Headline Kompas 18/08/2008, mengupas kiprah artis berpolitik. Hal ini kayaknya layak untuk dicermati, artis mewarnai politik indonesia mewarnai bahkan menyusup hampir disetiap partai politik yang ada.
Kelelahan masyarakat terhadap kinerja partai dan kinerja parlemen dan pemerintah mengakibatkan artis menjadi jawaban bagi kebutuhan untuk menggaet massa pada pemilu 2009. Yang penting dicermati tampaknya kecenderungan partai-partai politik peserta pemilu terutama partai besar menggaet artis sebagai caleg.
Saat ini saja paling tidak beberapa artis yang memenuhi panggung politik di senayan adalah Angelina Sondakh, Aji Massaid, Komar, Mangara Siahaan, Belum Lagi seperti Dede Yusuf, Helmi Yahya, maupun Rano Karno. Atau artis yang menjadi elite partai, Rieke Diah Pitaloka, Tantowi Yahya dll.
Namun, apakah artis yang direkrut partai selama ini sudah memberikan sumbangan yang signifikan bagi politik, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat kita?
Yang menarik justru pendapat Bivitri Susanti dari Pusat Hukum dan Kebijakan (PSHK), "Kinerja artis di parlemen tidak menonjol" hal ini artis tidak banyak berperan dalam mempengaruhi dan memberikan sumbangsih bagi perubahan kebijakan publik yang lebih baik atau bahkan tidak bersuara, hanya menjadi pendengar yang baik.
Mencermati masalah ini, Partai politik telah gagal melakukan kaderisasi politik dan kepemimpinan, atau bahkan perilaku kader partai politik yang brengsek. Hingga tampaknya partai politik bukan menjadi harapan bagi masyarakat bagi instrumen untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Pengorganisasian kelompok2 civil society yang mestinya menjadi tanggung jawab dan diperjuangkan hak-hak sipil politiknya belum dilakukan kader partai politik dipemerintahan maupun diparlemen dengan maksimal. Lihat saja kasus Lumpur Lapindo yang menggantung tak keruan ujungnya, yang pasti politisasi masalah tersebut jalan tersebut, bahkan menjadi issue yang dapat dijual untuk kampanye namun solusi nya terus menggantung tanpa diketahui endingnya. Atau banyaknya anggota partai politik diparlemen dan pemerintahan saat ini terlilit kasus korupsi BI, hal ini juga menjawab semua keraguan masyarakat terhadap perilaku elit politik bangsa ini.
Hal ini jelas berpengaruh bagi citra partai dan politik nasional. Ini dibuktikan oleh beberapa survei dan pilkada didaerah tentang Fenomena Golput yang terus meningkat. Kejenuhan atau apatis masyarakat terhadap perilaku politisi maupun tabiat partai politik yang belum menunjukkan keberpihakannya kepada masyarkat bahkan bagai predator yang menguras seluruh kekayaan negara.
Yang pasti partai politik telah gagal menjaring keanggotaan dan melakukan kaderisasi kepemimpinan untuk dijual. Politik uang telah menjadi bahasa dalam perumusan kebijakan publik.
Partai politik mestinya menjadi instrumen dalam rotasi dan regenarasi kepemimpinan bangsa ini. Partai politik semestinya menjadi jawaban bagi munculnya wajah baru segar kepemimpinan nasional memiliki integritas tinggi dalam membangun bangsa ini.
Maka partai politik membutuhkan ikon baru dalam representasi wajah partai yaitu artis. Karena artis memang setiap hari muncul dalam media. Popularitas artis dimanfaatkan untuk meningkatkan rating partai menjelang pemilu. Artis memang vote getter yang efektif dalam menggaet massa, karena artis memang mempunyai basis penggemar yang terukur bahkan beberapa artis mempuyai penggemar sampai jutaan.
Namun apakah membangun politik dan demokrasi kita akan lebih sehat dengan rekrutmen artis yang belum teruji kemampuan dan pengetahuannya terhadap masalah bangsa ini yang semakin rumit ditengah himpitan kesulitan yang semakin kompleks?
Kalau hanya duduk dan menjadi pendengar yang baik?
Semestinya partai politik mampu mencermati artis yang mempunyai komitmen dan pengetahuan yang mumpuni untuk menjawab permasalahan bangsa ini. Paling tidak masih banyak artis yang teruji yang memberikan warna bagi pembentukan watak masyarakat yang lebih baik dalam membangun bangsa ini seperti Iwan Fals, Franky Sahilatua, Dedi Mizwar atau Slank.
Alat ukur itu mestinya juga menjadi pertimbangan partai politik dalam merekrut artis dalam politik. Sehingga tidak lagi kita jumpai artis yang hanya menjadi Vote Getter dalam pemilu, namun setelah diparlemen hanya menghabiskan waktu untuk duduk, diam, dan tanda tangan. Tanpa mengerti akan dibawa kemana bangsa dan negara ini, sambil menikmati berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan negara terhadapnya.
Selain contoh yang kurang mengenakkan dalam politik indonesia, Sophan Sopian adalah contoh artis yang menjadi politisi yang sangat baik untuk dicontoh oleh artis indonesia ketika menjadi negarawan. Dimana komitmen kebangsaan dan dengan rakyat konstituennya tidak diragukan lagi sampai akhir hayatnya.
selain itu partai politik selama ini walaupun berjuang terhadap demokrasi tapi belum berhasil membangun demokrasi dalam internal partainya sendiri, ini bisa dilihat dari rekrutmen dan keputusan politik internal partai sering kali tidak demokratis.
sampai akhirnya partai politik semestinya harus terus melakukan pengorganisasian karena kepemimpinan nasional yang baik dan mempunyai visi perubahan sebenarnya tugas partailah untuk menjaringnya, dan memberikan ruang yang luas bagi munculnya politisi2 dari berbagai elemen masyarakat sehingga kontrol dan jalannya pemerintahan dapat sesuai dengan harapan masyarakat sehingga pada akhirnya berpengaruh bagi kesejahteraan masyarakatnya. Sehingga olgarkhi dan plutokrasi politik yang kecenderungannya saat ini dapat diminimalisir.
Sehingga pembangunan perpolitikan kita pun menuju arah yang semakin baik.
Kelelahan masyarakat terhadap kinerja partai dan kinerja parlemen dan pemerintah mengakibatkan artis menjadi jawaban bagi kebutuhan untuk menggaet massa pada pemilu 2009. Yang penting dicermati tampaknya kecenderungan partai-partai politik peserta pemilu terutama partai besar menggaet artis sebagai caleg.
Saat ini saja paling tidak beberapa artis yang memenuhi panggung politik di senayan adalah Angelina Sondakh, Aji Massaid, Komar, Mangara Siahaan, Belum Lagi seperti Dede Yusuf, Helmi Yahya, maupun Rano Karno. Atau artis yang menjadi elite partai, Rieke Diah Pitaloka, Tantowi Yahya dll.
Namun, apakah artis yang direkrut partai selama ini sudah memberikan sumbangan yang signifikan bagi politik, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat kita?
Yang menarik justru pendapat Bivitri Susanti dari Pusat Hukum dan Kebijakan (PSHK), "Kinerja artis di parlemen tidak menonjol" hal ini artis tidak banyak berperan dalam mempengaruhi dan memberikan sumbangsih bagi perubahan kebijakan publik yang lebih baik atau bahkan tidak bersuara, hanya menjadi pendengar yang baik.
Mencermati masalah ini, Partai politik telah gagal melakukan kaderisasi politik dan kepemimpinan, atau bahkan perilaku kader partai politik yang brengsek. Hingga tampaknya partai politik bukan menjadi harapan bagi masyarakat bagi instrumen untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Pengorganisasian kelompok2 civil society yang mestinya menjadi tanggung jawab dan diperjuangkan hak-hak sipil politiknya belum dilakukan kader partai politik dipemerintahan maupun diparlemen dengan maksimal. Lihat saja kasus Lumpur Lapindo yang menggantung tak keruan ujungnya, yang pasti politisasi masalah tersebut jalan tersebut, bahkan menjadi issue yang dapat dijual untuk kampanye namun solusi nya terus menggantung tanpa diketahui endingnya. Atau banyaknya anggota partai politik diparlemen dan pemerintahan saat ini terlilit kasus korupsi BI, hal ini juga menjawab semua keraguan masyarakat terhadap perilaku elit politik bangsa ini.
Hal ini jelas berpengaruh bagi citra partai dan politik nasional. Ini dibuktikan oleh beberapa survei dan pilkada didaerah tentang Fenomena Golput yang terus meningkat. Kejenuhan atau apatis masyarakat terhadap perilaku politisi maupun tabiat partai politik yang belum menunjukkan keberpihakannya kepada masyarkat bahkan bagai predator yang menguras seluruh kekayaan negara.
Yang pasti partai politik telah gagal menjaring keanggotaan dan melakukan kaderisasi kepemimpinan untuk dijual. Politik uang telah menjadi bahasa dalam perumusan kebijakan publik.
Partai politik mestinya menjadi instrumen dalam rotasi dan regenarasi kepemimpinan bangsa ini. Partai politik semestinya menjadi jawaban bagi munculnya wajah baru segar kepemimpinan nasional memiliki integritas tinggi dalam membangun bangsa ini.
Maka partai politik membutuhkan ikon baru dalam representasi wajah partai yaitu artis. Karena artis memang setiap hari muncul dalam media. Popularitas artis dimanfaatkan untuk meningkatkan rating partai menjelang pemilu. Artis memang vote getter yang efektif dalam menggaet massa, karena artis memang mempunyai basis penggemar yang terukur bahkan beberapa artis mempuyai penggemar sampai jutaan.
Namun apakah membangun politik dan demokrasi kita akan lebih sehat dengan rekrutmen artis yang belum teruji kemampuan dan pengetahuannya terhadap masalah bangsa ini yang semakin rumit ditengah himpitan kesulitan yang semakin kompleks?
Kalau hanya duduk dan menjadi pendengar yang baik?
Semestinya partai politik mampu mencermati artis yang mempunyai komitmen dan pengetahuan yang mumpuni untuk menjawab permasalahan bangsa ini. Paling tidak masih banyak artis yang teruji yang memberikan warna bagi pembentukan watak masyarakat yang lebih baik dalam membangun bangsa ini seperti Iwan Fals, Franky Sahilatua, Dedi Mizwar atau Slank.
Alat ukur itu mestinya juga menjadi pertimbangan partai politik dalam merekrut artis dalam politik. Sehingga tidak lagi kita jumpai artis yang hanya menjadi Vote Getter dalam pemilu, namun setelah diparlemen hanya menghabiskan waktu untuk duduk, diam, dan tanda tangan. Tanpa mengerti akan dibawa kemana bangsa dan negara ini, sambil menikmati berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan negara terhadapnya.
Selain contoh yang kurang mengenakkan dalam politik indonesia, Sophan Sopian adalah contoh artis yang menjadi politisi yang sangat baik untuk dicontoh oleh artis indonesia ketika menjadi negarawan. Dimana komitmen kebangsaan dan dengan rakyat konstituennya tidak diragukan lagi sampai akhir hayatnya.
selain itu partai politik selama ini walaupun berjuang terhadap demokrasi tapi belum berhasil membangun demokrasi dalam internal partainya sendiri, ini bisa dilihat dari rekrutmen dan keputusan politik internal partai sering kali tidak demokratis.
sampai akhirnya partai politik semestinya harus terus melakukan pengorganisasian karena kepemimpinan nasional yang baik dan mempunyai visi perubahan sebenarnya tugas partailah untuk menjaringnya, dan memberikan ruang yang luas bagi munculnya politisi2 dari berbagai elemen masyarakat sehingga kontrol dan jalannya pemerintahan dapat sesuai dengan harapan masyarakat sehingga pada akhirnya berpengaruh bagi kesejahteraan masyarakatnya. Sehingga olgarkhi dan plutokrasi politik yang kecenderungannya saat ini dapat diminimalisir.
Sehingga pembangunan perpolitikan kita pun menuju arah yang semakin baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar