44. Keniscayaan Imamah
Syi’ah meyakini bahwa kebijaksanaan Tuhan (al-hikmah al-ilahiah) menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia. Demikian pula mengenai imamah, yakni bahwa kebijaksanaan Tuhan juga menuntut perlunya kehadiran seorang imam sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menerangkan kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan, al-takamul wa al-sa'adah, sulit dicapai, karena tidak ada yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi menjadi sia-sia.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar, al-shadiqin.(QS. 9:119)
Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalain barisan orang-orang benar, al-shadiqin, pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan oleh banyak mufassir Sunni dan Syi’ah terhadap makna ayat ini.[1]
45. Hakikat Imamah
Syi’ah meyakini bahwa imamah bukan sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi sekaligus sebagai jabatan spiritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintahan Islam, Imam bertanggung jawab membimbing umat manusia dalain urusan agama dan dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran dan rohani masyarakat. Memelihara syariat Nabi Muhammad saw agar tidak menyimpang atau berubah serta memperjuangkan tcrcapainya tujuan pengutusan Nabi Muhammad saw.
Jabatan tinggi ini diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as setelah Ibrahim melewati fase kenabian dan nsalah, dan setelah lulus dan sejumlah ujian berat. Ibrahim as. meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Ibrahim bahwa orang-orang zalim dan para pendosa tidak akan mencapai posisi mi.
Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu ia menyempumakannya. Tuhan berfirman kepadanya: "Aku angkat engkau sebagai imam bagi umat manusia." Ibrahim berk.ata: "Berikan pula kepada keturunanku". Tuhan berfirman: "Ketetapan-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang zalim." (QS. 2:124)
Jelas sekali bahwa kedudukan yang demikian tinggi ini tidak dapat diterjemahkan sebagai jabatan pemerintahan formal. Dengan demikian, jika imamah tidak diterjemahkan sebagaimana yang telah kami gambarkan di atas, maka ayat di atas tidak mempunyai pengertian yang jelas.
Syi’ah mevakini bahwa para nabi utama, ulul-azmi, terutama Nabi Muhammad saw, adalah sekaligus sebagai imam-imam yang memiliki otoritas kepemimpinan spiritual ruhaniah dan kepemimpinan formal material. Dengan demikian, Nabi Muhammad saw tidak sekedar menyampaikan ajaran Allah, tapi sekaligus memimpin umat manusia, dan jabatan imamah ini diberikan kepada Nabi saw sejak awal kenabiannya.
Syi’ah juga meyakini bahwa garis imamah sesudah Rasulullah saw dilanjutkan oleh orang-orang suci dan dzuriyatnya, keturunannya.
Dan batasan di atas mengenai imamah tampak bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, terpelihara dari perbuatan-perbuatan dosa, maupun dari sisi ilmu dan pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan agarna serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap zaman.
46. Keterpeliharaan Imam dari Dosa dan Kesalahan
Syi’ah meyakini bahwa seorang imam wajib bersifat ma'shum, terpelihara dari perbuatan dosa dan kesalahan, karena, disamping makna ayat di atas, seorang yang tidak maksum tidak dapat dipercaya sepenuhnya untuk diambil darinya prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Oleh karena itu Syi’ah meyakini bahwa ucapan seorang imam maksum, perbuatan, dan persetujuannya, adalah hujjah syar'iyyah,kebenaran agama, yang mesti dipatuhi.
Yang Syi’ah maksud dengan persetujuan imam maksum atau taqrir al-Ma'shum ialah sang imam tidak menegur suatu perbuatan yang berlangsung di hadapannya, bahkan membiarkannya saja.
47. Imam Pemelihara Agama
Syi’ah meyakini bahwa seorang imam tidak membawa syariat baru. Kewajibannya hanyalah menjaga agama Islam, memperkenalkan, mengajarkan, menyampaikannya, dan membimbing manusia kepada ajaran-ajaran yang luhur.
48. Imam Orang Paling Tahu tentang Agama
Syi’ah meyakini bahwa seorang imam harus menguasai dan memiliki pengetahuan yang utuh terhadap semua pokok agama Islam, cabang-cabangnya, hukum, peraturan, dan tafsir al-Quran. Pengetahuan ini bersifat rabbani, suci dan di dapat dan Nabi saw, supaya sang imam mendapat kepercayaan penuh dan umat dan dapat diandalkan dalain memahami hakikat Islam.
49. Nash atas Imam
Syi’ah rneyakini bahwa seorang imam, penerus Rasulullah saw, harus ditetapkan melalui nash atau pengangkatan yang jelas oleh Rasulullah saw atau oleh imam sebelumnya. Dengan kata lain, seorang imam, seperti halnya Nabi saw, ditetapkan oleh Allah Swt, tetapi melalui Nabi saw, sebagaimana keterangan al-Quran dalain pengangkatan Ibrahim as sebagai imam:
Sesungguhnya Aku mengangkatmu sebagai imam bagi umat manusia. (QS. 2:124)
Dalain pada itu, penentuan tingkat taqwa, seseorang telah mencapai tingkat ishmah dan telah mencapai tingkat pengetahuan seluruh hukum dan ajaran Allah Swt tanpa ada kesalahan sedikitpun tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, penentuan bahwa seseorang telah mernenuhi sifat ishmah datangnya dan Rasulullah saw.
Dengan demikian, Syi’ah meyakini bahwa keimaman para imam maksum tidak diperoleh melalui pemilihan masyarakat.
50. Penetapan para Imam oleh Nabi saw
Syi’ah meyakini bahwa Nabi Muhammmad saw-lah yang telah menetapkan para imam sesudahnya, sebagaimana yang telah dilakukannya dalain hadits populer al-tsaqalain. Diriwayatkan dalain Shahih Muslim bahwa suatu hari Nabi berpidato di sebuah oase yang bemama Khum, terletak antara Mekkah dan Madinah. Nabi saw bersabda:
... Aku hanyalah seorang manusia, yang jika utusan Tuhanku datang kepadaku akan kupenuhi. Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berat. Pertama, kitab Allah. Di dalainnya terdapat petunjuk dan cahaya... (Kedua) Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada A.llah tentang Ahlubaitku. (Shahih Muslim, 4: 1873)
Hadis yang sama juga diriwayatkan dalain Shahih Turmuzi. Bahkan pada Shahih Turmuzi terdapat pernyataan tegas Nabi saw yang mengangkat imam sesudahnya dan lingkungan keluarganya. Demikian pula hadis-hadis yang diriwayatkan dalain Sunan al-Darimi, Khasaish al-Nasai, Musnad Ahmad, dan sumber-sumber utama Islam terkenal lainnya.[2]
Hadits Tsaqalain atau hadis Dua Pusaka ini sedikitpun tidak dapat diragukan kebenarannya, oleh siapa saja, karena la terrnasuk hadits mutawatir yang tidak dapat diingkan atau dipersoalkan kebenarannya oleh seorang muslim.Oleh karena itu, dan beberapa riwayat dapat dilihat betapa Nabi saw telah mengulangi hadis ini berkali-kali dan di berbagai tempat yang berbeda.
Tentu saja tidak semua kerabat Nabi memangku jabatan tinggi ini, sebagai pendamping al-Quran. Dengan demikian, maka yang dimaksud hanyalah para imam maksum dari dzuriyat Rasul saw.
Perlu disebutkan di sini bahwa dalain beberapa riwayat terdapat redaksi "Sunnati" atau Sunnahku sebagai ganti dari redaksi "Ahlubaiti",Ahlubaitku. Akan tetapi riwayat ini dhaif, diragukan kebenarannya, dan tidak dapat diandalkan.
Pada sisi lain, terdapat hadis lain yang populer dan sahih, yang diriwayatkan oleh banyak kitab hadis utama seperti: Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal, bahwa Nabi saw bersabda:
Agama ini akan terus tegak hingga datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah, (imam) semuanya berasal dan suku Quraisy. (Muslim, III, h. 1453, Bukhari, m, h. 101, Turmuzi, IV, h. 501 dan Abu Daud, IV, bab al-Mahdi)
Syi’ah meyakini bahwa ddak ada tafsiran yang paling tepat mengenai dua belas Imam yang dimaksud Nabi pada hadis di atas kecuali apa yang diyakini oleh kaum Syi’ah Imamiyyah. Ya, apakah ada tafsiran lain yang lebih tepat? Tidak ada. Renungkan!
51. Pengangkatan Ali oleh Nabi saw
Syi’ah meyaikini bahwa Nabi Muhainmad saw, atas perintah Allah, telah menunjuk dan mengangkat 'Ali as sebagai khalifah sesudahnya. Ia lakukan itu berkali-kali dan dalain berbagai kesempatan yang berbeda. Di Ghadir Khum, dekat dengan Juhfah, misalnya, Nabi saw membacakan khutbahnya yang sangat populer di depan para sahabatnya, sepulangnya dari menunaikan Haji Wada'. Nabi bersabda:
Wahai orang-orang! Bukankah aku lebih utama atas dirimu daripada kamu sendiri? Mereka berkata: "Betul". Nabi melanjutkan: "Barangsiapa yang aku adalah pemimpinnya, maulahu, maka 'Ali adalah pemimpinnya."[3]
Karena kami tidak bermaksud menguraikan masalah ini panjang lebar atau melakukan argumentasi terhadap keyakinan ini, kiranya cukup dengan mengatakan bahwa adalah mustahil kita lewati hadis di atas begitu saja atau menafsirkannya sebatas pada cinta kepada 'Ali, padahal Nabi saw begitu memperhatikan masalah ini.
Bukankah hadis di atas sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibn al-Atsir dalain kitabnya al-Kamil bahwa di awal kenabiannya, atas penntah Allah:
Dan berilah peringatan kepada keluarga dekatmu. (QS. 26: 214)
Nabi Muhammad saw mengumpulkan segenap keluarganya dan menawarkan kepada mereka agama Islarn. Pada kesempatan itu Nabi bersabda:
Siapakah di antara kamuyang bersedia membantuku dalain urusan ini sehingga ia menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu. Tidak seorang pun yang menyambutnya kecuali ‘Ali yang berkata kepada Nabi saw: Aku wahai Nabi Allah yarig akan membantumu
Kemudian Nabi bersabda: Inilah ('Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu.[4]
Bukankah ini pula yang diinginkan Rasulullah saw pada saat-saat terakhir kehidupannya, sebagaimana yang diriwayatkan Bukhan bahwa Rasulullah saw berkata:
Bawakan aku kertas supaya aku tuliskan buat kamu wasiat yang dengannya kamu tidak akan sesat sesudahku nanti"
Tapi sayang, sebagian menentang penulisan wasiat ini, mencegah Nabi melakukannya, bahkan mengucapkan kalimat-kalimat yang merendahkan Nabi saw. (Sahih Bukhari, V, hal. 11, Muslim, III, hal. 1259)
Sekali lagi, tujuan penulisan buku ini hanya sekedar menguraikan aqidah dengan sedikit dalil; kalau tidak, tentu berbeda penguraiannya.
52. Penegasan Tiap Imam atas Imam Sesudahnya
Syi’ah meyakini bahwa setiap imam dari dua belas imam telah diangkat dengan tegas, nash, oleh imam sebelumnya. Imam pertama adalah ‘Ali Ibn Abi Thalib, kemudian secara berturut-turut, (2) Hasan Ibn ‘Ali al-Mujtaba, (3) Husain Ibn ‘Ali Sayyidus-syuhada, penghulu para syuhada, (4) ‘Ali Ibn Husain, (5) Muhammad Ibn ‘Ali al-Baqir, (6) Ja'far Ibn Muhammad al-Shadiq, (7) Musa Ibn Ja'far, (8) 'Ali Ibn Musa al-Ridha, (9) Muhammad Ibn ‘Ali al-Taqi, (10) 'Ali Ibn Muhammad al-Naqi (11) Hasan Ibn ‘Ali al-Askari, dan terakhir, (12) Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi. Syi’ah meyakini bahwa Imam Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi masih hidup.
Keyakinan kepada Imam Mahdi yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kekejaman tidak terbatas pada kaum Syi’ah saja, tetapi seluruh kaum Muslirnin. Untuk itu banyak ulama Ahlussunnah yang menulis buku tentang kemutawatiran hadis-hadis tentang Imam Mahdi ini. Bahkan Rabithah Alain Islarni pemah mengeluarkan nsalah yang menyatakan bahwa kedatangan Imam Mahdi merupakan urusan musallainmat dalain agama atau sesuatu yang tidak dapat ditolak kebenarannya.[5] Rabitah mengutip banyak hadis Nabi tentang al-Mahdi dan kitab-kitab utama. Hanya saja, sebagian ulama Ahlussunnah percaya bahwa al-Mahdi yang dimaksud baru akan lahir di akhir zaman, sementara Syi’ah meyakini bahwa al-Mahdi yang dimaksud adalah imam kedua belas, masih hidup dan akan muncul dengan izin Allah untuk menegakkan keadilan dan mengadili para tiran.
53. 'Ali Sahabat Utama
Syi’ah meyakini bahwa 'Ali adalah sahabat Nabi paling utama. Kedudukannya dalain Islam langsung di bawah Nabi saw. Pada saat yang sama Syi’ah menganggap bahwa sikap ghuluw, berlebih-lebihan kepada ‘Ali haram hukumnya. Dalain pada itu Syi’ah meyakini bahwa menganggap ‘Ali sebagai Tuhan atau serupa dengan itu kafir hukumnya dan keluar dari barisan Muslimin. Syi’ah berlepas diri dari orang dan aqidah semacam itu. Tapi sayang, sebagian pihak terjebak dalain kekeliruan, sehingga menyamaratakan Syi’ah dengan kelompok-kelompok menyimpang ini, padahal ulama-ulama Syi’ah justeru menganggap kelompok ini keluar dan Islam.
54. Sahabat di Hadapan Hukum Akal dan Sejarah
Syi’ah meyakini bahwa di antara sahabat Nabi terdapat pnbadi-pribadi agung yang telah disebutkan keutamaannya oleh al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi tidak berarti bahwa semua Sahabat tidak ada yang salah atau perbuatan-perbuatan mereka benar semuanya tanpa kecuali. Pada banyak ayat al-Quran, teru-tama pada suratal-Bara`ah, al-Nur, dan al-Munafiqin, al-Quran bercerita tentang kaum munafik yang notabene adalah sebagian sahabat itu sendiri, dan mengecam mereka dengan keras, meskipun mereka adalah sahabat Nabi saw. Selain itu, terdapat pula di antara sahabat Nabi, orang yang telah menyulut api fitnah sehingga pecah perang sesama kaum Muslimin sesudah wafat Nabi saw, melanggar baiat yang telah diberikan kepada khalifah, dan menumpahkan darah ribuan kaum Muslimin. Apakah pantas orang-orang seperti itu kita anggap bersih dan suci?
Dengan kata lain, bagaimana mungkin kita dapat memutuskan kedua belah pihak yang terlibat percekcokan, misalnya pihak-pihak yang terlibat dalain perang Jamal dan Siffin, bahwa semuanya benar? Sungguh keputusan yang kontradiktif dan tidak dapat diterima. Adapun alasan pihak yang dapat menerima sikap kontradiktif ini, yang merujuk kepada persoalan ijtihad, bahwa memang ada yang benar dan ada yang salah, akan tetapi karena kedua-duanya telah mengamalkan ijtihad, maka yang keliru sekalipun, tetap mendapat pahala, karena ia telah melakukan ijtihad. Sedangkan kekeliruannya, dimaafkan. Cara berpikir seperti ini tidak dapat diterima.
Bagaimana mungkin kita dapat membenarkan seseorang yang melanggar baiatnya kepada khalifah Rasulullah dengan alasan ijtihad, tapi kemudian sengaja menyulut api peperangan dan menumpahkan darah orang-orang saleh? Jika dosa penumpahan darah dapat dimaafkan karena alasan ijtihad, itu berarti semua perbuatan dosa dapat dimaafkan karena alasan ijtihad. Nauzubillah.
Dengan terus terang kanni katakan bahwa Syi’ah meyakini bahwa seorang manusia, meskipun sahabat Nabi, tergantung pada amalnya, sesuai prinsip al-Quran yang menyatakan:
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. (QS. 49:13)
Berdasarkan hal ini, maka untuk menentukan kualitas sahabat, kita juga harus mengukurnya dari amal perbuatan mereka, supaya keputusan yang kita ambil logis dan dapat diterapkan pada semuanya.
Maka siapa saja di antara sahabat Nabi yang selaina bersama Nabi ikhlas dan terus dalain garis ini dalain menjaga Islam dan kesetiaan kepada al-Quran sesudah wafatnya, Syi’ah akui dia dan mengkategorikannya sebagai orang saleh. Tetapi Sahabat yang munafiq di zaman Rasul dan selalu mengganggu Rasul atau berubah sesudah Nabi meninggal dunia, dan yang telah merugikan Islam dan kaum Muslimin, tentu Syi’ah tidak akan mencintainya sedikitpun. Allah berfirman:
Engkau takkan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir mencintai orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, meskipun mereka adalah omng tua mereka sendiri, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau keluarga dekat mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah ditetapkan iman oleh Allah dalain hati mereka. (QS. 58:22)
Ya, orang-orang yang menentang atau mengganggu Rasul, baik pada masa hidupnya atau sesudah wafatnya, menurut keyakinan Syi’ah, sedikitpun tidak pantas mendapat pujian atau penghormatan.
Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa sejumlah sahabat Nabi telah berjuang habis-habisan untuk menyebarkan agama Islam sehingga Allah memuji mereka dan memuji para penerus mereka, tabiin, yang mengikuti jalan para Sahabat yang saleh; pujian yang juga diberikan kepada siapa saja berjalan di jalan yang lurus hingga hari akhir.
Para pemeluk Islam awal-awal sekali, al-sabiqun al-awalum, dari golongan Muhajirin dan Anshar dan para pengikut mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. (QS.9:100)
Demikianlah keyakinan Syi’ah tentang Sahabat secara ringkas.
55. Ilmu Imam-imam Ahlubait Berasal dari Nabi
Syi’ah meyakini bahwa ucapan para imam, perbuatan, dan taqrir, persetujuan mereka, yang dapat dilihat dari tidak adanya teguran mereka terhadap suatu perbuatan yang berlangsung di hadapan mereka, adalah hujjah, kebenaran yang harus diikuti, dan merupakan sanad, pegangan bagi Syi’ah. Karena Nabi saw, sebagaimana hadis mutawatir, telah memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada kitab Allah dan keluarganya. Di samping itu, mereka adalah orang-orang suci, ma'shum, yang telah diselainatkan Allah dari perbuatan dosa dan kesalahan. Karena itu, maka salah satu sumber fiqh Syi’ah, setelah al-Quran dan Sunnah Nabi, ialah ucapan para imam dari Ahlulbait, perbuatan, dan taqrirmereka.
Jika kita perhatikan bahwa para irnam as itu hanya menukil hadisnya dari nenek moyang mereka hingga ke Rasulullah saw, maka hadis-hadis mereka sesungguhnya adalah hadis-hadis Rasulullah saw juga. Dan kita tahu bahwa periwayatan oleh seorang tsiqah, yang dapat dipercaya, diterima oleh seluruh ulama Islam.
Imam Muhammad Ibn 'Ali al-Baqir berkata kepada Jabir:
Jabir, jika yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah pandangan kami sendin dan dilandasi hawa nafsu, maka kami akan celaka. Tapi ketahuilah, yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah hadis-hadis Rasulullah saw. (Jami' Ahadits Syi’ah: I, hal. 18)
Dalain riwayat lain disebutkan bahwa Seseorang bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq tentang suatu masalah dan Irnarn memberikan jawabannya, namun orang itu kemudian bertanya lagi: "Bagaimana jika masalah ini begini dan begitu, apa pendapatmu?' Imam berkata:"Ketahuilah Tidak satu jawaban pun yang kuberikan kepadamu kecuali dari Rasulullah saw. Kami sama sekali bukan termasuk dalain kelompok orang yang dapat ditanya "Apa pendapatmu". (Ushul Kafi, 1, hal. 58)
Dalain pada itu, perlu kami sebutkan di sini bahwa Syi'ah juga memiliki kitab-kitab hadis utama yang kami percayai validitasnya, sepera al-Kafi, al-Tahzib, al-Istibshar, dan Man la Yahduruhul-faqih. Akan tetapi tidak berarti bahwa Syi’ah menerima begitu saja seluruh riwayat yang disebutkan dalain kitah-kitab tersebut, karena, selain kitab-kitab hadis, Syi’ah juga mempunyai kitab-kitab rijal yang berfungsi mengungkap keadaan para perawi pada semua level sanad. Jika para perawinya, pada semua level sanad, dapat dipercaya, tsiqat, Syi’ah terima hadis tersebut. Tapi jika tidak, Syi’ah akan menolaknya. Dengan demikian, Syi’ah baru dapat menerima riwayat-riwayat yang terdapat dalain kitab-kitab utama tersebut, jika ia memenuhi kriteria di atas.
Selain itu, boleh jadi ada riwayat yang dari segi sanad dapat dikategorikan sebagai riwayat mu'tabarah, dapat diterima, tetapi karena ada cacat-cacat lain pada riwayat tersebut, para ulama dan fuqaha Syi’ah, dari dahulu hingga sekarang, mengabaikannya. Riwayat semacam ini Syi’ah namakan riwayat mu'radh anha atau riwayat yang diabaikan, dan sudah barang tentu tidak mendapat tempat di kalangan Syi’ah.
Dari sini tampak bahwa jika seseorang ingin mendapat keterangan tentang aqidah Syi’ah, maka sangat keliru sekali jika hanya bersandarkan pada sebuah atau beberapa riwayat yang terdapat pada buku-buku tersebut tanpa melakukan penelitian sanadnya.
Dengan kata lain, pada sebagian mazhab Islam, terdapat kitab-kitab hadis yang disebut al-sihah. Parapenyusunnya tidak ragu sedikitpun mengkategorikan seluruh riwayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut sahih, demikian pula anggapan lainnya. Namun tidak demikian sikap Syiah terhadap kitab-kitab muktabarahnya. Kitab-kitab itu memang betul disusun oleh orang-orang tsiqat, dapat dipercaya, akan tetapi untuk menentukan kesahihan hadits-haditsnya hanis dikembalikan ke llm al-rijal untuk dilakukan penelitian terhadap para perawinya.
Jika poin ini diperhatikan, ia dapat menjelaskan banyak permasalahan dan keraguan yang diarahkan ke aqidah Syi’ah. Tetapi jika diabaikan, berakibat pada banyak kekeliruan dan kesalahpaharnan terhadap aqidah Syi’ah.
Ringkasnya, hadis-hadis para Imam Dua Belas menempati posisi yang sangat tinggi di mata ajaran Syi’ah, yaitu setelah al-Quran dan sunnah Nabi, tetapi dengan catatan, bahwa hadis-hadis tersebut pasti datangnya dari para imam dengan jalan diakui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar