Pemilihan Kepala Daerah Tingkat I Sumsel telah dimenangkan oleh Pasangan Alex Noerdin dan Eddy Yusuf (Aldy) dari pasangan Syahrial Oesman dan Helmy Yahya (Sohe). Hasilnya, Alex Noerdin memenangi Pilkada Sumsel dengan meraih total suara 1.866.390 suara, sedangkan Syahrial Oesman meraih 1.764.373 suara.
Namun hasil tersebut tidak serta merta diterima oleh kelompok yang kalah, hasil yang ditetapkan oleh KPU tersebut masih menyisakan sengketa untuk hasil pemungutan suara di Kabupaten MUBA.
Yang menjadi masalah adalah dalam pemilihan kepemimpinan untuk memperebutkan BG 1 tersebut, pihak yang kalah dalam hal ini kubu Sohe melakukan pengerahan massa untuk membentuk opini bahwa hasil yang ditetapkan oleh KPU masih perlu dipertanyakan kembali dan harus dilakukan pemilihan ulang.
Pihak Sohe melakukan pengerahan massa dan berujung pada kekerasan. Apakah kekerasan menjadi senjata bagi pihak yang tidak puas terhadap hasil pemilu di negeri ini? ataukah perilaku elite politik atau ideologi kekerasan menjadi ciri demokrasi kita? Pelajaran berdemokrasi di negara kita tampaknya masih jauh dari yang diharapkan, dimana proses rotasi kepemimpinan masih dibayangi teror dalam menanggapi ketidakpuasan terhadap hasil pemilu. Pilkada sebagai sebuah proses, metode, dan prosedur demokrasi dalam memilih kepemimpinan yang kuat dan akseptabel masih mencari bentuk yang ideal. Pendidikan politik ini mesti juga dibarengi oleh perilaku elite untuk dewasa dalam berpolitik.
Biaya pemilu yang besar yang telah ditanggung oleh rakyat, APBD, APBN telah menganggarkan begitu besar untuk sebuah membangun partisipasi politik rakyat belum menghasilkan kepemimpinan yang memiliki sifat dan sikap sebagai demokrat pada berbagai pemilihan kepala daerah di Indonesia justru menciptakan suasana yang mencekam dan anarkisme.
Ada baiknya, para calon kepala daerah yang di usung oleh partai politik bahkan elite parpol yang akan mencalonkan diri sebagai pemimpin baik di tingkat lokal maupun nasional dipilih berdasarkan seleksi yang ketat sehingga kedepan pemimpin atau calon pemimpin yang bermental preman atau bahkan berideologi premanisme tidak diajukan sebagai calon pemimpin. Bahwa selama ini partai politik masih begitu dominan otoritarianisme belum hilang di republik ini. Otoriatarianisme sebagai suatu ideologi berpindah dari orang ke partai politik. Pemilihan kepala daerah justru dijadikan sebagai sumber modal dan lumbung uang bagi pemilihan umum tahun 2009, dimana pihak yang diusung memiliki kontrak politik untuk menjadi bank dalam memuluskan langkah partai pengusung untuk menang pada pemilu 2009. Demokrasi kita sungguh sedang sakit, bahkan kronis dagelan yang paling memuakkan dalam kehidupan bernegara di negeri ini.
Mestinya setiap ketidakpuasan terhadap hasil pemilu tidak diselesaikan dengan cara bar-barian yang justru melukai demokrasi bahkan menciptakan ketakutan di masyarakat akan demokrasi, yang berujung pada anarkisme dan kekerasan bahkan adu kekuatan dapat menjadi konflik horisontal. Lembaga negara telah banyak dibentuk dan dibiayai dengan uang rakyat untuk menjadi jembatan dalam menyelesaikan segala permasalahan yang ada dan ini mestinya dipakai untuk pembelajaran demokrasi kita untuk menjadi semakin matang dan efektif. Cara-cara main hakim sendiri dan kekerasan seyogyanya menjadi catatan sejarah masa lalu dan sebagai langkah bagi kita memperbaiki masyarakat tentang bagaimana membangun peradaban bangsa yang lebih beradab dan rasional tanpa menggunakan cara-kekerasan.
Pembelajaran politik yang beradab secara institusional dalam menyelesaikan permasalahan sengketa pemilu telah eksis di negeri ini dengan dapat mengajukan segala bentuk ketidakpuasan tersebut melalui Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Elite Politik dan Elite Partai semestinya memberikan pembelajaran politik yang bermartabat kehadapan massanya masing-masing bukan bahkan mengadu domba massa rakyat untuk saling vis a vis bentrok ini bukan saja sebagai suatu sikap politik yang belum dewasa dalam berdemokrasi, malah hal ini melecehkan lembaga yang telah dibentuk oleh negara seperti KPU, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, POLRI dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul dimana elite politik melakukan cara-cara premanisme.
Bahkan dari studi kasus penyelesaian sengketa pemilu yang dipertunjukkan oleh elite politik di Sumsel meyakinkan saya terhadap teori "perilaku elite politik cerminan dari perilaku pengikutnya". Dalam kultur sosial masyarakat yang masih patronase perilaku menjijikkan yang sedang ditunjukkan oleh elite politik akan menjadi pembelajaran bagi massa dibawah dalam menyelesaikan permasalahan yang ada didalam lingkungan masyarakat yang terdapat di dalamnya. Selama penyelesaian sengketa pemilu ini tidak dicari solusi dengan cara institusional dan konstitusional maka tentu saja ini akan menjadi cerminan dalam setiap sengketa pilkada dibawahnya baik pemilihan bupati/walikota dan pemilihan kepala desa sekalipun. Sangat besar biaya politik yang akan timbul bila
Sehingga apa yang akan terjadi? Yang terjadi justru anarkisme dan main hakim sendiri pada ujungnya adalah kita meremehkan institusi-insitusi yang ada seperti, KPU, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Polri dan sebagainya. Padahal negara membentuk institusi yang ada adalah media bagi masyarakat dalam menyelesaikan permasalahannya secara beradab.
Untuk itu, sebagai negara yang baru belajar berdemokrasi, baiknya elite politik menunjukkan sikap dan perilaku yang beradab, negara ini adalah negara hukum setiap orang mestinya percaya bahwa setiap permasalahan yang timbul dimasyarakat harus diselesaikan dengan hukum, ini akan menjadi pembelajaran politik yang sangat berguna bagi masyarakat dalam membangun masyarakatnya untuk percaya dengan hukum dan kita mesti mendesakkan hukum secara terus menerus dan konsisten adalah cara satu-satunya dalam menyelesaikan setiap sengketa dan ketidakpuasan. Untuk dijadikan sikap hidup berbangsa dan bernegara.
Elite politik mesti mendahuluinya sikap mental tersebut dengan memberikan contoh dalam menyelesaikan sengketa pemilu sumsel dengan jalur hukum bukankah Undang-undang juga telah mengatur tentang langkah-langkah penyelesaian sengketa pemilu tersebut? Tahapan tersebut mesti diambil karena langkah hukum adalah satu-satunya langkah yang menjadi aturan main bagi kita. Dalam hal ini Sohe dan partai politik pendukung nya seyogyanya memberikan contoh kepada masyarakat sumsel bagaimana membangun demokrasi yang beradab dan bermartabat dihadapan massa masing-masing lebih-lebih kepada masyarakat Sumatera Selatan. Karena kita membutuhkan ketauladanan, karena ketauladanan pemimpinlah yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam berdemokrasi, tanpa ketauladanan untuk taat pada hukum demokrasi dan proses pilkada tidak akan menghasilkan kesejahteraan masyarakat pada akhirnya justru menjadi neraka baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar