Problem sosial, agama, politik, budaya, organisasi, triad selalu membutuhkan ketaatan atau harmoni dalam pelaksanaannya. Setiap otoritas baik itu agama, politik, sosial dalam kehidupan kita selalu menuntut pengikutnya dalam batas yang tak berbatas mungkin selalu menuntut ketaatan sehingga dominasi setiap otoritas menjadi efektif.
ketaatan yang semakin mengentalmungkin bisa dikatakankan loyal, kemudian menjadi militan bahkan menjadi puritan. Otoritas atau lembaga dan pemimpin menciptakan dan membangkitkan kembali simbol dan virtual vision terhadap apa yang ingin mereka capai yaitu cita2 membius pengikutnya. Slogan dipropagandakan kepada massa sampai saat tertentu massa menjadi budak. Itulah bisa dikatakan hegemoni, ketika pemimpin telah mengambil otoritas dari massanya, dan massa secara sukarela menyerahkan kebebasan mereka dibawah ketiak virtual vision pemimpin yang ditanamkan dialam bawah sadar massa.
Boleh jadi, Nazi misalnya menanamkan keyakinan mereka akan perjuangan bangsa Aria dalam menguasai dunia, filsafat, mitos, slogan, jargon, lagu-lagu, gerak langkah, uniform diciptakan demi menjadikan massa menjadi robot bernyawa yang siap digerakkan atas kepentingan virtual vision , atau cinta, atau suatu tatanan sosial yang ingin diciptakan. Sehingga massa bergerak mematuhi apa yang diperintahkan oleh pemimpin atau organisasinya dengan penuh kesungguhan bahkan mengorbankan kepentingan mereka sendiri.Sampai pada suatu massa apa yang dikehendaki oleh yang menghegemoni berhasil dilaksanakan berdasarkan ukuran2 keberhasilan yang mereka tetapkan secara sepihak.
Bila massa telah sukarela menyerahkan otoritas mereka pada lembaga atau otoritas mereka maka akal budi, keyakinan,logika, rasionalitas segala apa yang diyakini dari bentukan internal akan lebur dalam keyakinan artifisial yang dikembangkan oleh elite organisasi. Artinya kebebasan kemanusiaan mereka telah diberikan secara sukarela pada pemimpin mereka. Semakin pengaruh pemimpin dan terhadap individu pemimpin menjadi keniscayaan dalam mengarahkan massa nya menjadi apa yang diinginkannya.
Bahkan pemimpin sering kali disimbolkan sebagai sosok penyelamat atau ratu adil yang dia sendirilah yang berhak menterjemahkan suatu kebenaran atau satu2nya pihak yang berhak menentukan hujjah terhadap apapun bahkan sampai hal-hal terkecil yang bersifat individual. Inilah yang kita sebut dengan ketaatan mutlak. Massa digiring pada pada pemenuhan segala kebutuhan pemimpinnya namun pemimpin menyelamatkan diri bahkan untuk lebih menguatkan posisinya ditataran massa sebagai kepentingan massa bukanlah untuk kepentingannya.
Pengaruh dan dominasi ini bahkan masuk dalam wilayah privat pada setiap rumah massanya. Itulah sifat pemimpin sejatinya selalu mencari posisi untuk menjadi otoriter, menggunakan apa yang mereka bisa untuk menguasai atas dalih cita2 besar bersama, bahkan bisa dilihat dari organisasi agama bahkan organisasi preman sekalipun.
Ketika demi cita2 bersama yang dijargonkan, maka segala sesuatu yang memungkinkan untuk tercapainya cita2 bersama atau virtual vision tersebut, segala tindakan menjadi halal dan boleh. Misalnya kasus perang antar agama sekalipun, pemimpin atau otoritas agama menghalalkan kezaliman, korupsi, perampasan hak hidup, pemerkosaan, dominasi, menggantung menjadi halal demi satu kata perintah agama yang ditafsirkan sepihak oleh orang2 otoriter. Padahal sejatinya agama hanya dipakai oleh elite untuk kepentingan dirinya sendiri, demi kekuasaan, demi tanah, demi sumber2 alam yang mesti dikuasai.
