PELAJARAN 20
Keadilan Ilahi
Mukaddimah
Sepanjang pelajaran-pelajaran yang lalu tampak banyak ikhtilaf di antara dua mazhab Kalam, yaitu Asy'ariyah dan Mu'tazilah dalam berbagai masalah. Di antaranya, masalah kalam Allah, iradah Allah, Tauhid Sifati, Determinasi dan Kehendak Bebas, Qadha dan Qadar. Kita pun melihat betapa pandangan dua mazhab tersebut mengesankan sikap ifrat dan tafrit.
Salah satu ikhtilaf mendasar di antara Asy'ariyah dan Mu'tazilah ialah masalah Keadilan Ilahi. Di sini, kita temukan bagaimana Syi'ah sejalan dengan Mu'tazilah. Kedua mazhab ini dikenal juga dengan ‘Adliyah, sebagai lawan dari Asy'ariyah. Mengingat pentingnya masalah ini, masalah ini dianggap sebagai masalah pokok di dalam ilmu Kalam. Bahkan masalah ini dianggap sebagai masalah ushulul 'aqaid dan termasuk keistimewaan yang dimiliki oleh madzhab Syi'ah dan Mu'tazilah. Perlu diketahui bahwa madzhab Asy'ariyah juga sebenarnya tidak menolak keadilan Ilahi. Mereka tidak menilai bahwa Allah SWT itu zalim, na'udzubillah. Karena sesungguhnya ayat-ayat Al-Qur'an yang jelas yang tidak perlu ditakwil menetapkan adanya keadilan Ilahi dan menafikan berbagai macam kezaliman dari-Nya.
Akan tetapi, pembahasan dalam tema ini berkisar tentang apakah akal manusia—tanpa bersandar kepada Al-Qur'an dan Sunnah—dapat mengetahui dasar-dasar untuk suatu perbuatan, khususnya perbuatan Allah, yang atas dasar tersebut mengharuskan seseorang agar melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Misalnya, akal dapat menghukumi bahwa Allah SWT itu mesti memasukkan kaum mukmin ke dalam surga dan kaum kafir ke dalam neraka. Ataukah hukum-hukum seperti ini tidak dapat dipahami kecuali dengan bersandar kepada wahyu Ilahi, yang tanpanya akal tidak dapat menyatakan hukum-hukum tersebut?
Dengan demikian, masalah utama yang diperdebatkan adalah yang diistilahkan dengan baik dan buruk akli (husn wa kubh aqli). Asy'ariyah mengingkari hal tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa segala hal penciptaan yang dilakukan Allah adalah kebaikan, dan hukum apa saja yang disyariatkan oleh-Nya adalah kebaikan. Bukan lantaran perbuatan itu baik lalu Allah memerintahkan untuk dilakukan atau ditinggalkan.
Adapun madzhab ‘Adliyah meyakini bahwa segala perbuatan, terlepas dari kaitan penciptaan dan pensyariatannya pada Allah, pada dirinya sendiri bersifat baik atau buruk. Pada batas-batas tertentu, Akal mampu menjangkau kebaikan dan keburukan suatu perbuatan serta menyucikan dzat Allah dari melakukan perbuatan buruk. Pengetahuan akal ini tidak berarti bahwa akal—na'udzubillah—memerintah Allah atau mencegah-Nya. Maksud di atas ini ialah bahwa akal dapat mengetahui kesesuaian atau tidaknya suatu perbuatan dengan sifat-sifat sempurna Allah. Karenanya, ‘Adliyah meyakini kemustahilan dilakukannya perbuatan buruk oleh Allah SWT.
Jelas bahwa pengkajian terperinci atas tema-tema ini dan jawaban atas kritik serta keraguan yang dilontarkan oleh madzhab Asy'‘âriyah—dalam mengingkari baik dan buruk akli dan berhadapan dengan ‘Adliyah—tidaklah sesuai dengan kapasitas buku ini. Begitu pula, sangat mungkin terdapat beberapa kelemahan pada Mu'tazilah yang perlu diurai dan dikritisi. Akan tetapi, keyakinan dasar terhadap baik dan buruk akli itu telah diterima oleh Syi'ah. Akan tampak bahwa hal itu didukung oleh Al-Qur'an, hadis Nabi saw dan sabda para imam maksum as.
Oleh karena itu, terlebih dahulu kami akan menjelaskan pengertian adil atau keadilan. Lalu, kami akan menjelaskan dalil-dalil rasional atas sifat adil tersebut yang termasuk sifat-sifat fi'liyah Allah. Pada bagian akhir, kami akan mengkritisi keraguan-keraguan penting dalam masalah ini dan memberikan jawabannya.
Arti Keadilan
Keadilan secara leksikal berarti sama dan menyamakan. Dan menurut pandangan umum, keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Keadilan merupakan lawan kezaliman yang berarti merampas hak-hak orang lain. Atas dasar ini, definisi keadilan ialah memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Maka itu, pertama kita harus mempunyai gambaran adanya pihak yang mempunyai hak sehingga dapat dikatakan bahwa menjaga haknya merupakan keadilan dan merampas haknya adalah kezaliman.
Akan tetapi, terkadang pengertian adil ini lebih diperluas lagi dan digunakan dengan makna: menempatkan sesuatu pada tempatnya atau mengerjakan segala sesuatu dengan baik. Berdasarkan definisi ini, keadilan sinonim dengan bijakasana. Maka, perbuatan yang adil yaitu perbuatan yang bijak. Adapun bagaimana hak orang yang berhak dan posisi semestinya setiap sesuatu itu dapat ditentukan, pembahasan persoalan ini sangat luas dan merupakan bagian yang penting dalam pembahasan Filsafat Etika dan Filsafat Hukum yang tidak mungkin dapat kita bahas pada kesempatan ini.
Yang perlu kami tekankan di sini adalah bahwa setiap orang yang berakal pasti mengetahui bahwa apabila seseorang itu merampas sepotong roti dari seorang anak yatim tanpa alasan yang jelas, atau menumpahkan darah orang lain yang tidak bersalah, berarti ia telah melakukan kezaliman dan melakukan tindakan yang buruk.
Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang mengambil kembali sepotong roti yang telah diambil dari seorang pencuri, kemudian mengembalikannya kepada anak yatim atau ia memberikan sanksi atas pembunuh yang berbuat jahat sesuai dengan kejahatannya, berarti ia telah berbuat baik dan benar.
Sesungguhnya penilaian terhadap kebaikan dan keburukan, keadilan dan kezaliman ini tidak bergantung kepada perintah dan larangan Allah, sebab penilaian ini dapat dipahami sekalipun oleh orang yang tidak beriman kepada wujud Allah SWT. Adapun apa sebenarnya dasar hukum tersebut, dan kekuatan indra apa yang dapat mengetahui kebaikan dan keburukan perbuatan, adalah bagian masalah Filsafat.
Dengan demikian, keadilan dapat didekatkan dengan dua pengertian: pengertian khusus dan pengertian umum. Yang pertama ialah menjaga hak-hak orang lain, dan yang kedua adalah keluarnya suatu perbuatan dengan cara hikmah di mana menjaga hak-hak orang lain termasuk bagian dari mishdaq-nya (instanta). Berdasarkan hal itu, maka adil bukan berarti memberikan secara sama kepada seluruh umat manusia atau di antara segala sesuatu. Seorang guru yang adil bukanlah yang memiliki sikap yang sama terhadap seluruh anak didiknya, sehingga ia menyamakan seluruhnya dalam hal memberikan teguran dan pujian baik kepada anak didiknya yang rajin maupun yang malas. Seorang hakim yang adil bukanlah yang membagi harta yang dipertikaikan itu secara sama antara orang yang bertikai. Seorang guru yang adil adalah yang memuji setiap anak didiknya dan juga memberikan peringatan kepada mereka sesuai dengan hak-haknya. Hakim yang adil adalah hakim yang mengembalikan harta yang dipertikaikan kepada yang berhak.
Demikian pula, sesuai dengan Hikmah dan Keadilan Ilahi, Allah SWT tidak menciptakan seluruh makhluk-Nya dalam bentuk yang sama, misalnya Allah menciptakan manusia bertanduk atau bersayap dan sebagainya. Akan tetapi, Dia menciptakan alam semesta dalam bentuk yang terukur sehingga dapat terealisasi kebaikan dan kesempurnaan. Allah SWT menciptakan segenap makhluk-Nya dalam bentuk yang serasi antara bagian-bagiannya dengan tujuannya yang terakhir.
Demikian pula sesuai dengan Hikmah dan Keadilan Ilahi, Allah membebankan tugas (taklif) kepada setiap manusia sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan Dia pun memutuskan suatu hukum sesuai dengan kemampuan dan kehendak bebas mereka, serta memberikan balasan, baik berupa pahala atau siksa yang setimpal dengan tiap-tiap perbuatan mereka. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan membebani manusia sesuai dengan kemampuannya." (QS. Al-Baqarah: 286)
"Dan akan diputuskan kepada mereka itu suatu tugas hukum dengan keadilan dan tidak dizalimi sedikit pun." (QS. Yunus: 54)
"Maka pada hari kiamat tidak dizalimi seorang pun dan tidak diberikan balasan terhadap apa yang mereka lakukan melainkan sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat." (QS.Yasin: 54)
Dalil atas Keadilan Ilahi
Telah kami katakan bahwa Keadilan Ilahi merupakan salah satu mishdaq Hikmah Ilahiyah. Berdasarkan salah satu penafsiran, keadilan adalah Hikmah Ilahiyah itu sendiri. Tentunya, dalil yang digunakan untuk menetapkan Keadilan Ilahi adalah dalil yang juga digunakan untuk menetapkan Hikmah Ilahiyah, seperti yang telah dibahas pada pelajaran 11. Di sini kami akan mengulanginya secara lebih terrinci.
Pada pelajaran yang lalu telah kita ketahui bahwa Allah SWT memiliki tingkat kekuasaan yang paling tinggi dan sempurna, bahwa Dia Mahamampu untuk melakukan pekerjaan apa saja yang mungkin terjadi, atau tidak melakukannya tanpa tunduk pada pengaruh apapun dan tanpa dipaksa oleh selainnya. Akan tetapi, Allah SWT tidak melakukan segala apa yang Ia mampu untuk melakukannya, melainkan Dia hanya melakukan sesuatu yang Ia kehendaki.
Telah kita ketahui pula bahwa kehendak Allah SWT tidaklah sia-sia dan main-main. Hanya saja Dia tidak menghendaki sesuatu kecuali sesuai dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Apabila sesuatu itu tidak sesuai dengan sifat-sifat kesempurnaan, maka sesuatu itu tidak akan terjadi dan tidak akan Allah lakukan sama sekali, karena Dia adalah kesempurnaan yang mutlak dan murni, maka kehendak-Nya pun hanya berurusan dengan sisi kesempurnaan dan kebaikan makhluknya saja. Apabila keberadaan suatu makhluk melazimkan sebagian keburukan atau kekurangan, maka sisi keburukan itu tidak dimaksudkan secara mendasar, akan tetapi hanya merupakan efek, sebab kehendak Allah secara mendasar hanya berurusan dengan kebaikan.
Dengan demikian, sesuai dengan sifat-sifat Ilahi yang sempurna, Allah SWT menciptakan alam semesta ini dalam bentuk yang sesempurna dan sebaik mungkin. Dari sinilah kita dapat menetapkan tentang sifat hikmah pada Allah SWT. Maka itu, kehendak Ilahiyah itu hanyalah berurusan dengan penciptaan manusia dari sisi wujudnya yang mungkin (mumkinul wujud), yang merupakan sumber kebaikan sebanyak mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar