Diskusi semalam di ANTV semalam 7/12/2008 tentang kesalahan putusan pengadilan yaitu terhadap Devit dan Kemat yang disangkakan membunuh Asrori yang ternyata pembunuhnya adalah Ryan.
Nasib Devit dan Kemat harus menjalani hukuman satu tahun lebih didalam penjara akibat kerja pihak kepolisian, kejaksaan dan pihak pengadilan yang gegabah serta memaksakan perkara yang prematur. Mendengarkan pengakuan Devit dan Kemat, bagaimana mereka menjalani proses hukum yang dipaksakan tersebut. Aparat Hukum negeri ini baik Kepolisian maupun Kejaksaan belumlah menjalankan fungsinya secara baik dan Profesional. Devit dan Kemat dipaksa untuk mengakui pembunuhan diladang tebu yang tidak mereka lakukan.
Rangkaian teror, kekerasan dan todongan senjata masih alat utama pihak kepolisian dalam memeriksa terdakwa dan memaksa korban (Devit dan Kemat) untuk mengakui pembunuhan tersebut.
Alat bukti sebilah pisau dapur yang didapat polisi di dapur milik Devit dipaksakan sebagai alat bukti yang kemudian dijadikan alat bukti dipersidangan oleh pihak kejaksaan.
Yang menarik bagi saya dalam diskusi di ANTV dimana pihak kepolisian yang diwakili oleh statement Susno Duadji yang tampaknya mengarah menyalahkan pihak kejaksaan dan pengadilan yang dianggap ngotot melanjutkan persidangan. Namun yang membuat saya tergelitik membuat tulisan ini adalah statement dari M.Jasman Panjaitan Kapuspenkum Kejaksaan Agung. M. Jasman Panjaitan menyatakan bahwa dalam kasus salah tangkap yang mengorbankan Devit dan Kemat, Kejaksaan Agung mengatakan bahwa kebenaran formil yang dapat diadili sedangkan kebenaran materil atau kebenaran sesungguhnya hanya berada pada tuhan.
Bila kemudian formil yang dibawa ke meja persidangan tidak ada korelasinya sama sekali dengan kebenaran materil, kita kemudian berhak ragu terhadap segala bukti dan tuntutan yang dibawa di muka persidangan yang berjalan selama ini di republik ini. Bahkan juga segala keputusan hukum pengadilan selama ini.
Bagaimanakah proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat hukum dalam mencari bukti2 hingga mereka berkeyakinan bahwa bahwa segala fakta hukum telah mengarah kepada terdakwa?
Yang kemudian hal tersebut diajukan di muka persidangan.
Proses hukum dalam mencari kebenaran kemudian hanyalah hal yang sia-sia bila kita melihat dari kasus salah tangkap ini, pihak kepolisian dan kejaksaan dalam menjalankan tugasnya yang tidak profesional, mengorbankan bahkan mencari korban orang yang tidak bersalah guna proses pengadilan.
Sejatinya, pengadilan menjadi muara akhir bagi pihak2 mencari keadilan, bukan justru menjadi tirani hukum yang sering kali ini menimpa bagi orang kecil dan lemah yang tidak mampu membayar pengacara. Akibatnya sering kali hukum lebih mencari mangsa dengan mengorbankan orang yang tidak bersalah demi sebuah prestasi kerja.
Marilah kita sudahi segala dagelan, sinetron, pertunjukan dan drama yang selalu menyakitkan dan mengorbankan rakyat. Untuk itu segala aparat hukum baik itu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan untuk berbenah dari kasus ini. Menjadikan kasus ini untuk pihak2 tersebut lebih profesional dalam mengusut permasalahan hukum dimasyarakat.
Mudah2an Kasus salah tangkap dan salah vonis di negeri ini tinggal hanya ini saja kita tidak berharap kasus serupa kembali terjadi, dimana hal ini pasti saja akan menimpa kepada mereka yang tidak memiliki akses terhadap pembelaan.
1 komentar:
Ini seh belon seberapa dibandingkan kasus Sengkon dan Karta. Mereka berdua malah sudah lama mendekam di bui, baru ketauan kl ternyata salah vonis. Saatnya aparat penegak hukum harus berkerja lebih jeli dan hati-hati, bukan sekedar kejar deadline sekian minggu, sekian bulan harus dapat tersangka.
Posting Komentar