Atau otoritarianisme ini juga sering mengental pada setiap organisasi ketika organisasi itu mempunyai keyakinan atau bahkan ideologi tertutup. Yaitu suatu keyakinan yang hanya segelintir elite saja yang berhak dalam melakukan penafsirannya. Massa tidak diberikan ruang bagi melakukan penafsiran terhadap apa yang telah menjadi keyakinan bersama tersebut.
Bila terdapat penafsiran baru yang bertentangan dengan apa yang diyakini bahkan tidak sejalan dengan kepentingan pemimpinnya, maka orang tersebut mendapatkan stigma pembangkang atau pemberontak. Pemberontak pastilah akan dibuat mati walau pun mereka bisa tetap hidup, atau hak2nya akan disusutkan sampai pemberontak tersebut hilang pengaruhnya dalam organisasi tersebut.
Contoh kontemporer mungkin , Anwar Ibrahim adalah salah satu contoh pemberontak dalam terminologi penguasa yang sedang berkuasa di Malaysia. Maka hak-hak nya pun dicabut, disingkirkan bahkan hak hidupnya pun dapat diambil paksa oleh pemimpin2 otoriter.
Menjadi pembangkang dalam pada wilayah otoritarianisme telah menghegemoni kehidupan masyarakat, penguasa tersebut menguasai segala infrasutruktur dan suprastruktur yang terdapat didalam lingkungan sosial yang dikuasainya bisa dikatakan pada saat itu adalah orang gila. Karena melawan mitos, gerak langkah, bagi pencapaian virtual vision penguasa.
Menjadi pembangkang dalam suasana dominasi yang begitu kuat, sehingga tidak memungkinkan bagi menciptakan nilai, pemahaman, kesadaran, rasionalitas adalah pengembanan amanat kenabian yang selalu ada pada setiap zaman.
Mungkin perbudakan pada abad mula adalah pencerabutan hak-hak kemanusiaan yang paling estrim yaitu manusia dijadikan budak yang sama hal nya dengan binatang ternak. Dimana manusia ditempatkan layaknya sapi penggarap sawah yang dipaksa bekerja, dipecut dan dibelati kemudian diberikan setumpuk rumput untuk kuat bekerja kembali.
Namun, pada setiap zaman perbudakan selalu muncul dalam bentuk baru bahkan zaman sekarang menjelma dalam bentuk yang sangat halus bahkan kita sendiri tidak menyadarinya atau mungkin kita telah masuk dan tercerabut kemanusiaan kita dalam perbudakan abad ini. Bila di Myanmar masih dalam cengkeraman otoriritarianisme yang paling nyata yaitu dengan aktornya adalah elite penguasa. Namun pada negara demokrasi sekalipun seperti negara kita, pun tidak luput dalam perbudakan global oleh korporatokrasi dimana negara rakyat institusi keagamaan,pemerintah, parlemen, pengadilan, media, militer, dikuasai oleh perusahaan asing yang menggunakan tangan-tangan negara tersebut.
Tangan negara pun dalam comfort zone, dimana mereka merasakan kenyamanan dari sistem sosial ini, persis juga seperti zaman penjajahan belanda dimana penguasa pribumi yang diwakili oleh raja-raja, demang dan pejabat pemerintahan dalam menguatkan penjajahan di Indonesia kala itu.
Dan setiap zaman juga muncul nabi2 baru yang memberontak terhadap otoritarianisme dalam segala bentuknya. Menawarkan nilai2 lama yang dibawa oleh para nabi dalam konteks yang lebih aktual. Pembangkangan pada awalnya selalu dijadikan sebagai musuh bersama baik itu oleh penguasa bahkan oleh rakyat.
Pembangkangan dan pemberontakan yang dimotori oleh kelas menengah kelompok yang paling tertindas akibat dari sistem sosial yang menindas tersebut selalu menuntuk kemerdekaan yang sejati atas dasar2 nilai persamaan, rasionalitas, keadilan, kesejahteraan bersama, perebutan kembali aset nasional selalu akan mendapatkan penentangan yang sangat keras.
Yang menjadi pertanyaan sesungguhnya adalah, apakah kita akan mengemban tugas2 mulia kenabian mesianis yang menjadi nilai spiritual terkandung didalam setiap diri manusia sebagai tugas yang dibebankan kepadanya? Namun resikonya kita akan menjadi petualang kesepian,bagai bernyanyi ditengah pantai?
Ataukah kita membiarkan kita, keluarga, masyarakat, negara menjadi budak pemuasan atau bahkan kita menjadi pendukung bagi atau menjadi paku yang menanamkan semakin kuat bagi penindasan masyarakat kita sendiri? Dan kita menjadi paku bagi menguatkan setiap penindasan, pemiskinan, penyerobotan hak-hak kehidupan kita bahkan yang paling dasar sekalipun, namun kita mendapatkan nilai tambah dari padanya seperti demang, atau pejabat pribumi yang diberikan kuasa oleh penjajah belanda dulu untuk mengusir kita dari tanah kita sendiri?
Akankah kita melanjutkan tugas-tugas kemanusiaan kita, yang memang melekat dalam kemanusiaan kita? Terkadang mereka yang telah masuk dalam comfort zone/zona nyaman yang telah mendapatkan apa yang mereka inginkan tidak mau untuk berubah apa lagi untuk memberikan apa yang mereka miliki untuk mereka yang telah dimanipulasi. Kita juga sering menjadi agen bagi penindasan yang disadari atau tidak telah mencerabut apa yang telah dimiliki lingkungan sosial kita.
Kekuasaan juga kadang2 adalah musuh yang nyata bagi kita sendiri.
Namun kekuasaan juga begitu seksi dan menggoda, yang dipakai untuk menghegemoni dan menguasai mereka yang dapat dimanipulasi untuk merebut segala yang bisa direbut, bahkan sampai seluruh bumi telah dikuasaipun tetap lah kita tidak merasa cukup akan nya.
Sejarah telah membuktikan bahwa kesadaran, rasionalitas, dan pengembanan misi kenabian untuk menjadi pembangkang adalah pilihan yang harus dipilih sebagai bukti eksistensi kita sebagai manusia. Sehingga kita tidak mati dalam hidup atau hidup dalam kematian. Semangat untuk memberontak terhadap segala bentuk otoritarianisme dan menggantinya dengan nilai2 yang membahagiakan terus dikobarkan dalam setiap diri. Karena setiap darah dan jantung akan tetap akan berdetak kencang bila kita melakukan pembangkangan dan pemberontakan untuk menuju kehidupan yang benar2 hakiki.
Setiap otoritarianisme adalah musuh yang nyata dalam kehidupan kita, segala bentuk manifestasinya hanya dapat dimusnahkan atau paling tidak diimbangi oleh orang-orang menjadi kelompok orang bahkan menjadi gerakan oleh para pembangkang dan pemberontak untuk menciptakan kehidupan yang dapat dikontrol oleh setiap kelompok masyarakat didalamnya. Karena tanpa ada kelompok orang yang gelisah untuk melakukan perubahan, maka kita telah atau memang bagian dari otoritarianisme itu sendiri yang telah dan akan mencabut kemerdekaan kita sendiri didalamnya. Bagai Ali Syariaty, atau Abu Dzar Al-Ghiffari, Socrates, Galileo Galilie atau D.N. Aidit menjadi terasing dan sepi diasingkan dari kehidupannya sendiri sebagai pilihan menjadi pemberontak bagi otoritarianisme. Mungkin kematian adalah lebih baik bagi mereka karena kemerdekaan adalah pilihan terbaik bagi mereka dari pada menjadi penguat penindasan bagi lingkungan, massa mereka sendiri.
Pemberontak dijalan kebenaran seperti tokoh2 tersebut memang jalan hidup yang mesti dipilih dari pada menikmati kemewahan yang menggoda. Karena setiap kemapanan selalu menggoda setiap orang didalamnya.Setiap pemberontakan, perjuangan, reformasi, atau apapun namanya selalu memakan anaknya sendiri. Mereka lah korban bagi suatu perjuangan dan pemberontakan atau revolusi yang tak selesai, dimana mereka berjuang untuk suatu nama yang begitu mulia yaitu kebebasan kemudian masuk dalam suatu penjajahan baru yang lebih kompleks dari sebelumnya yang menggunakan seluruh aparatus atau insititusi didalamnya. Revolusi yang memakan anakknya sendiri, memang benar adanya. Namun mereka menjadi simbol bagi kebangkitan pemberontak2 baru disetiap belahan dunia, yang membuat dunia ini tak pernah mati.
ketaatan yang semakin mengentalmungkin bisa dikatakankan loyal, kemudian menjadi militan bahkan menjadi puritan. Otoritas atau lembaga dan pemimpin menciptakan dan membangkitkan kembali simbol dan virtual vision terhadap apa yang ingin mereka capai yaitu cita2 membius pengikutnya. Slogan dipropagandakan kepada massa sampai saat tertentu massa menjadi budak. Itulah bisa dikatakan hegemoni, ketika pemimpin telah mengambil otoritas dari massanya, dan massa secara sukarela menyerahkan kebebasan mereka dibawah ketiak virtual vision pemimpin yang ditanamkan dialam bawah sadar massa.
Boleh jadi, Nazi misalnya menanamkan keyakinan mereka akan perjuangan bangsa Aria dalam menguasai dunia, filsafat, mitos, slogan, jargon, lagu-lagu, gerak langkah, uniform diciptakan demi menjadikan massa menjadi robot bernyawa yang siap digerakkan atas kepentingan virtual vision , atau cinta, atau suatu tatanan sosial yang ingin diciptakan. Sehingga massa bergerak mematuhi apa yang diperintahkan oleh pemimpin atau organisasinya dengan penuh kesungguhan bahkan mengorbankan kepentingan mereka sendiri.Sampai pada suatu massa apa yang dikehendaki oleh yang menghegemoni berhasil dilaksanakan berdasarkan ukuran2 keberhasilan yang mereka tetapkan secara sepihak.
Bila massa telah sukarela menyerahkan otoritas mereka pada lembaga atau otoritas mereka maka akal budi, keyakinan,logika, rasionalitas segala apa yang diyakini dari bentukan internal akan lebur dalam keyakinan artifisial yang dikembangkan oleh elite organisasi. Artinya kebebasan kemanusiaan mereka telah diberikan secara sukarela pada pemimpin mereka. Semakin pengaruh pemimpin dan terhadap individu pemimpin menjadi keniscayaan dalam mengarahkan massa nya menjadi apa yang diinginkannya.
Bahkan pemimpin sering kali disimbolkan sebagai sosok penyelamat atau ratu adil yang dia sendirilah yang berhak menterjemahkan suatu kebenaran atau satu2nya pihak yang berhak menentukan hujjah terhadap apapun bahkan sampai hal-hal terkecil yang bersifat individual. Inilah yang kita sebut dengan ketaatan mutlak. Massa digiring pada pada pemenuhan segala kebutuhan pemimpinnya namun pemimpin menyelamatkan diri bahkan untuk lebih menguatkan posisinya ditataran massa sebagai kepentingan massa bukanlah untuk kepentingannya.
Pengaruh dan dominasi ini bahkan masuk dalam wilayah privat pada setiap rumah massanya. Itulah sifat pemimpin sejatinya selalu mencari posisi untuk menjadi otoriter, menggunakan apa yang mereka bisa untuk menguasai atas dalih cita2 besar bersama, bahkan bisa dilihat dari organisasi agama bahkan organisasi preman sekalipun.
Ketika demi cita2 bersama yang dijargonkan, maka segala sesuatu yang memungkinkan untuk tercapainya cita2 bersama atau virtual vision tersebut, segala tindakan menjadi halal dan boleh. Misalnya kasus perang antar agama sekalipun, pemimpin atau otoritas agama menghalalkan kezaliman, korupsi, perampasan hak hidup, pemerkosaan, dominasi, menggantung menjadi halal demi satu kata perintah agama yang ditafsirkan sepihak oleh orang2 otoriter. Padahal sejatinya agama hanya dipakai oleh elite untuk kepentingan dirinya sendiri, demi kekuasaan, demi tanah, demi sumber2 alam yang mesti dikuasai.
Atau otoritarianisme ini juga sering mengental pada setiap organisasi ketika organisasi itu mempunyai keyakinan atau bahkan ideologi tertutup. Yaitu suatu keyakinan yang hanya segelintir elite saja yang berhak dalam melakukan penafsirannya. Massa tidak diberikan ruang bagi melakukan penafsiran terhadap apa yang telah menjadi keyakinan bersama tersebut.
Bila terdapat penafsiran baru yang bertentangan dengan apa yang diyakini bahkan tidak sejalan dengan kepentingan pemimpinnya, maka orang tersebut mendapatkan stigma pembangkang atau pemberontak. Pemberontak pastilah akan dibuat mati walau pun mereka bisa tetap hidup, atau hak2nya akan disusutkan sampai pemberontak tersebut hilang pengaruhnya dalam organisasi tersebut.
Contoh kontemporer mungkin , Anwar Ibrahim adalah salah satu contoh pemberontak dalam terminologi penguasa yang sedang berkuasa di Malaysia. Maka hak-hak nya pun dicabut, disingkirkan bahkan hak hidupnya pun dapat diambil paksa oleh pemimpin2 otoriter.
Menjadi pembangkang dalam pada wilayah otoritarianisme telah menghegemoni kehidupan masyarakat, penguasa tersebut menguasai segala infrasutruktur dan suprastruktur yang terdapat didalam lingkungan sosial yang dikuasainya bisa dikatakan pada saat itu adalah orang gila. Karena melawan mitos, gerak langkah, bagi pencapaian virtual vision penguasa.
Menjadi pembangkang dalam suasana dominasi yang begitu kuat, sehingga tidak memungkinkan bagi menciptakan nilai, pemahaman, kesadaran, rasionalitas adalah pengembanan amanat kenabian yang selalu ada pada setiap zaman.
Mungkin perbudakan pada abad mula adalah pencerabutan hak-hak kemanusiaan yang paling estrim yaitu manusia dijadikan budak yang sama hal nya dengan binatang ternak. Dimana manusia ditempatkan layaknya sapi penggarap sawah yang dipaksa bekerja, dipecut dan dibelati kemudian diberikan setumpuk rumput untuk kuat bekerja kembali.
Namun, pada setiap zaman perbudakan selalu muncul dalam bentuk baru bahkan zaman sekarang menjelma dalam bentuk yang sangat halus bahkan kita sendiri tidak menyadarinya atau mungkin kita telah masuk dan tercerabut kemanusiaan kita dalam perbudakan abad ini. Bila di Myanmar masih dalam cengkeraman otoriritarianisme yang paling nyata yaitu dengan aktornya adalah elite penguasa. Namun pada negara demokrasi sekalipun seperti negara kita, pun tidak luput dalam perbudakan global oleh korporatokrasi dimana negara rakyat institusi keagamaan,pemerintah, parlemen, pengadilan, media, militer, dikuasai oleh perusahaan asing yang menggunakan tangan-tangan negara tersebut.
Tangan negara pun dalam comfort zone, dimana mereka merasakan kenyamanan dari sistem sosial ini, persis juga seperti zaman penjajahan belanda dimana penguasa pribumi yang diwakili oleh raja-raja, demang dan pejabat pemerintahan dalam menguatkan penjajahan di Indonesia kala itu.
Dan setiap zaman juga muncul nabi2 baru yang memberontak terhadap otoritarianisme dalam segala bentuknya. Menawarkan nilai2 lama yang dibawa oleh para nabi dalam konteks yang lebih aktual. Pembangkangan pada awalnya selalu dijadikan sebagai musuh bersama baik itu oleh penguasa bahkan oleh rakyat.
Pembangkangan dan pemberontakan yang dimotori oleh kelas menengah kelompok yang paling tertindas akibat dari sistem sosial yang menindas tersebut selalu menuntuk kemerdekaan yang sejati atas dasar2 nilai persamaan, rasionalitas, keadilan, kesejahteraan bersama, perebutan kembali aset nasional selalu akan mendapatkan penentangan yang sangat keras.
Yang menjadi pertanyaan sesungguhnya adalah, apakah kita akan mengemban tugas2 mulia kenabian mesianis yang menjadi nilai spiritual terkandung didalam setiap diri manusia sebagai tugas yang dibebankan kepadanya? Namun resikonya kita akan menjadi petualang kesepian,bagai bernyanyi ditengah pantai?
Ataukah kita membiarkan kita, keluarga, masyarakat, negara menjadi budak pemuasan atau bahkan kita menjadi pendukung bagi atau menjadi paku yang menanamkan semakin kuat bagi penindasan masyarakat kita sendiri? Dan kita menjadi paku bagi menguatkan setiap penindasan, pemiskinan, penyerobotan hak-hak kehidupan kita bahkan yang paling dasar sekalipun, namun kita mendapatkan nilai tambah dari padanya seperti demang, atau pejabat pribumi yang diberikan kuasa oleh penjajah belanda dulu untuk mengusir kita dari tanah kita sendiri?
Akankah kita melanjutkan tugas-tugas kemanusiaan kita, yang memang melekat dalam kemanusiaan kita? Terkadang mereka yang telah masuk dalam comfort zone/zona nyaman yang telah mendapatkan apa yang mereka inginkan tidak mau untuk berubah apa lagi untuk memberikan apa yang mereka miliki untuk mereka yang telah dimanipulasi. Kita juga sering menjadi agen bagi penindasan yang disadari atau tidak telah mencerabut apa yang telah dimiliki lingkungan sosial kita.
Kekuasaan juga kadang2 adalah musuh yang nyata bagi kita sendiri.
Namun kekuasaan juga begitu seksi dan menggoda, yang dipakai untuk menghegemoni dan menguasai mereka yang dapat dimanipulasi untuk merebut segala yang bisa direbut, bahkan sampai seluruh bumi telah dikuasaipun tetap lah kita tidak merasa cukup akan nya.
Sejarah telah membuktikan bahwa kesadaran, rasionalitas, dan pengembanan misi kenabian untuk menjadi pembangkang adalah pilihan yang harus dipilih sebagai bukti eksistensi kita sebagai manusia. Sehingga kita tidak mati dalam hidup atau hidup dalam kematian. Semangat untuk memberontak terhadap segala bentuk otoritarianisme dan menggantinya dengan nilai2 yang membahagiakan terus dikobarkan dalam setiap diri. Karena setiap darah dan jantung akan tetap akan berdetak kencang bila kita melakukan pembangkangan dan pemberontakan untuk menuju kehidupan yang benar2 hakiki.
Setiap otoritarianisme adalah musuh yang nyata dalam kehidupan kita, segala bentuk manifestasinya hanya dapat dimusnahkan atau paling tidak diimbangi oleh orang-orang menjadi kelompok orang bahkan menjadi gerakan oleh para pembangkang dan pemberontak untuk menciptakan kehidupan yang dapat dikontrol oleh setiap kelompok masyarakat didalamnya. Karena tanpa ada kelompok orang yang gelisah untuk melakukan perubahan, maka kita telah atau memang bagian dari otoritarianisme itu sendiri yang telah dan akan mencabut kemerdekaan kita sendiri didalamnya. Bagai Ali Syariaty, atau Abu Dzar Al-Ghiffari, Socrates, Galileo Galilie atau D.N. Aidit menjadi terasing dan sepi diasingkan dari kehidupannya sendiri sebagai pilihan menjadi pemberontak bagi otoritarianisme. Mungkin kematian adalah lebih baik bagi mereka karena kemerdekaan adalah pilihan terbaik bagi mereka dari pada menjadi penguat penindasan bagi lingkungan, massa mereka sendiri.
Pemberontak dijalan kebenaran seperti tokoh2 tersebut memang jalan hidup yang mesti dipilih dari pada menikmati kemewahan yang menggoda. Karena setiap kemapanan selalu menggoda setiap orang didalamnya.Setiap pemberontakan, perjuangan, reformasi, atau apapun namanya selalu memakan anaknya sendiri. Mereka lah korban bagi suatu perjuangan dan pemberontakan atau revolusi yang tak selesai, dimana mereka berjuang untuk suatu nama yang begitu mulia yaitu kebebasan kemudian masuk dalam suatu penjajahan baru yang lebih kompleks dari sebelumnya yang menggunakan seluruh aparatus atau insititusi didalamnya. Revolusi yang memakan anakknya sendiri, memang benar adanya. Namun mereka menjadi simbol bagi kebangkitan pemberontak2 baru disetiap belahan dunia, yang membuat dunia ini tak pernah mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar