PELAJARAN 41
Nilai Pembahasan tentang Akhir Kehidupan
Di awal-awal buku ini, kita telah mempelajari pentingnya mencari agama dan prinsip-prinsip akidahnya, yaitu Tauhid, Kenabian, dan Ma’ad. Dan telah kami jelaskan bahwa kehidupan manusia itu berlandaskan pengetahuannya yang benar dalam menangani masalah ini. Juga telah kita pelajari masalah-masalah Tauhid pada bagian pertama. Dan pada bagian kedua, kita pun telah mempelajari jalan dan penuntun kehidupan (Kenabian dan Imamah). Berikut ini kami akan berusaha memeriksa masalah-masalah penting prinsip Ma’ad yang dikenal dengan istilah "Akhir Perjalanan".
Pertama-tama, kami akan mengurai ciri-ciri khas prinsip Ma'ad dan pengaruhnya secara khusus terhadap sikap praktis individu maupun sosial. Setelah itu kami akan menjelaskan hubungan logis antara pengertian kita tentang Ma’ad dan pengenalan kita akan ihwal ruh. Sebagaimana mengenal ihwal wujud tanpa meyakini Allah Yang Esa adalah upaya yang kurang, begitu pula pengenal ihwal manusia tanpa meyakini adanya ruh yang kekal adalah pengenalan yang tidak seutuhnya. Setelah itu semua, barulah kami menjelaskan masalah-masalah prinsipal Ma'ad sesuai dengan kapasitas tulisan ini.
Pentingnya Iman kepada Ma’ad
Pada dasarnya, motif di balik berbagai macam aktifitas hidup ini adalah rasa ingin memenuhi segala kebutuhan, keinginan dan merealisasikan berbagai tujuan dan ambisi, yang pada akhirnya akan mencapai kebahagiaan dan puncak kesempurnaan. Dan, nilai suatu aktifitas serta cara mengarahkannya amat bergantung pada pembatasan atas tujuan yang diusahakan pencapaiannya melalui aktifitas tersebut. Oleh karena itu, mengetahui tujuan akhir bagi suatu kehidupan berperan besar dalam mengarahkan berbagai aktifitas dan memilih suatu tindakan. Pada hakikatnya, faktor utama dalam membatasi perjalanan hidup terdapat pada cara pandang seseorang terhadap hakikat dirinya; kesempurnaannya dan kebahagiaannya.
Seseorang yang percaya bahwa hakikat dirinya tidak lebih dari sekumpulan unsur-unsur materi dan interaksi yang rumit di antara mereka, memandang bahwa kehidupannya dibatasi oleh masa yang singkat di dunia ini, ia pun tidak mengakui adanya kepuasan, kebahagiaan atau kesempurnaan selain keuntungan dan usaha duniawi. Tentu, ia akan mengatur aktifitas dan tindakannya sesuai dengan tuntutan dan keinginan duniawinya.
Adapun seseorang yang yakin bahwa hakikat dirinya itu lebih luas daripada materi, bahwa kematian itu bukanlah akhir kehidupan, akan tetapi sebuah perpindahan dari alam dunia yang sementara menuju alam akhirat yang kekal, dan bahwa perbuatannya yang saleh merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaannya yang abadi, tentu ia akan menjalani hidupnya dengan cara yang lebih bermanfaat, lebih unggul, dan lebih berpengaruh terhadap kehidupannya yang abadi. Lebih dari itu, segala kelelahan, kesalahan, dan kerugian yang ia alami di dunia tidak menggoyahkan tekadnya, tidak membuatnya putus asa, dan tidak juga mencegahnya dari melanjutkan segala aktifitas dan perjuangannya dalam menjalankan berbagai tugasnya demi mencapai kebahagiaan dan kesempurnaannya yang abadi.
Dua model kepercayaan manusia di atas tadi tidak terbatas pengaruhnya pada kehidupan personal saja, tetapi juga pada kehidupan sosial dan pada sikap praktis setiap individu dan hubungan satu dengan lainnya. Keyakinan terhadap kehidupan akhirat, pahala dan siksa yang bersifat abadi amat berpengaruh besar dalam menjaga hak-hak orang lain dan berbuat baik kepada orang-orang yang lemah dan miskin. Tatkala suatu masyarakat mengarah kepada keyakinan semacam ini, tidak perlu lagi mengutamakan kekuatan untuk menerapkan undang-undang dan hukum-hukum keadilan serta memberantas kezaliman dan mengembalikan hak seseorang. Meratanya keyakinan semacam ini sanggup mengatasi sekian banyak problema negara.
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas pentingnya prinsip Ma’ad dan nilai pembahasannya. Bahkan keyakinan pada prinsip Tauhid sekalipun, apabila tidak dilapisi oleh keyakinan pada Ma’ad, tidak akan memberikan pengaruh yang berarti dan menyeluruh dalam mengarahkan kehidupan yang benar dan bertujuan. Dari sini pula tampak jelas besarnya perhatian agama-agama samawi—khususnya Islam—terhadap prinsip Ma’ad, dan betapa para nabi telah mengerahkan segenap upaya mereka dalam menanamkan prinsip akidah ini di dalam jiwa manusia.
Keyakinan terhadap kehidupan akhirat itu baru dapat berpengaruh dalam mengarahkan perilaku seseorang, baik yang bersifat personal maupun sosial, bilamana hubungan sebab-akibat antara apa yang diusahakan di dunia ini—berupa perbuatan, kesenangan, kesengsaraan—dengan alam akhirat dapat diterima sepenuhnya. Setidaknya, harus ada pengakuan bahwa ganjaran akhirat itu akan menjadi pahala atau siksa atas amal-amal baik dan buruk yang dilakukan di dunia ini.
Adapun jika kita meyakini bahwa kebahagiaan akhirat itu akan dapat dicapai di alam akhirat itu sendiri, sebagaimana kenikmatan-kenikmatan duniawi itu dapat diperoleh di dunia ini, maka keyakinan terhadap kehidupan alam akhirat akan kehilangan pengaruh utamanya dalam kehidupan kita di dunia. Sebab berdasarkan keyakinan ini, dapat dikatakan bahwa untuk memperoleh kebahagiaan dunia, setiap orang harus berusaha di dalamnya, sebagaimana untuk memperoleh kebahagian akhirat ia harus berusaha untuk memperolehnya di alam akhirat kelak, yaitu setelah kematian.
Maka itu, di samping membuktikan realitas Ma’ad dan kehidupan akhirat, termasuk hal yang penting ialah membuktikan adanya hubungan antara kehidupan dunia dan akhirat serta pengaruh berbagai tindakan ihktiyari (bebas) terhadap kebahagiaan atau kesengsaraan yang abadi.
Perhatian Al-Qur’an terhadap Ma’ad
Kita perhatikan bahwa lebih dari sepertiga Al-Qur’an berkaitan dengan kehidupan abadi. Sekelompok dari ayat-ayatnya menekankan keharusan beriman pada Hari Akhirat.[1] Sekelompok lainnya menyingkapkan dampak pengingkaran Ma’ad. Kelompok ketiga menjelaskan berbagai macam kenikmatan abadi. Kelompok keempat menerangkan berbagai macam azab yang abadi. Kelompok kelima menegaskan adanya hubungan antara amal-amal kebajikan atau keburukan beserta pengaruh dan konsekuensi ukhrawinya. Kelompok keenam—dengan ungkapan yang beragama—menekankan pentingnya Hari Kiamat serta menyanggah keraguan-keraguan para pengingkarnya. Ada pula kelompok ketujuh dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa sebab terjadinya berbagai macam kesesatan dan penyelewengan itu lantaran kelalaian atau pengingkaranterhadap Hari Kiamat atau Hari Pembalasan.
Berangkat dari ayat-ayat Al-Qur’an, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa sebagian besar sabda para nabi dan dialog mereka dengan masing-masing umatnya berkisar pada prinsip Ma’ad. Bahkan dapat dikatakan bahwa usaha yang mereka lakukan untuk membuktikan Ma'ad lebih banyak dibandingkan dengan usaha yang mereka kerahkan untuk masalah Tauhid, karena mayoritas manusia mengambil sikap ragu atau menolak terhadap prinsip ini.
Adapun faktor penolakan mereka terhadap Ma’ad dan Tauhid dapat disimpulkan pada dua hal: pertama, faktor umum yang telah mendarah-daging pada diri mereka dalam mengingkari setiap perkara yang gaib dan non-materi.
Kedua, faktor khusus terhadap masalah Ma’ad, yakni ada keinginan untuk mencari-cari alasan dan keinginan bebas dari tanggung jawab. Karena, sebagaimana yang telah kami jelaskan, keyakinan terhadap Hari Kiamat dan hisab (perhitungan) merupakan penopang yang kuat untuk menanamkan rasa tanggung jawab, dan pendorong yang besar untuk menerima ketentuan-ketentuan dalam berbuat, mencegah kezaliman, merampas hak orang lain, berbuat kerusakan dan maksiat. Dan pengingkaran Ma’ad akan membuka jalan untuk melakukan kesewenang-wenangan, tunduk pada hawa nafsu, egoisme, dan berbagai macam penyelewengan. Allah SWT berfirman, “Apakah manusia mengira bahwa kami tidak akan menghimpun tulang belulangnya? Tidak, sesungguhnya Kami mampu untuk menciptakan jari-jemarinya, akan tetapi manusia akan selalu ingin berbuat jahat di hadapan-Nya.” (Qs.Al-Qiyamah: 3-5)
Dari ayat ini kita dapat melihat sikap dan kondisi jiwa orang-orang yang tidak mau mengakui Ma’ad dengan pengertian yang sebenarnya. Mereka berusaha mengartikan kebangkitan, Hari Akhirat dan ungkapan-ungkapan qur’anik tentang Ma’ad—dalam ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan mereka—berdasarkan fenomena duniawi, misalnya membangkitkan bangsa-bangsa, mendirikan masyarakat tanpa mengenal kelas, membangun surga dunia, atau mereka menafsirkan alam akhirat dan istilah-istilah yang berkaitan dengannya dengan nilai moral yang semu.
Al-Qur’an menganggap orang-orang seperti itu sebagai setan-setan manusia dan musuh-musuh para nabi, karena mereka berusaha mengkaburkan pemikiran dan menipu hati-hati manusia melalui ucapan mereka yang menipu dan menghancurkan. Mereka juga menjauhkan umat manusia dari keimanan yang lurus dan komitmen terhadap hukum dan ajaran Ilahi. Allah SWT berfirman, “Demikianlah telah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang memikat tuk menipu manusia. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan agar hati kecil oran-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang setan-setan kerjakan.” (Qs. Al-An’am:12-13)
Kesimpulan
Agar manusia dapat memilih jalan yang membawanya kepada kebahagiaan yang hakiki dan puncak kesempurnaan di dalam hidupnya, semestinya ia berpikir: apakah kehidupan dunia ini berakhir dengan kematian? Apakah terdapat kehidupan lain setelah kehidupan ini? Apakah perpindahan dari alam ini ke alam yang lain tak ubahnya dengan perpindahan dari satu kota ke kota lain, dimana ia dapat menyiapkan perbekalan hidupnya di kota pertama? Ataukah kehidupan ini hanyalah awal dan lahan guna memperoleh kebahagiaan ataupun penderitaan di alam lain, sehingga ia harus mempersiapkan bekal dan berbakti di dunia ini untuk memperoleh hasil akhir di alam itu? Seseorang yang tidak dapat menjawab masalah ini tidak akan dapat mengenal jalan, menentukan cara hidupnya dengan baik, karena jika ia tidak mengenal tujuan perjalanannnya, ia tidak akan dapat menentukan jalan yang akan menyampaikannya.
Akhirnya, kami menekankan kemungkinan adanya kehidupan akhirat, walaupun asumsi ini lemah sekali. Kemungkinan ini sendiri sudah memadai untuk mendorong manusia yang berakal dan sadar guna mengkaji kehidupan akhirat tersebut, karena kualitas kemungkinan tersebut tidaklah terbatas (baca: keabadian).[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan perbedaan antara orang yang meyakini Ma’ad dan orang yang tidak meyakininya dalam pengaruhnya pada berbagai aktifitas hidupnya!
2. Kapankah keyakinan terhadap alam akhirat itu akan memberikan pengaruh yang besar dalam mewujudkan kehidupan yang mulia?
3. Jelaskan perhatian Al-Qur’an terhadap masalah Ma’ad!
4. Jelaskan faktor-faktor pengingkaran sebagian orang terhadap masalah Ma’ad!
5. Sebutkan contoh sebagian orang yang berusaha memalingkan manusia dari keyakinan terhadap Ma’ad, serta sikap Al-Qur’an terhadap usaha mereka itu!
6. Jelaskan pentingnya membahas Ma’ad dan keutama-annya daripada masalah-masalah duniawi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar