umat yang pertama, kendatipun lebih sedikit jumIah pasukan serta peraIatan materialnya dan, bersamaan dengan itu, menetapkan kekalahan dan kehancuran atas umat yang Lainnya kendatipun memiliki sarana dan prasarana material yang lebih sempurna. Allah SWT berfirman pula:
"... Barangsiapa tawakkal kepada Allah, cukupIah Ia baginya. Sungguh Allah meIaksanakan keputusan-Nya, dan bagi segala sesuatu, Allah telah menjadikan ketentuan." (QS 65 : 3)

Pada ujung ayat tersebut, yakni dalam ungkapan: "Bagi segala suatu, Allah telah menjadikan ketentuan", Ia menyebutkan dengan gamblang sistem yang berIaku di alam semesta, dan bahwa tak ada sesuatu pun terjadi di alam ini tanpa sebab dan tujuan serta bahwa segala sesuatu diletakkan pada tingkatan dan lingkupnya yang khusus. Hal ini menandakan adanya sistem sebab-akibat dan di waktu yang bersamaan menandaskan. bahwa Allah SWT pasti meIaksanakan urusan-Nya; dalam arti bahwa pada saat masuknya faktor-faktor dan ikatan-ikatan spiritual serta dukungan Ilahi, maka akan terjadi sesuatu Lain yang akan melumpuhkan sebab-sebab Iahiriah dari kegiatan dan keefektifannya.

Perbedaan antara Kedua Aliran Pemikiran

Telah kami sebutkan sebelum ini, bahwa materialis dan ateis, demikian pula sebagian kaum nasrani yang menentang Islam, telah mengkrmk Islam dengan menjadikan konsep qadha dan qadar sebagai aIat untuk menyerang Islam. Konsekuensi kepercayaan kepada qadha dan qadar ialah timbulnya perasaan pada diri manusia bahwa ia terbelenggu dan terpaksa; dan Selanjutnya membuatnya lupa akan kewajibannya untuk mewujudkan dan membina hidup yang lebih baik bagi masyarakat. Sebaliknya, ia akan menghabiskan usianya dalam keadaan menunggu takdir yang deterministik itu.

Telah kami katakan pula, bahwa kekeliruan ini timbul sebagai akibat pencampuradukan kepercayaan lepada takdir dengan kepercayaan kepada jabr (determinisme). Determinisme berarti hilangnya iradat (kehendak) dan ikhtiar (kebebasan memilih), dan bahwa manusia bukanlah peIaku yang hakiki bagi perbuatannya sendiri, dan bahwa sifat-sifat diri serta kemampuan mentalnya tidak memiliki pengaruh apa pun atas nasibnya. Manusia bukan saja seperti seekor burung beo yang hanya pandai mengulang-ulang segala yang dikatakan kepadanya dari balik tirai gaib, melainkan lebih dari itu peIaku sebenarnya dari pengulang-ulangannya itu pun bukan dirinya sendiri.

Padahal, sesuai dengan kepercayaan yang benar kepada qadha dan qadar; iradat dan ilmu Ilahi tidak mewajibkan terjadinya sesuatu kecuali melalui saluran sebab-sebabnya saja. Dengan kata Lain, mustahil iradat Allah melekat pada sesuatu tanpa melalui saluran sebab dan Iantarannya, mengingat yang demikian itu berlawanan dengan sifat keesaan dan keagungan Zat-Nya Yang Suci. Jadi, ilmu dan iradat Allah SWT melekat pada perbuatan manusia, juga pada kebahagiaan dan kesengsaraan (hanya) melalui Iantaran dan sebabnya yang khusus berkaitan dengannya. Qadha dan qadar-Nya yang telah menjadikan manusia terlepas bebas kedua tangannya; ia dapat memilih, merdeka dan berpengaruh atas nasib dirinya.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dalam hal ini tidak ada perbedaan antara aliran ketuhanan dan aliran materialisme. Sebab, jika terjadinya sesuatu termasuk perbuatan manusia secara definmf dan dharuri melalui Iantaran-Iantaran dan sebab-sebabnya, dianggap sama dengan jabr dan pembelengguan tangan manusia, maka kemusykiIan ini sama dihadapi oleh kedua aliran tersebut. Akan tetapi, jika ini tidak dianggap identik dengan determinisme seperti dalam kenyataannya maka dari segi ini pun tidak ada perbedaan antara keduanya. Jadi, tuduhan kaum materialis dan semua orang yang mempercayai teori kausal, terhadap kepercayaan Islam tentang qadha dan qadar, Tidaklah pada tempatnya dan hanya timbul akibat tidak atau kurangnya pengetahuan akan kenyataan yang sebenarnya.

Akan tetapi kini ingin kaini tambahkan bahwa memang antara kedua aliran pemikiran tersebut terdapat perbedaan amat penting dan berpengaruh, terutama di bidang pendidikan dan kemasyarakatan. Berdasarkan perbedaan ini, kepercayaan kepada qadha dan qadar, dari sudut pandangan ketuhanan, justru merupakan faktor pemberi pengaruh yang amat hebat, sebagai pembangkit harapan, semangat, aktifitas serta jaminan hasil karya dan usaha; berlawanan dengan pandangan materialisme yang tak memiliki kekhususan seperti ini. Perbedaan asasi ini timbul akibat adanya faktor-faktor spiritual, seperti telah kami jelaskan sebelum ini.

Faktor-faktor yang mempengaruhi gerak alam dan, secara keseluruhan, membentuk Iantaran-Iantaran dan sebab-sebab baginya serta tanda realisasi qadha dan qadar, tidak hanya terbatas pada hal-hal material saja. Masih ada Lagi sekumpulan hal spiritual yang juga merupakan bagian dari faktor-faktor yang efektif di alam ini, dan yang secara definmf berpengaruh atas perubahan nasib.
Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa perjuangan membela kebenaran dan keadiIan memiliki nilai-nilai yang meIampaui perhitungan materialistis yang dapat dicerap secara inderawi, dan bahwa alam ini tegak atas dasar kebenaran dan keadiIan, dan bahwa Allah berdiri di samping barisan orang-orang yang mempertahankan keadiIan dan kebenaran dan tidak akan menghilangkan pahala mereka masing-masing.
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, Dia akan menolong kamu dan meneguhkan tegakmu. (QS 47 : 7) Sungguh Allah membela orang yang beriman; sungguh Allah tiada menyukai siapapun yang berkhianat dan tiada berterima kasih. (QS 22 : 38) Sungguh Allah menolong orang yang menolong-Nya; sungguh Allah Maha Kuat, Maha Perkasa.(QS 22 : 40)

Di antara hal-hal yang memiliki konsekuensi amat penting adalah sikap bertawakal dan menyandarkan diri kepada Allah. Dalam arti bahwa manusia, dalam perjalanannya di atas jalan kebenaran dan keadiIan, harus tidak membiarkan sedikit pun kelemahan, keguncangan dan kemalasan menyelusup ke dalam tekadnya, baik dalam hal penolakan ataupun peneriinaan; dan agar ia selalu merasa tenang dan yakin bahwa, apabila ia terus berjalan menuju sasaran yang benar dan diridhai Allah, dan bukannya didorong oleh kepentingan-kepentingan pribadinya; juga bila ia mengarahkan segala kegiatannya demi meIaksanakan kewajiban-kewajibannya, bukannya untuk meIayani dirinya sendiri; dan juga bila ia menyerahkan segala urusannya kepada Allah semata-mata; maka ia merasa yakin bahwa Allah pasti akan menjaga, memenangkan dan mengantarkannya mencapai tujuannya.

Semuanya ini mempunyai konsekuensi khusus yang tidak mungkin dibayangkan kecuali dari sudut pandang ketuhanan yang menyadari semuanya itu sebagai bagian dari faktor-faktor penentu yang efektif dan sebagai realisasi qadha dan qadar.

Atas dasar itu, kepercayaan yang kuat dan benar kepada qadha dan qadar Ilahi akan mendorong manusia yang beriman untuk menguatkan pijakannya pada jalan kebenaran dan keadiIan, mencurahkan segala daya-upayanya, dan meyakini datangnya hasil yang diharapkan. Sebaliknya, dalam pandangan materialisme, tak ada satu hal pun dalam perundang-undangan umum (atau perilaku kebaikan yang seyogyanya dilakukan oleh manusia), yang benar-benar memiliki perhitungan (nilai) khusus di antara hukum-hukum alamiah yang berIaku. Dengan kata Lain, haq dan bathil, benar dan salah, adil dan zalim ..., semua itu dalam pandangan materialisme mempunyai konsekuensi dan pengaruh yang sama berkenaan dengan keberhasiIan atau kegagaIan seseorang. Alam bersikap netral berkenaan dengan perbuatan yang ini ataupun yang itu. Sementara dalam pandangan ketuhanan, alam ini sama sekali tidak netral berkenaan dengan hal-hal tersebut, bahkan ia berdiri di samping para pembela kebenaran dan keadiIan.

Seseorang yang percaya kepada takdir Ilahi tentu akan percaya juga kepada hikmah, rahmat, 
dan keadiIan Ilahi. Ia percaya pula bahwa seseorang yang berusaha mendapatkan ridha Allah, yaitu dengan bersungguh-sungguh mengikuti syari'at-Nya, maka akan selalu terpelihara dari penyimpangan. Kepercayaan kepada takdir dan tadbir (pengeloIaan) Ilahi seperti ini akan membuahkan sikap bertawakal dan bersandar kepada Allah SWT, dan menghilangkan rasa takut akan kematian, kehancuran, kemiskinan dan kebutuhan; serta menutup ceIah terbesar kelemahan pada diri manusia, yaitu ketakutan akan hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan.
Kepercayaan akan adanya konsekuensi lebih Ianjut dalam kehidupan di dunia seperti Inilah, yang telah mendidik kaum Muslimin pada permulaan Islam agar selalu aktif dan giat, serta mendorong mereka ke arah keberanian dan pengorbanan yang tak ada taranya di seluruh dunia.
Al-Quran al-Karim melukiskan mereka sebagai:
Orang-orang yang kepadanya dikatakan: "Orang banyak telah berkumpul melawan kamu, maka takutiIah mereka." Tapi mereka bertambah iman karenanya dan mereka berkata: "Allah cukup bagi kami dan Dia-Iah sebaik-baik pengatur segala urusan." Mereka pun kembali dengan nikmat dan karunia dari Allah, tiada bencana menyentuhnya karena mereka mengikuti keridhaan Allah, dan Allah pemilik karunia yang tiada tepermanai. (QS 3 : 173-174)

Dengan uraian tersebut, menjadi jelasIah betapa agungnya keistimewaan-keistimewaan yang dihasilkan oleh kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi yang sesuai dengan ajaran-ajaran Al-Quran al-Karim, yang dengan itu membedakannya dari kepercayaan kepada takdir yang dianut oleh kaum materialistis sesuai dengan sistem sebab-akibat yang materialistis.

Seorang materialistis, betapapun ia mempercayai mazhab dan cara hidupnya, tidak akan meIampaui kepercayaan bahwa ia akan memperoleh hasil sebesar yang diusahakannya, sesuai dengan teori mazhabnya itu. Sebaliknya, seorang Muslim yang mengimani qadha dan qadar Ilahi, percaya dan yakin bahwa alam ini telah dicipta sedemikian rupa sehingga bilamana si Muslim berjalan dengan segala kemampuannya, maka sistem sebab-akibat yang meliputi alam, pasti berdiri di sampingnya dan menjaganya dengan kekuatan dahsyat, yang perbandingannya melebihi ribuan kali kekuatan dirinya sendiri.

Bila kita memandang dengan kacamata materialistis, mengertiIah kita bahwa seorang materialis akan berpendapat bahwa seorang pembela kebenaran dan keadiIan harus mencurahkan kegiatan dan aktifitasnya serta memiliki harapan yang sama persis seperti yang dilakukan dan dimiliki si pembela kezaliman dan kebatiIan. Sebab, ia percaya bahwa gerak umum alam ini tidak beda sedikit pun terhadap kedua orang tersebut. Sedangkan, pada hakikatnya, amat besar perbedaan sikap alam terhadap kedua orang itu, bila dmnjau dari arah pandangan ketuhanan.

Logika Khusus Al-Quran

Sebelum ini, kami telah berbicara tentang awal mula pembahasan dan dialog tentang masalah determinisme dan takdir yang dilakukan oleh para ahli 'ilmul-kalam (teologi Islam), dan bahwa hal itu merupakan masalah teologis paling terdahulu, mengingat telah dimulainya pembicaraan-pembicaraan resmi mengenai masalah ini pada pertengahan abad pertama hijriah. Akan tetapi mereka tidak berhasil menjeIajahi berbagai dimensinya secara mendalam, sehingga menyebabkan mereka menyimpang dari kebenaran dan terpecah menjadi dua kelompok besar, yakni penganut aliran Jabariyah dan penganut aliran Qadariyah.

Para penganut aliran Jabariyah, disebabkan mereka melihat bahwa segala sesuatu berIangsung dengan takdir Ilahi, telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang majbur (terpaksa, tidak memiliki pilihan). Sedangkan para penganut aliran Qadariyah, disebabkan mereka melihat bahwa manusia dapat memilih dan memiliki kebebasan, mengatakan bahwa tak sesuatu pun telah ditakdirkan. Hal itu berarti bahwa para ahli 'ilmul-kalam itu sepakat bahwa takdir identik dengan jabr (determinisme), dan bahwa kebebasan manusia identik dengan penafian takdir.

Kepercayaan kepada takdir dan kebebasan sekaligus, walaupun tadinya dengan mudah dan bersahaja dapat diterima oleh kaum Muslimin di masa permulaan Islam, rupa-rupanya kini menjadi sulit untuk diterima oleh kebanyakan orang setelah dimasukkan dalam kerangka 'ilmul-kalam dan diberi warna filsafat. Sejak itu, seIama empat beIas abad kemudian, mereka tidakbisa Lagi melihatnya kecuali sebagai problem yang amat rumit dan sulit untuk diterima.

Al-Quran al-Karim dan banyak riwayat yang tak dapat diingkari di bidang ini, Nabi saw. ataupun dari para imam (aIaihimussalam), semuanya mengungkapkan dengan amat jelas dan gamblang, bahwa segala sesuatu terjadi dengan qadha dan qadar Ilahi; dan bahwa manusia adalah faktor yang berpengaruh dalam perjalanan nasibnya serta bertanggung jawab atas perbuatan dan tindakannya sendiri. Sebelum ini telah kami sebutkan contoh-contoh ayat yang menunjuk kepada kedua hal tersebut secara bersamaan; tidak perluIah kami ulangi Lagi sekarang.

Maka mulaiIah masing-masing kelompok yang bertentangan pendapat dalam persoalan ini, tampil untuk menakwilkan dan mengarahkan ayat-ayat Al-Quran al-Karim. Para pendukung aliran Jabariyah menakwilkan ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan adanya kebebasan dan tanggung jawab manusia, sedangkan para pendukung kebebasan dan ikhtiar manusia menakwilkan ayat-ayat yang menunjukkan adanya takdir umuin Ilahi.

Sudah barang tentu setelah kemusykiIan ini terpecahkan, dan tampak jelas bagi kita bahwa takdir yang bersifat umum tidak identik dengan keterpaksaan manusia, dan bahwa ikhtiar manusia tidak identik dengan penafian takdir maka kontradiksi yang diperkirakan itu dengan sendirinya telah hilang secara wajar dan ridak perlu Lagi memaksa orang untuk menakwilkan ataupun mengarahkan ayat-ayat tersebut. Misalnya, ayat-ayat Al-Quran yang menyebutkan bahwa hidayah, penyesatan, kejayaan, kemampuan, rizki dan keselamatan, bahkan kebaikan dan keburukan, semuanya itu dinisbahkan kepada kehendak Ilahi atau takdir Ilahi, seperti dalam firman-firman Allah SWT:
Maka Allah menyesatkan siapa yang Ia kehendaki dan membimbing siapa yang Ia kehendaki. (QS 14:4)
KatakanIah: "Ya Tuhan, Pemilik Kerajaan, Kau beri kerajaan kepada siapa yang Kau mau dan Kau renggutkan kerajaan dari siapa yang Kau mau, Kau beri kemuliaan kepada siapa yang Kau mau dan Kau beri kehinaan kepada siapa yang Kau mau, dalam tangan-Mu segala yang baik; sungguh Kau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS 3 : 26)
Allah, Dialah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan berlimpahan. (QS 51 : 58)
Dan di Iangit ada rizkimu dan apa yang dijanjikan kepada-Mu. (QS 51 : 22)
Atau yang diucapkan oleh Ibrahim (alaihissalam):
Dia yang menciptakan daku, Dialah yang memimpin daku, yang memberiku makan dan minum, dan apabila ku sakit, Dialah yang menyembuhkan daku ... (QS 26 : 78-80)
Atau ayat-ayat sekitar kebaikan dan kejahatan seperti:
KatakanIah, segala sesuatu berasal dari Allah. (QS 4 : 78)...
Semua ayat ini Tidaklah harus diartikan sebagai penafian ikut campumya sebab-sebab alami. Dengan demikian, tidak ada sama sekali kontradiksi antara ayat-ayat ini dengan ayat-ayat yang mendukung peranan manusia dalam soal hidayah dan kesesatan, kejayaan dan kemampuan, rizki dan keselamatan, ataupun dalam perbuatan kebaikan dan keburukan. Seperti misalnya ayat yang menyatakan:
Adapun kaum Tsamud, Kami beri mereka pimpinan, tapi mereka lebih suka kebutaan dari pimpinan. (QS 41 : 17)
Atau yang (setelah menyebutkan akibat buruk yang menimpa para Fir'aun dan pengikut mereka yang sial dan hina serta kejatuhan mereka dari puncak kejayaan ke dasar kehinaan) menyatakan:
Yang demikian itu dikarenakan Allah tiada akan mengubah nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, sebelum kaum itu mengubah apa yang ada dalam dirinya sendiri. (QS 8 : 53)
Atau ayat mulia yang menyebutkan tentang aliran determinisme yang dianut kaum musyrikin :
Dan bila dikatakan kepada mereka: "NafkahkanIah sebagian pemberian Allah kepadamu, "orang-orang yang kafir berkata kepada orangyang beriman: "Akankah kami beri makan orang yang Tuhan beri makan sekiranya Ia mau?" (QS 36 : 47)
Atau ayat yang menyatakan :
Telah tampak kerusakan di darat dan di Iaut disebabkan karena perbuatan tangan mamisia. (QS 30 : 41)

Kenyataannya, seperti yang telah kami isyaratkan sebelum ini, qadha dan qadar, kehendak, ilmu, dan 'inayah (pemeliharaan) Ilahi adalah suatu sebab dalam rangkalan sebab alami yang bersifat vertikal, dan bukannya horizontal. Keseluruhan sistem sebab-akibat yang tak terhingga itu berasal dan bersumber dari iradat, ketentuan dan takdir Ilahi, dan pengaruh yang dmmbulkan oleh sebab-sebab dan akibat-akibat ini, dalam batas-batas tertentu, pada hakikatnya adalah pengaruh yang berasal dari qadha dan qadar itu sendiri.

Karena itu, Tidaklah dapat dibenarkan sedikit pun adanya ucapan yang mempertanyakan: "Yang bagaimanakah sesuatu yang merupakan perbuatan Allah dan yang bagaimanakah yang bukan merupakan perbuatan-Nya?" Adalah suatu kesalahan besar menyatakan tentang sesuatu sebagai "bukan perbuatan seorang makhluk" setelah sebelumnya dinisbahkan kepada Allah, atau mengatakan tentang sesuatu bahwa "itu adalah perbuatan seorang makhluk" setelah dinisbahkan kepadanya dan "bukan perbuatan Allah." Membagi-bagi perbuatan antara Al-Khalik dan makhluk adalah sesuatu yang batil.

Segala sesuatu adalah perbuatan Allah, dan bersamaan dengan itu, ia adalah juga perbuatan si peIaku serta sebab yang mendahuluinya.
Diriwayatkan [3] bahwa sebuah surat pernah dikirimkan oleh Imam al-hadi [4] (alaihissalam) kepada sekelompok kaum Syi'ah mengenai persoalan jabr (determinisme), tafwidh (pendelegasian kekuasaan Ilahi) dan 'adl (keadiIan Ilahi). Dalam suratnya itu ia menyebutkan kisah seorang Iaki-Iaki bernama Ibayah yang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali (alaihissalam) tentang kemampuan manusia yang dengannya ia dapat berdiri duduk dan berbuat. Apakah manusia memiliki kemampuan dan kekuasaan atas perbuatannya? Jika demikian halnya, bagaimana caranya Allah SWT ikut campur dalam suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia dengan kemampuan dan kekuasaan-Nya?

Imam Ali (alaihissalam) balik bertanya kepadanya: "Anda menanyakan tentang kemampuan, adakah Anda memilikinya tanpa Allah atau bersama-sama (bersekutu) dengan Allah?"
Ibayah berdiam diri, kemudian Imam Ali meIanjutkan: "Bicara, wahai Ibayah!"
"Apa yang harus kukatakan?" tanya Ibayah.
"Jika Anda mengatakan bahwa anda memilikinya bersama dengan Allah, akan kuhukum Anda; dan jika Anda menyatakan telah memilikinya bukan dari Allah, anda akan kuhukum pula".
"Lalu apa yang harus kukatakan, wahai Amirul Mukminin?"
"KatakanIah bahwa Anda memilikinya dengan perkenan Allah yang memilikinya sendiri sepenuhnya. Jika Ia memberikannya untukmu, maka yang demikian itu merupakan sebagian anugerah-Nya; tetapi jika Ia mencabutnya darimu, maka yang demikian itu termasuk bala’ (ujian)-Nya. Dia-Iah Sang Pemilik pemilikan yang diberikan-Nya padamu, dan Dia-Iah Yang Berkemampuan atas kemampuan yang dikuasakan-Nya padamu..."
Alasan mengapa Imam Ali (alaihissalam) berkata kepadanya: "Jika Anda mengatakan telah memiliki kemampuan itu bersama-sama dengan Allah, Anda akan kuhukum", ialah karena ucapan seperti ini menjadikan si pemilik kemampuan sebagai sekutu Allah yang setara dengan-Nya. Ini tentunya adalah kekufuran. Demikian pula halnya dengan ucapan orang yang berkata bahwa "ia memiliki kemampuan tanpa Allah", sebab ia menganggap dirinya bebas dan mandiri dari Allah. Ini pun suatu bentuk kekufuran, sebab kebebasan atau kemandirian sepenuhnya dalam suatu persoalan berarti pula kemandirian sesuatu atau seseorang itu dalam kemaujudan dirinya (atau zatnya), di samping menafikan sifat "kemungkinan" kemampuan diri, dan sebagai gantinya, menetapkan "keharusan" kemampuan dirinya (zatnya) sendiri.
Kesimpulan dialog di atas ialah, bahwa segala pengaruh, walaupun ia dinisbahkan kepada si peIaku, pada waktu yang saina ia pun harus dinisbahkan kepada Allah dan disandarkan kepada-Nya. Bila kita menisbahkannya semata-mata kepada si peIaku sebagai pemberi pengaruh yang biasa dan alami, maka pada hakikatnya kita telah menisbahkannya kepada peIaku yang tidak bertindak dengan zatnya sendiri. Sebaliknya, bila kita menisbahkannya kepada Allah maka kita telah menisbahkannya kepada sang peIaku yang bertindak dengan zatnya sendiri.

Allah SWT yang memberi khasiat (karakteristik) dan kemampuan mempengaruhi kepada semua maujud. Akan tetapi pemberian dan pelimpahan pemilikan atau hibah dari manusia. Pemberian dan pelimpahan sesuatu dari manusia berakibat keluarnya benda tersebut dari milik si pemberi, sebab seIama belum keluar dari miliknya, ia pun tidak mungkin masuk ke dalam milik sesuatu atau seseorang Lainnya. Sedangkan pelimpahan dan pemberian Ilahi, tidak akan bertentangan sama sekali dan untuk seIama-Iamanya dengan tetapnya kemilikan Ilahi. Bahkan itu merupakan sesuatu yang tak terpisah dari pemilikan-Nya dan merupakan salah satu di antara tanda-tanda kekhususan-Nya.

Allah SWT menganugerahkan sifat mempengaruhi dan memberi bekas kepada segala sesuatu, tetapi pada waktu yang bersamaan, Ia adalah tetap sebagai Pemilik satu-satunya atas segala kekuatan, pemberi pengaruh dan bekas.
Amat banyak berita, hadis dan ucapan para Imam yang mengandung pengertian seperti ini, atau hampir sama dengan ini, yang tak mungkin diuraikan seluruhnya dalam risalah kecil ini.

Tingkatan yang Amat Tinggi

Yang sangat menimbulkan kekaguman pada diri seorang penelm yang ahli di bidang masalah-masalah tauhid adalah logika Al-Quran yang khas. Kemudian setelah itu, riwayat-riwayat yang bersumber dari Rasul yang mulia saw., Imam Ali (alaihissalam) serta para Imam Lainnya, di bidang tauhid dan ma'rifat Ilahi.

Itu semua adalah logika yang tak mungkin disejajarkan dengan logika masa itu, bahkan tak mungkin disejajarkan dengan logika masa-masa setelah itu, yakni setelah tersebar luasnya 'ilmul-kalam, filsafat dan ilniu logika. Tidak! Sungguh ia jauh lebih agung dari itu semua. Masalah nasib, qadha dan qadar serta jabr dan ikhtiar, merupakan contoh dari hal tersebut. Hal-hal ini saja sudah cukup menunjukkan bahwa Al-Quran al-Kariiri bersumber dari sumber dan persemaian yang berbeda dan jauh berada di atas sumber-sumber material ini. Manusia utama (saw.) yang melaluinya Al-Quran al-Karim diwahyukan, menyaksikan hakikat-hakikat tauhid dengan pandangan yang amat berbeda dengan pandangan mata biasa. Demikian pula, ma'rifat tentang logika dan ilmu-ilmu Al-Quran yang dimiliki oleh para tokoh Ahlul bait (keluarga Nabi, saIawat dan salam atas mereka semua), berbeda sepenuhnya dengan pengetahuan orang-orang seLain mereka.

Oleh sebab ituIah, dalam berbagai Iapangan pemikiran yang menimbulkan kebingungan di kalangan para pemikir dan orang-orang kebanyakan, kita dapat melihat tokoh-tokoh besar dari kalangan Ahlul Bait itu berhasil menyingkapkan berbagai hakikat dengan penjelasan yang mantap dan penuh hikmah. Karena itu, sungguh tak mengherankan jika kita lihat tokoh-tokoh besar seLain mereka, hatta dari kalangan Syi'ah sendiri, tidak mampu mengunyah dengan baik dan benar permasalahan-permasalahan ini tanpa diliputi oleh penyimpangan waIau hanya sedikit.[5]

Setiap kali seseorang meneIaah dan memperhatikan kembali ucapan-ucapan para ulama besar, seperti Syekh Mufid, al-Murtadha, al-AlIamah al-Hilli, al-Majlisi dan Lain-Lainnya, niscaya ia mendapati mereka telah tersentuh pengaruh pendapat-pendapat Mu’tazilah dan Asy'ariyah sampai batas-batas tertentu. Sehingga corak pemikiran mereka dekat dengan corak pemikiran kaum Mu’tazilah dan Asy'ariyah, dan terpaksa juga menakwilkan ayat-ayat Al-Quran dan riwayat-riwayat yang bersangkutan dengan masalah ini.

Jelas bahwa hal ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu kekurangan (cacat) bagi diri tokoh-tokoh ulama itu. Siapa saja, seLain mereka, yang hidup dalam situasi seperti situasi mereka itu, tidak mungkin dapat terhindar sama sekali dari pengaruh yang mereka alami. Logika seperti yang kami sebutkan, tidak tampak di bagian barat atau timur bumi kecuali dalam Al-Quran al-Karim serta putra-putranya" yang dibesarkan di bawah asuhannya, yakni para wali agama. Adapun orang-orang seLain mereka hanya mampu berjalan setahap dan seLangkah demi seLangkah dan, setelah pengamatan yang seksama serta pendalaman pemikiran atas masalah-masalah ini, seraya bersuluh dengan cahaya Al-Quran, ucapan-ucapan Nabi saw. dan para Imam (terutama Imam Ali alaihissalam) akhirnya sampaiIah mereka ke tujuan ini.

Kita dapat melihat sebagian para pemikir, yang hidup di masa sekarang, kendati dalam hal-hal Lain mereka menunjukkan keistimewaan dmnjau dari corak pemikiran dan penganalisisan mereka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, namun ketika sampai kepada persoalan-persoalan seperti ini, mereka pun kebingungan sebagaimana para ahli ilmul-kalam sebelum mereka. Sebagai contoh, dapatlah kita menyebut nama Ahmad Amin, pengarang buku-buku Fajrul Islam, Dhuhal Islam, Zhuhrul Islam dan Yaumul Islam. Harus diakui, dalam teIaah dan analisis sosialnya, Ahmad Amin telah menunjukkan keistimewaan yang cukup besar, namun tampak dengan jelas bahwa, dalam masalah-masalah seperti ini, ia telah gagal seperti kegagaIan para ahli ilmul-kalam sebelumnya. Pada akhir bukunya, Fajrul Islam, ia menulis tentang masalah ini di bawah judul "Determinisme dan Qadar". Yang dapat kita pahami setelah membacanya ialah bahwa kepercayaan kepada takdir, menurut pendapatnya, identik dengan kepercayaan kepada determinisme. Ia tidak mempercayai keshahihan riwayat-riwayat mengenai takdir, sebagaimana ia juga tidak dapat mempercayai bahwa kandungan Nahjul Balaghah adalah ucapan-ucapan Imam Ali (alaihissalam). Mungkin saja dari segi ini ia dapat dimaafkan, karena pengetahuan yang dimilikinya tidak mengizinkannya menerima hal tersebut.[6] Tidaklah dapat dimungkiri bahwa seorang ilmuwan yang tidak memiliki modal ilmu seLain ilmu-ilmu sosial yang bersifat umum, baik ia seorang yang berasal dari Eropa, Mesir atau Iran, sama sekali tidak Layak menyatakan pendapatnya dalam bidang apa pun di antara bidang-bidang sejarah ilmu-ilmu pengetahuan Islam.

Para ahli sejarah dan kaum orientalis Barat, setiap kali hendak menyatakan pendapatnya dalam masalah ini, senantiasa menggambarkan Islam, kadang-kadang, sebagai ideologi deterministik, atau mendakwakan bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar bukanlah termasuk ajaran Al-Quran dan tidak dijumpai pada awal pertumbuhan Islam. Selanjutnya, menurut mereka akidah tentang hal tersebut hanya merupakan ciptaan ahli 'ilmul-kalam belaka.
Sebagai contoh Albarmalet,[7] dalam uraiannya mengenai agama Islam, menyatakan bahwa "pokok dasar agama Islam yang asli ialah: Allah Mahaesa dan Muhammad Rasulullah, baru kemudian para ulama dan ahli 'ilmul-kalam menciptakan akidah yang menyatakan bahwa Allah telah menetapkan nasib setiap orang, sejak dahulu kala, dan bahwa kehendak-Nya sama sekali tidak dapat berubah atau berganti. Inilah perilaku determinisme." Berkata Gustav Le Bon dengan gaya seorang pembela Al-Quran:
"... .yang disebutkan dalam Al-Quran di bidang ini, tidak lebih daripada yang tersebut dalam kitab-kitab suci lainnya." Kemudian ia menyebutkan beberapa ayat Al-Quran dan, setelah membahas beberapa masalah, selanjutnya berkata:
"Adapun kepercayaan kepada takdir, sebagai sesuatu yang diharuskan dalam Islam, tidak memiliki dasar ataupun pembenaran seperti halnya berbagai keharusan Lainnya. Sebelum ini, kami telah menyebutkan beberapa ayat yang bersangkutan dengan qadha dan qadar. Ayat-ayat tersebut pada hakikatnya tidak memberikan lebih banyak makna daripada yang disebutkan oleh kitab suci kita (yang dimaksudkan di sini tentunya kitab Injil - Penerj). Semua filosof dan ahli teologi (Nasrani), terutama Luther, menyatakan bahwa seluruh peristiwa dan kejadian di alam ini adalah seperti apa adanya, telah ditakdirkan dan tidak mungkin dapat diubah atau diganti, Luther sendiri, seorang pembaharu agama Kristen menulis:
"Bukti-bukti yang amat banyak yang berada di tangan kita dari kitab suci, benar-benar bertentangan dengan masalah ikhtiar (kebebasan memilih). Bukti-bukti dan petunjuk-petunjuk tentang ini amat banyak dijumpai dalam berbagai bagian kitab suci. Bahkan kitab-kitab ini semuanya penuh dengan petunjuk-petunjuk seperti ini".[8]
Kemudian Gustav Le Bon menunjuk kepada kepercayaan pada takdir di antara orang-orang Romawi dan Yunani terdahulu, yang ia simpulkan sebagai berikut :
"Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa Islam tidak lebih memberikan perhatian pada masalah ini dibanding berbagai agama lainnya, bahkan tidak sebesar perhatian yang diberikan oleh para Ilmuwan modern, sesuai dengan ucapan Laplace dan Leibniz".
Begitulah kita dapati Gustav Le bon dapat menerima pengertian bahwa kepercayaan kepada takdir tidak bisa lain daripada determinisme dan penafian kebebasan; akan tetapi, menurutnya, kepercayaan seperti ini memang sudah ada pada semua agama serta berbagai aliran filsafat dan tidak hanya khusus dalam Al-Quran saja.

Setelah mengutip beberapa kandungan Al-Quran, terutama yang mengandung pengertian bahwa ilmu dan kehendak Ilahi meliputi segala sesuatu, secara menyeluruh, dan setelah menunjuk kepada hadis yang terkenal dalam Shahih Bukhari, Will Durant [9] berkata: "Keimanan kepada qadha dan qadar ini, telah menjadikan determinisme sebagai ciri-ciri yang jelas dalam pemikiran Islami".
Ada baiknya kita perhatikan ucapan Dominique Sourdell: [10]
"....Sejak permulaan era Islam, kaum Muslimin membayangkan bahwa mereka telah menjumpai berbagai kontradiksi di dalam Al-Quran, sehingga Rasul, sesuai dengan hadis yang terkenal di kalangan kita, telah memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan: 'Imanilah penderitaan kalian....' Dan ketika kaum Muslimin, setelah itu, tidak rela menjadikan keimanan mereka pada permukaannya saja, sebagian dari mereka telah berupaya menafsirkan beberapa ungkapan dan uraian dalam Al-Quran. Inilah awal mula terciptanya Ilmu Tafsir. Pertanyaan pertama yang dilontarkan ke hadapan kaum Muslimin ialah : 'Jika manusia tidak memiliki kemampuan mengerjakan sesuatu di hadapan urusan Allah (yakni takdir) dan, walaupun begitu, Allah tetap saja memberinya balasan atas perbuatan-perbuatan baik dan buruknya, apakah dengan demikian berarti kodrat (qudrah) Ilahi bersifat kontradiktif terhadap pertanggungjawaban manusia?' Al-Quran tidak memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Dalam kenyataannya, kodrat Allah yang sempurna, seperti tampak pada berbagai tempat dalam Al-Quran, tidak meninggalkan ruang sedikit pun untuk kebebasan manusia. Dengan jalan ini, tidak lagi tertinggal suatu perasaan pertanggungjawaban manusiawi di hadapan penyerahan bulat-bulat kepada takdir Ilahi".

Buku karangan Sourdell ini sarat dengan pentahkikan-pentahkikan yang "bermutu", seperti ini!
Telah diketahui dari penjelasan-penjelasan yang lalu, bahwa masalah qadha dan qadar telah disebutkan berulangkali di dalam Al-Quran al-Karim, dan bahwa hal itu bukanlah berasal dari para ahli 'ilmul-kalam. Juga, kepercayaan kepada qadha dan qadar yang bersifat umum, seperti yang dijelaskan oleh Al-Quran, sungguh berbeda dari teori determinisme.

Pada saat kita menyaksikan kaum orientalis Barat memuji-muji kaum Mu’tazilah disebabkan mereka mengingkari qadha dan qadar, kita pun menyadari bahwa mereka (yakni kaum orientalis) percaya bahwa akidah tentang qadha dan qadar adalah identik dengan akidah Jabariyah atau determinisme!!

Tak syak lagi, jika kita membandingkan kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy'ariyah, akan kita dapati kaum Mu’tazilah memiliki kebebasan pikiran dan kemerdekaan intelektual yang layak. Kita harus menganggap langkah yang dilakukan oleh al-Mutawakkil (Khalifah dari Bani Abbas), yang memusuhi kaum Mu’tazilah serta mendukung sepenuhnya doktrin Asy'ari, sebagai suatu bencana besar bagi dunia Islam.[11] Akan tetapi kita pun harus menyatakan bahwa penyimpangan kaum Mu’tazilah dan kebimbangan yang menimpa mereka dalam masalah ini, tidaklah lebih kecil daripada kesalahan dan kebimbangan kaum Asy'ariyah. Kendati kaum orientalis telah memuji mereka (yakni kaum Mu’tazilah), namun disebabkan kaum orientalis itu tidak memiliki kedalaman dan keluasan pengetahuan dalam ilmu-ilmu tentang Islam, mereka pun telah membayangkan bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar identik dengan kepercayaan kepada determinisme.

Edward Browene [12] berkata: "Kelompok Qadariyah atau Mu’tazilah lebih mempunyai arti penting sebab mereka membela prinsip kebebasan kehendak atau tafwidh (pelimpahan Ilahi) dan ikhtiar." Dr. Schteiner berkata: "Kata-kata paling tepat untuk melukiskan kaum Mu’tazilah ialah dengan menyatakan bahwa munculnya pemikiran-pemikiran seperti ini adalah konsekuensi dari suatu oposisi terus-menerus oleh inteligensi manusia yang sehat melawan hukum-hukum tiran dan ajaran-ajaran deterministis".

Kaum Mu’tazilah menyebut diri mereka sendiri sebagai kelompok 'adl (keadiIan Ilahi) dan tauhid. Mereka menyatakan bahwa ketentuan azali pada doktrin Ahlus-Sunnah (yakni kaum Asy'ariyah) ialah bahwa Allah SWT telah menentukan, sejak azali, nasib dan perjalanan hidup setiap orang, dan bahwa Ia memberi balasan atas dosa-dosa yang telah Ia bebankan sendiri di pundak manusia, dan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan, keteguhan dan pertahanan terhadap takdir Ilahi.

Demikianlah, corak pemikiran kaum Mu’tazilah ini, yakni persamaan antara kemestian qadha dengan determinisme, telah menjadi sumber dukungan kaum orientalis.

Akar-akar Historis

Di antara pembahasan-pembahasan penting yang patut diperhatikan ialah pembahasan tentang sumber konsep-konsep, akidah-akidah dan berbagai jenis perdebatan ini. Faktor-faktor apakah yang telah mendorong kaum Muslimin, sejak awal pertengahan abad pertama atau paling lambat sejak paruh kedua abad itu, sehingga mereka memasuki bidang pembahasan mengenai determinisme dan qadar?

Tak syak lagi, penyebab dimulainya pembahasan-pembahasan ini oleh kaum Muslimin ialah ayat-ayat Al-Quran al-Karim dan ucapan-ucapan Rasul termulia saw. Dalam kenyataannya, masalah nasib serta kebebasan dan ikhtiar manusia termasuk masalah-masalah yang sudah sewajarnya membangkitkan pertanyaan-pertanyaan setiap orang. Sebab, masalah ini telah berkali-kali dilontarkan dalam Kitab Suci kaum Muslimin, dan di antara ayat-ayatnya ada yang secara gamblang mendukung konsep takdir dan ada pula yang secara gamblang mendukung adanya kebebasan dan ikhtiar manusia; tentunya hal ini mengundang timbulnya pemikiran, pembahasan dan diskusi.

Kaum orientalis dan pengekor-pengekor mereka semuanya mendakwakan bahwa konsep-konsep ini memiliki akar pemikiran yang lain. Seperti yang telah kami sebutkan, sebagian ahli sejarah dari Barat percaya bahwa masalah takdir, determinisme dan ikhtiar, termasuk masalah-masalah yang baru dmmbulkan pada masa-masa terakhir oleh para ahli teologi Islam, sementara semuanya ini tak ada bekasnya dalam Al-Quran ataupun Sunnah!

Namun ada juga sebagian yang lain yang mengisyaratkan bahwa konsep kaum Asy'ariyah yang bertumpu atas determinisme dan tiadanya kebebasan manusia, memang benar-benar seperti yang dikehendaki oleh ajaran-ajaran Islam. Hanya saja, kaum Mu’tazilah menolak untuk tunduk kepada konsep Islami ini, sama halnya seperti penolakan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam lainnya yang tidak sejalan dengan akal dan logika. Tema kebebasan dan ikhtiar manusia telah timbul pertama kali di antara kaum Muslimin dari kalangan kaum Mu’tazilah tersebut!

Sebenarnya kata mereka selanjutnya kaum Mu’tazilah sendiri bukanlah pencipta konsep ini, akan tetapi mereka telah berpaling ke arah pemikiran yang "bermutu tinggi" ini sebagai hasil hubungan dan pergaulan mereka dengan berbagai bangsa, terutama kaum Nasrani.
Disebutkan [13] bahwa Van Kromer percaya bahwa Ma'bad al-Juhani telah mempopulerkan konsep kebebasan kehendak ini pada tahun-tahun terakhir abad ketujuh Masehi di kota Damsyik, yaitu dengan meniru dan mengikuti seorang berkebangsaan Iran bernama Sinbawaih. Ia berkata pula: "Van Kromer berpendapat bahwa tempat pembentukan dan penyempumaan doktrin-doktrin orang-orang itu ialah kota Damsyik, di bawah pengaruh kaum teologis Bizans, khususnya Yahya Dimasyqi serta muridnya Theodore Hypocrates."[14]

Dari sini dapat diketahui bahwa Van Kromer berpendapat bahwa si orang Iran yang diperkirakan telah mengajarkan konsep kebebasan dan ikhtiar kepada Ma'bad al-Juhani, pada gilirannya, telah beroleh manfaat dari pengetahuan yang dilimpahkan kepadanya oleh para ahli teologi Nasrani berkebangsaan Romawi tersebut!.

Seandainya memang demikian itu persoalannya, tentunya untuk membahas hal-hal mengenai tauhid dan akhir, bahkan salat dan puasa, kita harus mencari akar-akar historisnya di sana pula. Di samping itu, kita pun harus berkesimpulan bahwa penyebab timbulnya perhatian kaum Muslimin terhadap pembahasan tentang tauhid, hari akhir, salat, dan puasa, ialah adanya pembahasan-pembahasan tentang masalah-masalah tersebut yang sudah lebih dulu dilakukan oleh sekolah-sekolah kaum Nasrani!!

Kenyataan Sebenarnya

Pada hakikatnya, kaum orientalis tidak memiliki cukup kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap berbagai akidah dan doktrin Islami, sebagaimana mereka pada umumnya juga tidak mempunyai mkad baik yang diperlukan untuk itu. Karenanya, kita dapat melihat, pada saat mereka mencoba membuat analisis tentang konsep-konsep dan doktrin-doktrin Islami, serta hendak memasuki pembahasan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan teologi Islam, tasawuf ataupun filsafat, mereka selalu terjerumus ke dalam pencampuradukan hal-hal yang aneh-aneh dan berbagai khurafat yang tak berharga sedikit pun, yang menimbulkan keheranan atau kadang-kadang malah mengundang ejekan. Sebagai contoh, marilah bersama-sama kita teIaah tulisan di bawah ini.

Edward Browene [15] mengutip dari buku Sejarah Islam, karangan Dozy, seorang orientalis terkenal berkebangsaan Belanda, pendapat mengenai kaum Mu’tazilah sebagai berikut:
"Berhubung mereka (kaum Mu’tazilah) menggunakan cara perenungan dan pemikiran dalam memahami hukum-hukum syari'at, maka dengan sendirinya, mereka membela metode logika argumentatif. Karena itu pula, salah satu dari tema-tema pokok yang mereka bahas ialah pendapat tentang hadits-nya (baru terciptanya) AL-Quran, bukan qadim seperti Zat Allah, dan bahwa ia adalah makhluq, meski pendapat seperti ini sebenarnya berlawanan dengan ucapan Nabi.[16] Mereka juga menyatakan bahwa konsekuensi dari Pernyataan bahwa Al-Quran adalah sesuatu yang qadim dan bukan makhluq, sama seperti mengatakan tentang adanya dua maujud yang azali dan abadi. Sedangkan dengan menjadikan AL-Quran, yakni firman Allah, termasuk dalam kelompok makhluk (yang dicipta oleh) Allah, maka kita tidak dapat menjadikannya berkaitan dengan Zat Allah, karena Zat Allah tidak mungkin berubah. [17]

Dengan cara pengutaraan seperti ini, setahap demi setahap goyahlah dasar kepercayaan tentang turunnya wahyu, dan dicanangkanlah oleh banyak kalangan Mu’tazilah, bahwa menulis padanan Al-Quran atau bahkan yang lebih baik daripadanya, adalah sesuatu yang mungkin terjadi dan tidak mustahil.
Berdasarkan itu, mereka menyanggah pendapat bahwa Al-Quran adalah kitab samawi yang turun dari sumber wahyu. "[18]

Demikian pula akidah (kepercayaan) mereka kepada Allah, lebih murni dan lebih tinggi daripada akidah kaum pembuat hukum (para fuqaha) dan orang-orang yang berpegang teguh pada doktrin-doktrin umum dan nilai-nilai syari'at, serta juga (lebih murni) daripada akidah kaum Asy'ariyah. Hal itu disebabkan kaum Mu’tazilah tidak akan pernah menerima doktrin yang mengatakan bahwa Sang Pencipta Alam dapat menampakkan diri dalam bentuk jasmani, dan mereka juga tidak bersedia mendengar ucapan seperti ini, kendati ada hadis yang berbunyi: "Sebagaimana telah kamu lihat bulan purnama pada pertempuran Badr, kamu pasti akan melihat pula Tuhanmu pada suatu hari."[19] Mengingat para fuqaha telah mengartikan ucapan ini secara harfiah, maka masalah ini selalu menjadi penghambat utama bagi kaum Mu’tazilah, sehingga mereka berusaha menafsirkan dan menjelaskannya, dengan menyatakan bahwa manusia, setelah mati, akan melihat Allah, tetapi hanya dengan mata-hati, yakni dengan dalil akal, sebagaimana mereka juga tidak inau menerima bahwa Allah SWT adalah Pencipta orang-orang kafir.[20]

Demikianlah sebagai contoh yang ingin kami kemukakan di sini. Perlu pula kami nyatakan bahwa Edward Browene, orientalis yang menulis buku Sejarah Kebudayaan Iran, mengutip hasil penelitian (!) ini dari orientalis Belanda, Dozy tersebut tanpa catatan apapun.
Kami tidak tahu sebutan apa kira-kira yang dapat kami berikan kepada bualan seperti ini? Apakah kita akan menamakannya kebodohan ataukah kejahatan? Dan yang lebih disesalkan lagi ialah kenyataan bahwa pengikut-pengikut dan pengekor-pengekor mereka, yang berasal dari Timur pun, alih-alih menelm kembali konsep-konsep dan doktrin-doktrin ketimuran dan ke-Islaman, dengan penelitian yang mendalam dan seksama; dalam kenyataannya, dengan sengaja mereka malah mengulang-ulang ucapan guru mereka tersebut, serta menjadikannya sebagai tumpuan bagi pendapat-pendapat mereka sendiri.

Sebuah Pembahasan tentang Hadis

Ada kemungkinan, dalam beberapa hadis terkandung makna yang berlawanan dengan keterangan yang lalu, namun hendaknya kita jangan lupa bahwa kontradiksi seperti ini baru timbul setelah adanya beberapa kebingungan akibat kekeliruan sebagai perawi ketika menukilkan kandungan beberapa hadis. Kebingungan seperti ini dapat dihilangkan dengan cara membandingkan beberapa hadis tersebut dengan yang lainnya. Adakalanya kontradiksi itu hanya secara lahirnya saja, sehingga segera hilang setelah dipikirkan secara mendalam. Di bawah ini kami berikan contoh masing-masing dari kedua sumber kebingungan itu:
(1)  Dalam Sahih Bukhari, [21]diriwayatkan dari Yahya bin Ya'mur dari Aisyah bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw. tentang penyakit sampar, lalu beliau menjawab: "Penyakit sampar adalah azab yang dikirim oleh Allah SWT kepada siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki, kemudian Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Maka tak seorang hamba Allah pun yang berada di suatu negeri yang terjangkit penyakit itu, lalu ia tetap tinggal di sana dalam keadaan sabar dan tulus menghadapinya serta yakin bahwa tiada sesuatu pun akan menimpanya kecuali yang telah ditakdirkan oleh Allah, kecuali ia beroleh pahala seperti seorang syahid".

Dalam kitab al-Kafi, [22] disebutkan bahwa al-Halabi berkata: "Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah, Imam Ja'far as-Shadiq (alaihissalam) mengenai wabah yang menjangkiti sebagian neger; bagaimana hukumnya seseorang yang berpindah dari sana ke bagiannya yang lain? Atau keluar dari negeri yang terjangkit wabah dan pindah ke luar negeri itu?" Beliau menjawab: "Tak mengapa, Rasulullah saw. memang pernah melarang hal seperti itu, ketika terjadi di suatu daerah perbatasan dekat dengan pemusatan pasukan musuh, kemudian banyak dari mereka melarikan diri karena takut dari wabah tersebut. Rasulullah saw. bersabda: 'Orang yang melarikan diri dari tempat itu, sama seperti orang yang lari dari medan pertempuran'. 

Tentunya hal tersebut disebabkan beliau khawatir tempat-tempat penjagaan akan menjadi kosong."
Ucapan Imam Ja'far as-Shadiq menjelaskan bahwa maksud Nabi saw. mengenai suatu peristiwa tertentu. Beliau melarang mereka melarikan diri dari wabah, agar kaum Muslimin tidak melupakan kewajiban-kewajiban mereka dalam menghadapi musuh, di saat terjangkitnya wabah, sehingga menyebabkan kosongnya tempat-tempat penjagaan dan dengan demikian menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam kebinasaan yang lebih parah. Jadi, larangan Nabi saw. tidak bersifat umum, untuk selalu dipraktekkan, sehingga mewajibkan atas kaum Muslimin kapan dan di mana pun setiap kali wabah menjalar di suatu kota, untuk pasrah pada kenyataan dan tetap tinggal seraya menunggu nasib yang membinasakan. Padahal seorang Muslim diperintahkan agar menjaga dirinya dan hartanya daripada segala penyebab kebinasaan. 

Namun dalam kenyataannya, perpindahan ucapan Nabi saw. dari satu tangan perawi ke tangan perawi lainnya, telah mengalihkannya sedikit demi sedikit kepada makna yang bersifat umum seperti tampak dalam Sahih Bukhari.

Bagaimana pun, kita masih bemasib baik ketika Imam Ja'far as-Shadiq menyingkapkan tirai penutup hakikat sebenarnya, dan menjelaskan maksud Rasul yang mulia saw. (Memang, "penghuni suatu rumah" (ahlul bait) lebih mengerti tentang segala yang ada di rumahnya sendiri). Ada kemungkinan pula, bahwa yang disebutkan dalam Sahih Bukhari mempunyai maksud lain, yaitu Rasulullah saw. memerintahkan, pada saat terjangkitnya wabah di suatu kota (lalu beberapa orang, tentunya, ditimpa bala’), hendaknya penduduk kota itu tidak keluar meninggalkannya agar tidak memindahkan penyakit tersebut ke tempat Lainnya. Dengan demikian mereka ikut menjaga jiwa para penghuni daerah-daerah lainnya. ApaLagi di masa itu belum ada cara-cara pengobatan yang efektif atau karantina-karantina di perbatasan dan pintu-pintu gerbang negeri, tempat para pendatang dapat diperiksa lalu diberi izin memasuki kita setelah benar-benar diyakini bahwa mereka itu tidak membawa virus yang dapat menyebar luaskan penyakit tersebut. Di masa itu, cara terbaik untuk mencegah tersebarnya wabah seperti itu adalah tetap tinggalnya penduduk kota yang terserang penyakit di tempat masing-masing agar tidak memindahkannya ke tempat lain.

Ibn Abil-Hadid menyebutkan [23] sebuah kisah tentang perjalanan Umar bin Khattab r.a. ke Syam. Ketika diberitahu tentang berjangkitnya wabah penyakit sampar di sana, ia memutuskan untuk tidak memasuki saerah itu. Abu Ubaidah bin Jarrah kemudian menyanggah keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa hal itu berarti Iari dari qadha dan qadar. Segera Abdurrahman bin Auf menjawabnya dengan meriwayatkan hadis bahwa Rasulullah saw. melarang keluarnya penduduk dari suatu kota yang terjangkit wabah sampar atau masuknya orang-orang yang berada di luarnya. Berdasarkan kisah itu, ada kemungkinan bahwa hadis dalam Sahih Bukhari tersebut menunjuk kepada peristiwa yang disebutkan oleh Imam Ja'far as-Shadiq di atas. Atau bahwa yang disebutkan oleh Imam Ja'far itu berhubungan dengan peristiwa yang tidak berkaitan dengan hadis ini, melainkan hanya berkaitan dengan masalah tindakan pencegahan dari kejangkitan wabah, serta penjagaan keselamatan penduduk kota-kota lainnya yang tidak atau belum terjangkiti. Betapapun juga, makna sebenarnya yang dapat diperoleh dari hadis riwayat Aisyah itu pastilah bukan makna lahiriahnya, dan bahwa para perawi telah diliputi kebingungan ketika mengutip kandungannya.
(2)  Tersebut dalam kitab al-Kafi jilid 2, bab tentang Keutamaan Keyakinan, dari Imam Ja'far as-Shadiq, bahwa Amirul Mukminin Ali (alaihissalam) duduk di antara orang banyak di bawah sebuah tembok yang miring dan hampir jatuh. Sebagian dari mereka berkata: "Jangan duduk di bawah tembok ini, wahai Amirul Mukminin, sebab ia akan runtuh". Jawab Amirul Mukminin: "Tiap orang dijaga oleh ajalnya". Kemudian ketika beliau meninggalkannya, tembok itu benar-benar runtuh. Berkata Imam Ja'far: "Amirul Mukminin seingkali melakukan ini dan seperti ini, dan ini termasuk sifat keyakinan".

Mengenai hadis ini mungkin dapat dikatakan bahwa ia:
a.  Bertentangan dengan yang telah kaini nukilkan sebelum ini, dari buku Tauhid as-Shaduq [24] dari riwayat al-Ashbagh bin Nubatah, katanya: "Amirul Mukminin Ali pindah dari sebuah tembok yang miring ke tembok lainnya. Ketika dikatakan kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, apakah Anda lari dari qadha Allah? Ia menjawab: 'Ya, aku lari dari qadha Allah ke qadha Allah SWT".
b. Hal tersebut bertentangan dengan larangan agama untuk duduk di bawah tembok miring yang hampir runtuh. Bagaimana mungkin Ali (alaihissalam) duduk di tempat seperti itu dengan alasan bahwa ajal menjaganya? Akan tetapi, tampaknya ada kemungkinan menafsirkan hadis ini dengan memperhatikan penjelasan kami sebelumnya, dan dalam bentuk yang tidak bertentangan dengan hadis as-Shaduq ataupun dengan ketentuan syari'at yang diterima yaitu, yang mewajibkan penjagaan jiwa raga dan larangan menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan.
Seperti telah kami nyatakan dalam pembahasan sebelum ini (di bawah sub judul Faktor-faktor Spiritual), faktor-faktor qadha dan qadar serta kaitan-kaitan sebab-akibat harus jangan dibatasi semata-mata pada bidang-bidang material yang bertiga dimensi saja, karena faktor-faktor spiritual pada gilirannya juga membentuk bagian amat penting dari sistem sebab-akibat di alam semesta ini. Atas dasar ini, bilamana kita amati suatu kejadian tertentu dari sudut sebab-sebab material dan dimensi-dimensi fisik, mungkin kita akan membayangkan telah mencapai pengetahuan tentang sebab-sebab dan kaitan-kaitannya secara sempurna. Akan tetapi bila kita memandangnya dengan cara pandang lain, lalu kita dapat menyaksikan kejadian-kejadian tersembunyi lainnya, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang tadinya kita perkirakan sebagai "sebab yang sempurna", dari kejadian tersebut sebenarnya hanyalah "sebab yang kurang sempurna"; karena masih adanya berbagai hal tersembunyi lainnya yang ikut berpartisipasi di dalamnya. Telah kami nyatakan sebelum ini, bahwa berbagai macam sedekah dan niatan, seperti juga perbuatan-perbuatan manusia yang dilaksanakan dalam bentuk yang berkaitan dengan niat dan segi-segi spiritual di dalamnya, semua itu mempunyai pengaruh atas jalannya sebab-sebab dan lantaran-lantaran di alam ini. Sekiranya seseorang memiliki indera yang melampauai indera yang kita miliki, dan mampu memahami kejadian-kejadian dengan pemahaman yang lebih mendalam daripada pemahaman kita yang biasa, niscaya penilaiannya atas peristiwa-peristiwa yang terjadi akan berbeda dari corak penilaian kita pada beberapa konteks tertentu. Persis seperti berbedanya penilaian kita, sebagai maujud yang memiliki tiga dimensi, dengan penilaian berbagai maujud yang hanya memiliki dua dimensi saja dan yang tidak mampu mencerap segala sesuatu lebih dari kedua dimensinya itu. Tentunya penilaian kita atas hal-hal yang berdimensi dua ada kalanya dapat bersesuaian, akan tetapi pasti berbeda dalam hal-hal yang berdimensi tiga.

Penilaian orang-orang yang tergolong ahlulyaqin (yaitu, mereka yang memiliki indera dan cara pandang lain) yang memandang alam ini dalam lingkup dan gerak yang lain yang berbeda dengan cara pandang kita memandang; juga pada berbagai konteks khusus, pasti berbeda dengan penilaian kita. Sesuatu yang kita anggap sebagai penyebab kematian, misalnya, mungkin saja tidak mereka anggap demikian, disebabkan pengetahuan mereka yang lebih meliputi beberapa hal yang tersembunyi. Maka dilihat dari sudut hal-hal spiritual (nonmaterial), tak ada keberatan apa pun untuk menyatakan bahwa ahlulyaqin [25] mampu mengetahui beberapa hal tersembunyi yang ada kaitannya dengan jaminan panjangnya usia, keselamatan ataupun kelapangan rezki seseorang. Tapi masalah ini memerlukan pembahasan amat panjang.[]


[1] Tuhaful 'Uqul, hal. 442.
[2] Dari Majma 'al-Bahrain.
[3] Dalam buku Tuhaful 'Uqul, cetakan Beirut, hal. 345.
[4] Salah seorang dari Dua Belas Imam dalam mazhab Syi'ah Itsna Asyariah--Penyunting.
[5] Perlu diketahui bahwa penulis buku ini bukan berasal dari kalangan Ahlul Bait yang disebut-sebutnya - Penyunting.
[6] Dalam buku Kasyiful Ghitha, Ashlu asy-Syi'ah wa Ushuluha, disebutkan bahwa Ahmad Amin sendiri pernah mengakui kekurangtahuannya mengenai Syi'ah dan hal-hal yang berkenaan dengan itu - Penyunting.
[7] Dalam buku Sejarahnya, jilid 3, pasal 6, hal. 91.
[8] Dikutip dari Peradaban Islam dan Arab.
[9] Dalam bukunya History of Civilization (Sejarah Peradaban), jilid 13, hal. 55.
[10] Dalam sebuah bukunya berjudul Islam yang terbit dalam serial "Apa yang kuketahui?" dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi.
[11] Baca : Ijtihad dalam Islam, Nomor 3, hal. 318-332, karangan Penulis.
[12] Dalam bukunya, Sejarah Kebudayaan Iran, hal. 411.
[13] Ibid, hal. 413.
[14] Ibid. hal. 413.
[15] Ibid, hal. 442.
[16] Sarjana orientalis yang ulung ini berusaha menyindir secara halus, bahwa kaum Asy'ariyah telah mengambil akidah mereka tentang qadimnya Al-Quran dari ucapan Nabi saw; dan bahwa kaum Mu’tazilah, kendatipun mempercayai bahwa Nabi saw. telah mengucapkan makna seperti ini, telah menolaknya karena tidak selaras dengan akal dan logika. "Ia pun menulis di hal. 418 "...Pendirian kaum Mu’tazilah berlawanan dengan berbagai akidah tentang "kemungkinan melihat Allah", dan bahwa Al-Quran adalah qadim dan bukan makhluq; yakni akidah yang dianut oleh Ahlus-Sunnah wal Jama'ah (kaum Asy'ariyah) yang mengikuti nash-nash Al-Quran dalam segala hal dan menolak melakukan takwil (penyimpangan dari arti harfiah Al-Quran) yang merupakan kebiasaan lawan-lawan mereka". Padahal pada kenyataannya dalam Al-Quran tidak ada keterangan, waIau sedikit pun, yang mengisyaratkan bahwa Al-Quran adalah qadim dan bukan makhluq. Juga tidak ada satu hadis pun, di antara hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasul saw. yang menyebutkan tentang ini dan dianggap sahih serta dapat diterima oleh kaum Mu’tazilah.
[17] Penerjemah buku ini ke dalam bahasa Parsi, dalam catatan kakinya, menyebutkan pendapat Frozanfer (?) bahwa "kepercayaan bahwa Al-Quran adalah makhluk tidak ada kaitannya sama sekali dengan persoalan-persoalan ini, ataupun kesimpulan-kesimpulan tak berharga yang dikemukakan oleh penulis tersebut (yakni Dozy)...."
[18] Pada hakikatnya, seperti disaksikan oleh sejarah, kaum Mu’tazilah adalah para pembela Al-Quran yang kuat dan gigih, yang benar-benar beriman kepadanya. Demi membelanya, mereka mendebat kaum Zindik (sesat) dan menyerang doktrin para filosof yang bertentangan dengannya. Seandainya mereka itu, seperti dinyatakan oleh Dozy, tidak menganggap bahwa Al-Quran bersumber pada wahyu Ilahi, tentunya mereka tidak akan bersikeras membelanya dengan pembelaan yang demikian gigih seperti itu.
[19] Yang dimaksudkan di sini ialah sebuah hadis yang tercantum dalam kitab-kitab ilmul-kalam, bukan dalam kitab-kitab hadis, yang isinya: "Kamu akan melihat Tuhanmu pada hari kiamat, sebagaimana kamu melihat bulan di malam purnama raya." Sarjana orientalis ini mengira bahwa kata badr yang dalam bahasa Arab berarti bulan purnama, seperti tersebut dalam hadis ini, sebagai menunjuk kepada peperangan Badr. Oleh sebab itu, ia menerjemahkan kata-kata".. ..akan melihat...." (kata kerja yang menunjuk ke masa akan datang) dengan "telah melihat" (kata kerja untuk masa Lalu), agar selaras dengan makna yang diinginkannya. Hadis itu sendiri memiliki sejarah yang panjang. Sejauh yang diketahui, berdasarkan berbagai petunjuk, hadis ini telah mengalami penyimpangan melalui beberapa perawinya, kemudian telah dirusak sekali lagi di tangan para ahli ilmul kalam, dan akhirnya memperoleh susunan kalimat yang menertawakan seperti ini di tangan sang "orientalis ulung". Dalam kenyataannya, Al-Quran dengan jelas dan gamblang telah menafikan kemungkinan melihat Allah dengan penglihatan mata seperti dalam firman-Nya: "Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata, tapi Ia Melihat segala penglihatan dan Ia Maha lemah-lembut, Mengetahui segala kejadian." (QS 6 : 103).
Sedangkan Al-Quran, pada berbagai tempat, berulang-ulang menyebutkan tentang sesuatu yang dinamakannya "perjumpaan dengan Allah". Berbagai hadis yang diriwayatkan oleh kaum Syi'ah, dan juga sebagian kalangan Ahlus-Sunnah, dengan jelas dan gamblang menafikan kemungkinan penglihatan inderawi kepada Allah, dan di samping itu menguatkan pula kenyataan lainnya yang dikemukakan oleh Al-Quran, yakni "perjumpaan dengan Allah", yang tentunya merupakan suatu peristiwa yang bukan bersifat inderawi dan jasmani. Memang, di antara berbagai syubhah (keraguan argumentatif) terbesar yang berasal dari kaum Asy'ariyah, dan yang tidak dapat diabaikan begitu saja, ialah masalah kepercayaan tentang kemungkinan melihat Allah secara inderawi pada hari kiamat. Di samping penolakan akal, hal itu juga bertentangan dengan nash Al-Quran yang jelas dan terang. Masalah ini mempakan topik yang amat panjang, sehingga tidak pada tempatnya diuraikan di sini.
[20] Tak seorangpun dari kalangan Mu’tazilah, menurut sejarah, mengatakan bahwa Allah SWT bukanlah pencipta orang-orang kafir. Yang benar ialah bahwa kaum Mu’tazilah mengingkari penciptaan kekufuran oleh Allah, bukannya penciptaan orang yang kafir. Mereka menyatakan bahwa Allah SWT tidak menciptakan kekufuran, kezaliman dan pembangkangan (maksiat); tapi mereka tidak menyatakan bahwa Allah bukanlah pencipta orang yang kafir, zalim ataupun pembangkang.
[21] Jilid 8, halaman. 158.
[22] Jilid 8, halaman. 108 (al-Kafi adalah salah satu kitab hadis penting kaum Syi'ah - Penyunting).
[23] Dalam bukunya, Syarh Nahjul Balaghah, pada catatan atas pidato nomor 132.
[24] Juga merupakan salah satu kitab hadis penting kaum Syi'ah – Penyunting.
[25] Termasuk lmam Ali a.s., sesuai dengan hadis yang dikutip di atas - Penyunting.

BAGIAN KEEMPAT

Penutup

Di Saat Pengetahuan Allah Berbalik Menjadi Ketidaktahuan

Pada akhir pembahasan ini, tidak ada salahnya kita menunjuk kepada kemusykilan-kemusykilan kaum Jabariyah yang paling terkenal, untuk kita analisis bersama agar jawaban atasnya menjadi jelas. Kaum Jabariyah menyebutkan berbagai dalil dan bukti secara aqli (rasional) maupun naqli (nukilan dari Al-Quran, hadis dan sebagainya), untuk menguatkan anggapan mereka. Mereka berpegang pada beberapa ayat tentang qadha dan qadar dalam Al-Quran dan kadang-kadang beberapa hadis dinukilkan dari Rasul yang mulia saw. ataupun dari para Imam di bidang ini.
Cukup banyak dalil aqli dikemukakan oleh kaum Jabariyah untuk menguatkan anggapan mereka ini.[1] Syubhah (keraguan argumentatif) paling terkenal dari paham Jabariyah ialah yang berkaitan dengan qadha dan qadar dalam pengertian konsep Ilahi atau ilmu Allah. Yaitu bahwa Allah SWT adalah 'Alim (Zat Yang Maha Mengetahui) tentang segala yang telah dan akan terjadi secara azali (sejak permulaan zaman); tak sesuatu pun tersembunyi bagi Allah dan Ilmu-Nya yang azali. Dari segi lainnya pula, ilmu Allah tidak mengalami perubahan ataupun pertentangan dengan yang telah terjadi. Karena itu, suatu kejadian tidak mungkin berubah bentuk menjadi sesuatu lainnya, sebab perubahan seperti itu bertentangan dengan kesempurnaan dan kelengkapan Zat Wajibul Wujud (yakni Allah SWT). Tidak mungkin pula pengetahuan-Nya, sejak azali, bertentangan dengan apa yang terjadi, sebab yang demikian itu berarti bahwa pengetahuan-Nya itu bukan pengetahuan, melainkan ketidaktahuan (kebodohan). Ini pun berlawanan dengan kesempurnaan dan kelengkapan Wujud yang mutlak.
Berdasarkan kedua muqaddimah (premise) ini:
a. bahwa Allah Maha mengetahui segalanya;
b. bahwa ilmu Allah tidak dapat tersentuh perubahan dan tantangan.
Maka tidak diragukan lagi kita beroleh natijah (konklusi) bahwa semua peristiwa dan kejadian di alam ini harus berlangsung dengan cara yang bersesuaian dengan ilmu (pengetahuan) Allah, secara terpaksa dan deterministis.
Khususnya bila kita tambahkan lagi bahwa ilmu Ilahi adalah ilmu yang aktif dan positif, yakni pengetahuan yang merupakan sumber dari segala yang diketahui; bukannya pengetahuan yang reaktif dan pasif, yakni pengetahuan yang memperoleh esensinya dari esensi sesuatu lainnya yang diketahui sebelumnya, seperti pengetahuan manusia akan kejadian-kejadian alamiah.
Berdasarkan itu, seandainya seseorang tertentu; menurut ilmu yang azali, akan melakukan pelanggaran maksiat tertentu pada jam tertentu, maka pelanggaran itu pasti terjadi secara deterministis dan terpaksa dan dengan cara seperti yang telah ditentukan itu. Tak ada kemungkinan bagi si pelaku tersebut untuk mengubahnya ke dalam bentuk yang lain, bahkan tak ada kekuatan apa pun dalam bentuk yang lain, bahkan tak ada kekuatan apapun dalam wujud ini yang mampu mengubahnya. Atau, jika tidak demikian, maka pengetahuan Allah akan beralih menjadi ketidaktahuan (kebodohan)!!
Umar Khayyam berkata dalam syairnya:
Sungguh nikmat mereguk minuman khamr,
bagi mereka yang terbiasa meminumnya.
Allah telah mengetahui perbuatan ini.
Jika Anda kini menolaknya, hai kawan,
Pengetahuan-Nya itu beralih menjadi ketidaktahuan.
Jawaban atas syubhah (keraguan argumentatif) ini sungguh mudah bagi yang telah menguasai pengertian yang benar tentang qadha dan qadar. Sebab, syubhah itu muncul hanya setelah diadakannya pertimbangan terpisah antara pengetahuan Allah di satu pihak, dan sistem sebab-akibat di pihak lainnya. Dalam arti bahwa ilmu (pengetahuan) Ilahi, di masa azali, diperkirakan telah berkaitan secara kebetulan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa dan ciptaan-ciptaan. Nah, agar pengetahuan ini benar-benar menjadi pengetahuan, dan agar tidak terjadi sesuatu yang lain daripadanya, haruslah pengetahuan Ilahi ini memaksakan kekuasaannya atas sistem alami, dan menundukannya di bawah pengawasan amat ketat, sehingga ia bersesuaian dengan konsep dan perencanaan yang telah mendahuluinya itu.
Dengan kata lain, diperkirakanlah bahwa pengetahuan Ilahi, dengan mengabaikan sistem sebab-akibat, telah berkaitan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa maupun dengan tidak terjadinya; dan bahwa sudah seharusnya menjadikan pengetahuan ini dengan cara apa pun, bersesuaian antara 'yang diketahui' dan 'yang terjadi'. Untuk itu, haruslah diadakan pengaturan sistem sebab-akibat di alam ini, sehingga pada beberapa konteks kejadian, sistem ini harus dicegah dari aktifitasnya yang menurut wataknya dapat memberikan pengaruh. Atau harus dilakukan pembatalan aktifitas kehendak dan ikhtiar siapa saja yang ingin menggunakan keduanya. Agar dengan demikian, segala sesuatu yang telah ada dalam pengetahuan Allah yang azali, menjadi sesuai dengan apa yang terjadi dan tidak berlawanan dengannya. Untuk itu, haruslah terjadi pencabutan ikhtiar, kebebasan, kemampuan dan kemauan diri manusia, agar semua perbuatannya berada di bawah kekuasaan Ilahi dan agar pengetahuan Allah tidak berubah atau beralih menjadi ketidaktahuan.
Konsep mengenai pengetahuan Ilahi seperti ini, adalah puncak kejahilan dan ketidaktahuan! Mungkinkah pengetahuan Allah berkaitan, secara kebetulan, dengan terjadi atau tidak terjadinya peristiwa-peristiwa. Lagi pula, supaya pengetahuan itu bersesuaian dengan kenyataan yang terjadi, maka ia (yakni pengetahuan Ilahi), harus bertindak mencampuri urusan sistem sebab-akibat yang teratur rapi dan pasti, lalu melakukan perubahan-perubahan padanya serta menghapus beberapa khasiat (karakteristik) berbagai tabiat, atau mencabut ikhtiar dan kebebasan si pelaku yang seharusnya memiliki ikhtiar itu?! [2]
Pada hakikatnya, pengetahuan Ilahi yang azali tidak terpisah dari sistem sebab-akibat yang berlaku atas alam semesta ini. Pengetahuan Ilahi adalah pengetahuan akan sistem tersebut. Dan yang termasuk kepentingan dan keharusan pengetahuan Ilahi adalah seluruh alam ini beserta sistem-sistem tersebut. Pengetahuan Ilahi tidaklah berkaitan dengan terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa secara langsung dan tanpa lantaran. Melainkan, ia berkaitan dengan suatu peristiwa, hanya melalui sebab dan pelaku khususnya. Keterikatannya dengan itu Tidaklah bersifat mutlak, tanpa berkaitan dengan sebab-sebabnya.
Sebab-sebab dan lantaran-lantaran itupun berbeda-beda, di antaranya ada yang kausalitas dan aktifitasnya bersifat alamiah. Ada yang bersifat emosional, ada yang bersifat majbur (terpaksa) dan ada pula yang bersifat berikhtiar (bebas memilih).
Yang diharuskan oleh pengetahuan Ilahi adalah timbulnya pengaruh aktifator yang bersifat alami dari aktifator yang alami itu sendiri, timbulnya pengaruh aktifator emosional dari aktifator yang emosional, timbulnya pengaruh aktifator majbur dari yang majbur, dan timbulnya pengaruh aktifator berikhtiar dari yang berikhtiar. Jadi, tidak ada kepentingan dan keharusan pengetahuan Ilahi pada timbulnya pengaruh aktifator yang sama sekali bebas dai aktifator tersebut, secara paksa dan deterministis.
Dengan kata lain, ilmu (pengetahuan) Ilahi yang azali adalah pengetahuan sepenuhnya akan sistem tersebut, yakni timbulnya akibat-akibat dari sebab-sebabnya yang khusus. Sehubungan dengan itu, dan mengingat adanya perbedaan jenis berbagai sebab itu dalam sistem alam rill atau alam eksternal, yakni yang bersifat alamiah, emosional, berikhtiar ataupun majbur, maka sistem yang berkaitan dengan ilmu Ilahi pun memiliki asas yang sama, dalam arti keharusan adanya setiap aktifator tertentu dalam alam ilmu Ilahi, seperti adanya masing-masing aktifator dalam alam riil. Sebaliknya, mengingat adanya aktifator tersebut di alam ilmu Ilahi, seharusnyalah ia juga ada di alam riil. Ilmu Ilahi yang berkaitan dengan timbulnya pengaruh dari suatu aktifator adalah dalam arti bahwa ia berkaitan dengan timbulnya pengaruh aktifator yang bebas dari suatu aktifator yang bebas, serta pengaruh aktifator yang majbur dari suatu aktifator yang majbur. Adapun yang merupakan kepentingan dan keharusan ilmu Ilahi ialah timbulnya tindakan aktifator yang bebas dari suatu aktifator yang bebas serta tindakan aktifator yang majbur dari aktifator yang majbur; dan bukannya memaksa aktifator yang bebas menjadi majbur dan yang majbur menjadi bebas.
Manusia dalam sistem alam semesta, seperti yang telah kami uraikan sebelum ini, dari sejak semula telah memiliki sejenis kebebasan dan ikhtiar serta kemampuan tertentu dalam aktifitasnya. Kemampuan-kemampuan seperti itu tidak terdapat pada maujud-maujud lainnya, termasuk binatang. Dan mengingat bahwa eksistensi sistem alam riil bersumber pada sistem ilmu Ilahi, dan bahwa sumber alam ciptaan adalah alam Rabbani (Ketuhanan), maka pengetahuan azali yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia berarti bahwa Ia mengetahui, sejak mula pertama, tentang siapa-siapa yang akan taat, dengan ikhtiar dan kebebasannya, dan siapa-siapa yang bermaksiat, dengan kebebasannya pula. Jadi, yang merupakan keharusan dan konsekuensi ilmu tersebut ialah adanya ketaatan dari orang yang taat, dengan kemauannya sendiri; ataupun maksiat dari si pelaku maksiat, dengan kemauannya sendiri pula. Inilah makna ucapan sebagian orang bahwa "manusia adalah makhluk yang mukhtar dan ijbar", yakni memiliki kebebasan secara terpaksa. Maka ia tak mungkin kecuali menjadi mukhtar (bebas). Ilmu Ilahi yang azali tidak sedikit pun ikut campur dalam mencabut kebebasan dan ikhtiar dari siapa pun yang dalam sistem Ilmu Ilahi dan sistem riil telah ditetapkan menjadi mukhtar (memiliki ikhtiar). Ilmu Ilahi itu juga tidak sedikit pun berkepentingan dalam pencabutan ikhtiar dan kebebasan manusia dengan cara memaksanya agar berbuat ketaatan ataupun kemaksiatan.
Berdasarkan ini, maka benarlah kedua muqaddimah (premise) yang telah disebutkan sebelum ini, tiada keraguan lagi padanya. Demikian pula halnya dengan pokok masalah yang kami tambahkan, yaitu bahwa ilmu Allah adalah aktifdan positif bukannya reaktif dan pasif. Akan tetapi hal ini tidak harus berarti bahwa manusia bersifat majbur dan tidak memiliki ikhtiar, dan bahwa disaat melakukan kemaksiatan, ia berada di bawah paksaan untuk bermaksiat, dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi daripadanya. Yang benar ialah bahwa maujud, yang telah dicipta dalam tatanan alam semesta sebagai sesuatu yang memiliki kebebasan, ia pulalah yang dalam tatanan ilmu Ilahi bersifat bebas dan berikhtiar. Jika ia melakukan sesuatu secara deterministis, hal ini justru berarti bahwa pengetahuan Allah telah beralih menjadi ketidaktahuan. Karena itu, kita harus mengajukan pertanyaan kepada si penyair, yang berkata: "....Allah telah mengetahui ini...," apa sebenarnya yang diketahui oleh Allah sejak azali? Apakah perbuatan minum khamr yang bersifat sukarela dan sesuai dengan kecenderungan kemauan serta pilihan pribadi tanpa paksaan, ataukah yang bersifat paksaan oleh suatu kekuatan yang berada di luar keberadaan manusia?
Sesungguhnya yang telah diketahui oleh Allah SWT sejak azali, bukannya adanya perbuatan minum khamr yang dipaksakan, ataupun sebarang minum khamr, melainkan perbuatan minum secara sukarela (ikhtiari). Oleh sebab pengetahuan Allah seperti itulah, maka seandainya orang tersebut dipaksa, dijadikan majbur untuk tidak minum, atau sebaliknya, dipaksa untuk minum, hal ini tentunya mengalihkan dan mengubah pengetahuan Allah menjadi ketidaktahuan.
Kesimpulan yang bisa ditarik berdasarkan hal tersebut adalah, bahwa pengetahuan Allah yang azali tentang perbuatan-perbuatan segala sesuatu yang ada di alam ini, dan yang memiliki kemauan dan ikhtiar, sama sekali bukanlah jabr (determinisme), melainkan justru berlawanan dengan jabr. Sebab, konsekuensi ilmi Ilahi ialah tetapnya sesuatu yang mukhtar (yang memiliki kebebasan memilih) menjadi mukhtar, secara tetap dan pasti.
Karena itu, dapatlah dibenarkan ucapan si penyair:
Menjadikan dosa sebagai sesuatu
yang disebabkan oleh pengetahuan Ilahi.
Menurut anggapan orang berakal
adalah sama dengan ketidaktahuan.
Semua ini perlu disertai catatan seandainya bidang pembahasan kita sekarang ini adalah pengetahuan Ilahi yang azali dan terdahulu, seperti yang disebutkan dalam Al-Quran al-Karim dengan nama Al-Kitab, al-Lauh al-Mahfuzh, Qalam dan lain sebagainya; dan seandainya yang menjadi kemusykilan adalah ilmu ini pula.
Namun seandainya kita tidak menganggap semua maujud serta sistem sebab-akibat di alam ini seluruhnya sebagai suatu obyek yang diketahui oleh Allah SWT dengan ilmu-Nya yang azali pun, pada hakikatnya, sistem yang telah diketahui oleh Allah ini adalah bagian dari ilmu Allah juga.
Alam semesta ini, sengan segala sistemnya adalah ilmu Allah, Sang Pencipta Agung, dan juga merupakan suatu obyek yang diketahui-Nya. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa Zat-Nya meliputi zat-zat segala sesuatu, sejak azali sampai abadi, dan bahwa zat segala sesuatu selalu hadir di hadapan-Nya. Tak mungkin ada suatu maujud, di antara maujud-maujud di seluruh alam semesta ini, yang tersembunyi daripada-Nya. Sungguh, Ia berada di setiap tempat dan meliputi segala sesuatunya (imanen).
Kemanapun kamu berpaling, di sana wajah Allah. (QS 2 :115)
Kami, Allah lebih dekat kepadanya dari urat lehernya. (QS 50 : 16)
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia tahu segala sesuatu. (QS 57 : 3)
Atas dasar ini, alam beserta segala segala karakteristik dan tatananya, termasuk dalam peringkat ilmu pengetahuan Allah SWT. Pada peringkat pengetahuan ini, pengetahuan dan segala obyek yang diketahui adalah satu, tak terbilang, sehingga tidaklah perlu adanya hipotesis tentang ada atau tidaknya keserasian antara pengetahuan yang diketahui, ataupun timbulnya pernyataan: "Jika terjadi yang 'ini', maka pengetahuan Allah adalah benar-benar pengetahuan, tapi jika terjadi yang 'itu', maka hal tersebut menunjukkan ketidaktahuan-Nya...."[]


[1] Kesemuanya telah kami sebutkan dan kami sanggah dalam berbagai catatan pinggir buku Ushulul Falsafah, jilid 3.
[2] Karena itulah, kami meragukan bahwa syair yang telah kami nukilkan sebelum ini benar-benar merupakan ucapan Umar Khayyam yang, paling sedikit, adalah seorang "setengah filosof". Mungkin saja itu adalah syair yang dinisbahkan kepadanya setelah ia tiada. Atau, mungkin saja itu benar-benar merupakan ucapannya, hanya saja waktu itu ia tidak bermaksud berbicara dengan sungguh-sungguh dan secara filosofis, melainkan ia hanya ingin memberikan bentuk syair pada salah satu khayalannya. Memang seringkali kita jumpai banyak peneliti dan pemikir, pada saat memasuki dunia syair, meninggalkan pikiran-pikiran ilmiah dan filosofis, lalu menciptakan selubung-selubung syair yang indah untuk khayalan-khayalan lembut mereka. Dengan kata Lain, mereka berbicara sebagai sastrawan dan bukannya sebagai ilmuwan. Demikian itu yang sering kita lihat pada berbagai syair yang dinisbahkan kepada Umar Khayyam. Kemasyhuran amat luas yang diraih oleh Khayyam adalah berkat penggambaran-penggambaran seperti itu, yang tertuang dalam susunan kata-kata yang indah.

Tidak ada komentar: